Chereads / Elemental Destruction [Bahasa] / Chapter 13 - Start to Connecting (5)

Chapter 13 - Start to Connecting (5)

"Aku bermimpi melihatmu terbakar."

Ken terdiam, tapi raut wajah yang tergambar di sana tidak bisa menutupi keterkejutannya. Chikara yang menyimak dalam diam terlihat mengerutkan kening. Bingung, sekaligus tidak percaya. Matanya melirik ke arah Ken yang duduk di sampingnya.

Tiba-tiba suara derap langkah kaki terdengar bergemuruh kencang. Arahnya menuju kamar Yasuhiro. Ketiga sahabat yang berada dalam kamar itu saling terdiam dan menatap ke arah lorong depan kamar yang terpampang jelas akibat pintunya yang terbuka sempurna. Dari beberapa titik terlihat bayangan hitam melesat dengan kencang, seiring suara derap langkah kaki yang terdengar semakin mendekat.

"Yasuhiro! Jangan mati dulu! Ini aku bawakan kue beras—"

Seruan lantang itu tiba-tiba terhenti begitu saja. Kazuhiko dengan rambutnya yang selalu terlihat seperti sarang burung muncul dengan begitu heboh, lalu membelalakkan matanya lebar-lebar. Kotak makan yang disodorkannya berayun-ayun pelan, nyaris terjatuh jika tidak segera direbut Chikara, kemudian dioper pada Yasuhiro.

"Oh … terima kasih. Duduklah. Jangan bengong begitu."

Kazuhiko tersentak, tersadar oleh lamunannya. Ia menghampiri teman-temannya dengan langkah lebar, lalu berdiri tepat di hadapan Ken. Ken balas menatap Kazuhiko dengan tanda tanya di kepalanya.

"Kau masih hidup?!"

Yasuhiro menjatuhkan rahang saking tidak menyangkanya dengan pertanyaan yang keluar dari mulut Kazuhiko. Chikara tersedak oleh salivanya sendiri. Alasannya sama dengan Yasuhiro. Sementara itu, Ken hanya mengerjapkan mata. Ekspresinya tidak berubah sama sekali.

"Wah, Kazu … cuma kau yang menanyai kabarku dengan kalimat itu."

Kazuhiko tidak mengindahkan reaksi Ken. Ia sibuk mengamati wajah dan tubuh Ken, sebelum kemudian perhatiannya teralihkan sepenuhnya ke arah rambut Ken. Sambil tangannya mengacak-acak rambut Ken, Kazuhiko memundurkan wajah sambil menyeringai.

"Aku penasaran, bagaimana reaksi Taniguchi-sensei saat melihat ini ketika kita masuk sekolah lagi di awal tahun ajaran nanti."

Ken menepis tangan Kazuhiko. Chikara menendang tulang kering Kazuhiko, mengodenya untuk tidak bercanda ke arah sana. Yasuhiro diam saja, ikut memfokuskan pandangan ke arah rambut Ken yang baru disadarinya berbeda dari sebelumnya.

Kehadiran Kazuhiko di tengah mereka membuat atmosfer berubah menjadi lebih hangat. Terlebih lagi pada kue beras yang dibawanya. Mereka berempat mengobrol sambil memakan kudapan yang hadir dalam lingkaran kecil mereka. Sesekali, obrolan kembali mengarah pada pembicaraan serius yang cukup memberatkan. Namun, Kazuhiko memutar haluan dengan sehalus mungkin sehingga mereka tidak berlarut-larut dalam atmosfer canggung yang tidak mengenakkan.

Dalam obrolan itu, Ken akhirnya mendapat gambaran lengkap dari situasi di arena gelanggang kemarin. Ketika energi dalam tubuh Ken meledak keluar, Kazuhiko yang berada tepat di sebelah arenanya mengaku bahwa sekat titanium* yang membatasi ruangnya dengan ruang Ken meleleh. Akibatnya, sekat itu berlubang. Dari lubang itu, Kazuhiko dapat melihat pemandangan yang menurutnya di luar akal sehat ketika Ken tampak diselimuti oleh kobaran api, dari ujung kaki sampai ujung rambut. Jika Chikara dan Yasuhiro yang masih berada di ruang tunggu peserta melihat kejadian itu melalui perantara LCD, Kazuhiko melihatnya langsung dengan mata kepalanya sendiri. Kazuhiko menatap pemandangan itu antara percaya dan tidak percaya, sampai akhirnya seorang wanita berjubah laboratorium menghampiri Ken dan membawanya keluar arena gelanggang.

"Bohong!" komentar Ken.

"Bohong dari mana?!" respons Kazuhiko, Chikara, dan Yasuhiro, nyaris membentak.

