Chereads / Elemental Destruction [Bahasa] / Chapter 14 - Start to Connecting (6)

Chapter 14 - Start to Connecting (6)

Sekejap lalu, bahasa tubuh Morita Shou yang mulanya tampak santai kini berubah drastis. Ken merasakan aura yang tidak mengenakkan dari laki-laki yang berdiri di hadapannya. Sosok itu memberi kesan penuh intimidasi pada Ken. Mata elangnya melirik turun mengamati gelagat Ken dari atas sampai bawah.

Ditatap seperti itu, Ken merasa cukup bergidik. Di saat bersamaan, dia juga tidak terima. Dengan posisi dagu sedikit terangkat dan mata melirik ke bawah, Ken merasa orang di hadapannya itu mengamatinya dengan sikap menyombongkan diri. Pertama karena dia menganggap dirinya lebih senior dibanding Ken. Kedua, dan ini yang paling membuat Ken kesal, karena orang itu menekankan bahwa dia lebih tinggi daripada Ken. Dalam arti yang sebenarnya.

Ken benci mengakuinya, tapi dia tidak bisa menepis fakta bahwa laki-laki di hadapannya memiliki tubuh yang jauh lebih tinggi darinya. Ken tidak bisa menatapnya langsung di bola mata kecuali jika ia mendongakkan kepala, lebih kurang lima derajat. Ketika Ken berhasil menangkap semua yang terukir di wajah lawan bicaranya melalui indra penglihatannya pun, Ken tidak lantas merasa senang.

Wajah itu tampak sama sekali tidak bersahabat. Wajahnya cenderung menampilkan ekspresi penuh rasa bosan dan ketidakpedulian. Hanya saja, sepasang mata itu menyorot tajam dan penuh kesiagaan, persis seperti mata predator ketika sedang mengamati mangsanya dan menunggu waktu yang tepat untuk menyergap.

"Aku tidak mau mendengar omelan cewek itu karena menahanmu lama-lama, jadi aku langsung saja ke intinya," kata Morita Shou sambil menghela napas dan menatap ke pekarangan rumah Ken. Bibirnya mengerucut dan berdecak pelan seolah-olah dia sedang mengemut permen lemon yang rasanya asam. Ia mengalihkan fokusnya ke arah Ken sebelum ia melanjutkan, "Berhati-hatilah."

"Untuk apa?"

Laki-laki itu mengedikkan bahu. "Kejadian di arena kemarin bukanlah sesuatu yang diharapkan oleh pihak-pihak tertentu. Akan ada banyak mata yang mulai mengawasimu. Kebanyakan dari mereka adalah yang tidak suka dengan status barumu saat ini."

"Kau mengalaminya juga?"

"Hah!" Ken terkejut ketika Morita Shou tiba-tiba berseru dengan suara beratnya yang menggelegar. Raut mukanya pun berubah menjadi marah sekaligus muak. "Sudah tiga tahun dan tidak ada yang berubah!"

Tanpa sadar, Ken melangkah mundur untuk menjaga jarak dengan Morita Shou. Namun, laki-laki itu tiba-tiba mencengkeram kedua bahu Ken. Kedua tangan yang mencengkeram bahunya itu tidaklah berotot. Laki-laki itu hanya menang dari tinggi badannya. Bahkan rasanya, Morita Shou tidak lebih bongsor dari Kazuhiko. Hanya saja, yang membuat Ken kembali terintimidasi, daya cengkeram Morita Shou di bahunya terlalu kuat sehingga Ken tidak bisa melepaskan diri atau sekadar menggoyangkan bahunya.

"Kalau saja kau bukan adiknya, aku tidak akan peduli padamu," desis Morita Shou. Sepasang mata tajam itu menatap Ken intens. "Dengar ini baik-baik. Selama tiga tahun, terhitung sampai sekarang, orang-orang itu masih mengawasiku dan mencelakaiku. Dengan cara apapun. Berkali-kali aku hampir mati. Lebih buruknya lagi, mereka juga tidak segan-segan 'menyentuh' keluargamu."

Ken bungkam. Matanya membulat tidak percaya. Samar-samar, terlihat ekspresi cemas di wajahnya. Tangannya mengepal, tampak samar-samar bergetar.