Selain informasi itu, Ken juga akhirnya dapat mengetahui energi elemen yang didapat oleh ketiga temannya. Kazuhiko menceritakan kronologi lengkap ketika ia merasakan energi dalam tubuhnya mengalir saat ia meletakkan tangan ke dalam ceruk batu bertulis. Aliran energi itu membuat Kazuhiko merasa lemas dan terbuai untuk memejamkan mata. Namun sebelum ia benar-benar terlena, Kazuhiko tiba-tiba merasakan pergerakan dari arena gelanggang yang dipijaknya. Ketika dia menunduk, ia mengerjap tidak percaya karena tanah di sekeliling sepatunya membentuk retakan-retakan. Padahal, Kazuhiko ingat betul ketika ia memasuki arena dan meletakkan tangannya di batu, tanah yang dipijaknya masih stabil dan tidak ada retakan sekecil apapun. Setelah diamatinya lagi, retakan-retakan itu perlahan-lahan menyebar. Belum selesai sampai situ, retakan-retakan yang mulanya hanya berbentuk seperti garis yang ditorehkan di atas tanah, lama-kelamaan melebar, menganga, seolah-olah mereka mempunyai mulut. Sebelum retakan itu semakin menganga lebar, bercerai-berai, dan membuatnya serasa berdiri di puncak jurang, Kazuhiko menarik tangannya dan segera berlari mundur.

"Tapi sewaktu kau keluar arena, tanah di bekas gelanggangmu jadi kembali lagi seperti semula, loh," komentar Yasuhiro.

"Oh, ya?!"

Yasuhiro mengangguk. Kazuhiko mengulang lagi inti pembicaraannya dan mengutarakan rasa takutnya saat ia melihat fenomena itu. Ia bahkan nyaris tidak bisa mempercayai penglihatannya sendiri. Pertama karena melihat akibat dari energi yang dikeluarkannya. Kedua akibat melihat langsung, dengan mata kepalanya, peristiwa ketika Ken dilahap api.

Kazuhiko kemudian melanjutkan ceritanya ketika ia melihat Chikara dan Yasuhiro saat di gelanggang. Dari gelanggang Chikara, yang dilihatnya dari layar LCD, tempat itu terlihat memunculkan sinar menyilaukan sebelum perlahan meredup dan kamera menangkap sebuah fenomena ketika seonggok kilatan cahaya berkumpul di atas telapak tangan Chikara. Suara guntur kemudian terdengar ketika kilatan cahaya itu menyentuh tangan Chikara.

"Kau melihatnya begitu?" tanya Chikara. Nadanya meragukan cerita Kazuhiko. Namun yang Ken tangkap, Chikara terlihat agak bingung dengan apa yang dilihat Kazuhiko dari LCD. "Yang kurasakan sendiri adalah ketika cahaya menyilaukan itu muncul, tangan kananku terasa seperti tersengat listrik, tapi hanya di tanganku yang satu itu! Di tempat lain aku tidak merasa apa-apa! Setelah itu, aku hampir tidak bisa merasakan tanganku."

"Bagaimana dengan suara guntur itu?" tanya Kazuhiko penasaran.

"Kalau itu, aku juga mendengarnya." Chikara melipat kedua tangan di atas dada. "Itu terjadi sesaat sebelum aku menarik tanganku dari batu."

Dengan binar mata penasaran, Kazuhiko menarik tangan kanan Chikara untuk bisa melihat bekas luka yang terbentang memanjang dari telapak tangan sampai sikunya. Karena mulai merasa risih, Chikara menarik tangannya dan melipatnya kembali di atas dada bersama tangan kirinya.

Walaupun sebenarnya belum puas, Kazuhiko pasrah dan memilih untuk melanjutkan ceritanya ke bagian Yasuhiro.

Dari LCD yang menyorot ke arah gelanggang Yasuhiro, Kazuhiko hampir tidak melihat apa-apa selain gulungan angin kencang yang berputar-putar menutupi kamera. Pusaran angin itu benar-benar tidak tertembus seolah-olah Yasuhiro terlahap olehnya. Oleh karena itu, ia menoleh ke arah Yasuhiro yang duduk tenang di atas tempat tidurnya, memberinya tatapan menuntut untuk menceritakan pengalamannya dari sudut pandangnya sendiri.

"Keadaanku saat itu tidak jauh berbeda dengan Ken," kata Yasuhiro. "Ketika aku meletakkan tangan di batu, perutku rasanya ingin muntah. Kepalaku rasanya pusing sekali. Mataku perih. Tubuhku mandi keringat. Satu yang bisa kurasakan dengan jelas hanya tiupan angin yang ada di sekelilingku. Setelah itu, pandanganku memutih, lalu aku pingsan."