"Mati?"

Laki-laki berjaket hitam itu mengamati ekspresi wajah Ken dalam diam, lalu mengangguk. Dia menyisir rambutnya ke samping ketika angin sengaja bermain-main dengannya dan hampir membuatnya menusuk matanya.

"Kita berempat adalah orang yang sangat tidak diinginkan keberadaannya. Mereka ingin membunuh kita untuk mencegah kejadian yang dulu tidak terjadi lagi." Dari mulutnya keluar decakan sebal. "Para bedebah sialan! Orang-orang bodoh itu memburu kita seolah-olah kita adalah virus mematikan. Padahal kita tidak melakukan kesalahan apapun."

Ken sangsi dengan kalimat terakhir yang didengarnya dari mulut Morita Shou, tapi dia memilih bungkam.

Ken mencatat baik-baik pesan dan nasihat yang diterimanya dari Morita Shou. Dia beruntung bisa mendapat informasi itu secara cuma-cuma. Meskipun dia tidak bisa seratus persen percaya pada semua yang didengarnya, untuk saat ini Ken harus mengumpulkan semua yang bisa dia dapat. Ken sendiri bahkan tidak tahu ke mana arah dari informasi-informasi yang didapatnya itu akan membawanya. Entah itu pada sesuatu yang membawanya pada pihak yang diuntungkan, atau justru sebaliknya.

"Dan karena kita berempat sudah terpilih, jangan heran kalau mulai hari ini ... atau mungkin besok, entahlah, keparat-keparat sialan itu mulai gencar berkeliaran di sekitarmu, keluargamu, dan teman-temanmu."

Tiba-tiba dalam kepala Ken muncul satu pertanyaan krusial. "Apakah tujuan mereka cuma untuk membunuh para Elementor Terpilih?"

Ken yakin jawaban dari pertanyaannya bukan hanya itu.  Taktik macam itu memang tidak asing. Hanya saja, rasanya terlalu simpel jika tujuannya memang hanya itu saja.

Terbukti, Morita Shou mendengkus keras. Laki-laki itu kemudian terkekeh sebentar. Tangannya merogoh sesuatu dari saku jaketnya. Permen karet rasa mentol.

"Tentu saja bukan, Bodoh! Kau pikir membunuh orang, apalagi kita, bisa semudah membunuh semut?"

Morita Shou masih terkekeh ketika mengatakan itu. Sarkasme terdengar jelas di setiap katanya. Meskipun begitu, Ken tahu bahwa bukan pada dialah sindiran itu ditujukan. Suara decak kencang Morita Shou terdengar di sela-sela aktivitasnya mengunyah permen karet.

"Informasi lengkap kita. Kelemahan kita. Rutinitas kita," gumam Morita Shou, menjawab pertanyaan awal Ken. Matanya mengarah ke gang lurus yang sepi di sisi barat jalan. "Mereka seserius itu mencap kita sebagai kriminalis."

Ken terdiam. Dia berusaha mengingat-ingat suatu informasi di kepalanya. Tanpa sadar, mulutnya terangkat dan bergumam pelan, "... Kenapa?"

Morita Shou yang mendengarnya samar-samar dan tidak paham dengan maksudnya hanya bisa mengerutkan kening. Sepasang alis yang mulanya terbentang mendatar di atas sepasang mata elang itu kini melengkung menukik. Heran.

"Apanya yang kenapa?"

Ken mengerjap. Baru sadar kalau pertanyaan yang niatnya hanya ingin disimpan dalam kepalanya itu melesat keluar. Karena laki-laki di hadapannya terlihat menuntut jawaban, Ken terpaksa mengungkapkan maksudnya.

"Kenapa kau peduli padaku?"

Ken tahu dan sadar sepenuhnya bahwa Morita Shou sedikit lebih tua darinya. Hanya saja, Ken tidak merasa perlu menghormatinya sedemikian rupa dengan memanggilnya 'senpai'.

Morita Shou pun sama sekali tidak masalah dengan itu dan menanggapi pertanyaan Ken dengan santai. Dia mengedikkan bahu sambil mengerlingkan mata ke arah lain.

"Kau perlu tahu apa saja yang akan terjadi ke depannya."

Alasan. Ken tahu jawaban itu hanya kedok. Namun, Ken tidak bisa langsung menyimpulkan apa yang sebenarnya ditutupi Morita Shou dari kedok itu.

"Tapi bisa saja jika nanti aku akan berbalik menyerangmu."

"Itu terserahmu. Aku melakukannya hanya karena kau Imai."

Ken agak tidak menyangka dengan jawaban itu. Laki-laki itu lantas berbalik dan pergi dari hadapan Ken. Langkahnya santai tapi lebar sehingga dia dengan cepat menghilang di balik persimpangan.

Ken menatap punggung itu sampai benar-benar lenyap dari pandangannya dengan kalut. Matanya seketika melirik ke arah pekarangan rumahnya. Sekejap kemudian, ia bergegas masuk ke dalam rumah.

***

Tiga hari berlalu dengan cepat. Selama itu, Ken hanya menghabiskan waktu di rumah. Makan, tidur, main game, atau mencoba-coba berlatih mengendalikan energi dalam tubuhnya yang masih terbilang liar dan sering keluar tanpa Ken kehendaki.

Sejak Ketteibi, Ken merasa bahwa aliran darahnya bergerak sangat cepat dan jantungnya berdegup tidak beraturan. Dia juga merasa tidak pernah kedinginan sejak saat itu meskipun dia hanya memakai baju dan celana pendek di puncak musim dingin. Ken tahu itu semua ada hubungannya dengan aliran energi dalam dirinya yang baru terekspos beberapa hari lalu saat Ketteibi. Yang Ken bingungkan, dia tidak tahu harus memulai dari mana untuk setidaknya mengontrol aliran energi dalam tubuhnya supaya dia tidak lagi merasa asing dengan tubuhnya sendiri.

"Whoah!!! Ken!!!"

Seruan kaget Suzume membuat Ken yang sedang melamun langsung tersadar dan menoleh ke samping. Kakak perempuannya itu justru menunjuk-nunjuk ke arahnya dengan heboh bercampur panik. Ken menunduk. Dia baru menyadari bahwa buncis dalam jepitan sumpit yang dipegangnya kini diselimuti oleh api yang entah datang dari mana. Walaupun kecil, tidak sampai sebesar kepalan tangan orang dewasa, api itu seolah-olah melahap buncis yang disumpit Ken dan sukses membuat Suzume serta kedua orang tua mereka panik.

"Maaf!"

Ken panik dan tanpa sengaja menjatuhkan sumpitnya ke atas meja. Ketiga pasang mata yang melihat tindakan Ken semakin panik ketika melihat buncis itu juga ikut terjun bebas ke meja makan mereka yang berbahan dasar kayu. Namun, ketika buncis itu akhirnya mendarat di atas meja, tidak ada yang terjadi. Api yang sebelumnya membakar buncis itu hilang begitu saja seperti kemunculannya yang tiba-tiba. Mereka bertiga menatap buncis berwarna hijau kehitam-hitaman itu dengan penuh kebingungan. Mereka saling bertatap-tatapan.

Suzume berinisiatif mengambil sumpit Ken yang sudah diletakkannya di atas mangkuk nasinya. Tidak terjadi sesuatu ketika Suzume memegang erat-erat sumpit itu, lalu dia meletakkannya lagi.

"Ken." Sang kepala keluarga yang sedari tadi hanya bisa diam dan mengamati keadaan akhirnya buka mulut. Si bungsu menoleh sambil menghabiskan minuman di gelasnya. "Bagaimana kalau besok kita ke dojo* Kakek?"

Raut wajah Ken tiba-tiba berubah. Dia memberengut. Matanya menyipit. Alisnya menukik tajam. Keningnya berkerut dalam. Suzume melirik ke samping dan menyeringai geli, berusaha menahan tawa.

Masih dengan wajah cemberut, Ken bertanya. Dia sama sekali tidak berusaha menutup-nutupi kekesalannya. "Kenapa mendadak?"

Ayahnya tidak menjawab. Pria itu hanya tersenyum tipis sambil meneguk habis minumannya.

.

.

.

dojo* (bangunan tempat belajar bela diri)