Ken merenung. Kondisi yang dialami Yasuhiro memang hampir sama dengan yang dirasakannya sendiri. Saat itu, ia merasa kepalanya sangat pusing dan hampir pecah. Ia merasa ingin memuntahkan seluruh isi perutnya. Keringat dingin mengalir deras membanjiri sekujur tubuhnya.

"Kalian berdua," gumam Kazuhiko merujuk pada Ken dan Yasuhiro. Mereka menunggu lanjutan kalimat Kazuhiko. "Aku tidak tahu harus menanggapi takdir kalian ini dengan ucapan selamat atau bagaimana. Tapi setidaknya, aku bersyukur kalian masih hidup."

Ken mendengkus, teringat pada kalimat pertama yang diucapkan temannya itu ketika memasuki kamar.

"Kau berlebihan."

Yasuhiro terkekeh. Chikara dan Kazuhiko ikut mendengkus.

"Oh iya, Ken! Kemarin aku bertemu seseorang yang katanya mengenalmu. Dia satu kelompok denganku di Jikai. Hanya saja, dia senpai*, dua tahun di atas kita."

Ken tertarik dan merasa mengenal seseorang yang dimaksud Kazuhiko. Oleh karena itu, Ken memancing temannya itu agar memberi detail lebih lengkap tentang orang yang Kazuhiko bicarakan.

"Hm … Shou! Morita Shou. Kau kenal?"

Tentu saja, jawab Ken dalam hati.

***

Di perjalan pulang, Ken tidak bisa menahan diri untuk cepat-cepat sampai rumah. Ada sesuatu yang ingin dicari dan digalinya lebih dalam. Sesuatu yang mungkin akan menambah dan melengkapi informasi yang dia punya serta menghilangkan tanda tanya besar di kepalanya.

"Ada sesuatu yang mau kubicarakan dengannya."

"Untuk apa? Apa urusannya denganmu?"

Ken mengerem langkahnya dan bersembunyi di balik pagar tembok batu milik tetangga seberang rumahnya. Ia menajamkan penglihatannya ketika melihat Suzume sedang berbicara dengan seorang laki-laki. Sayangnya, Ken tidak bisa melihat wajah laki-laki itu dengan jelas karena posisinya berdiri di balik pagar, memunggungi Ken. Kalau dilihat-lihat lagi, laki-laki itu semacam tamu yang sangat tidak diharapkan Suzume, dilihat dari ekspresi kakaknya dan pagar yang dibiarkannya terkunci.

Siapa?

Penasaran, Ken pun keluar dari tempat persembunyiannya.

"Suzume."

Kakak perempuan Ken yang saat itu mengikat rambutnya asal-asalan langsung menoleh dan membukakan pagar untuk adiknya. Namun, Ken tidak langsung masuk. Ia menatap tamu yang tak diharapkan Suzume dengan pandangan menilai.

"Kubilang juga apa, 'kan? Dia tadi tidak di rumah. Dan karena kau sudah melihatnya, sekarang pergilah!"

Laki-laki berambut hitam pendek itu mengalihkan pandangannya dari Ken sesaat, melirik Suzume dengan mata menyipit dan seringai kecil.

"Apapun yang kau mau," ucapnya dengan suara rendah. Bola matanya beralih lagi ke arah Ken. "Ikut aku!"

Ken bingung.

"Hei! Aku menyuruhmu pergi! Bukan menculik adikku!"

Laki-laki itu menolehkan lagi kepalanya ke arah Suzume yang tidak lagi menutup-nutupi amarahnya yang telah berada di ubun-ubun.

"Siapa yang bilang aku mau menculiknya? Berkali-kali kubilang sebelumnya kalau aku hanya ingin bicara dengan dia."

Ken menangkap tatapan mata penuh arti yang diarahkan orang itu padanya. Tanpa pikir panjang, Ken segera memutuskan kontak mata dengan laki-laki itu dan menoleh ke arah Suzume.

"Aku akan masuk sebelum jam enam," kata Ken. Suzume tampak tidak setuju, tapi Ken segera menyodorkan plastik putih dengan logo minimarket dekat rumahnya. "Ini, aku beli nikuman*. Bawa masuk atau itu akan dingin. Sisakan aku dua!"

Kedua lelaki itu memperhatikan Suzume sampai benar-benar lenyap dan masuk ke dalam rumah. Meskipun begitu, Ken menyadari kalau Suzume masih mengamatinya dari balik jendela. Namun, Ken tidak mempermasalahkannya karena dari jarak segitu ia tidak akan bisa mendengar jelas suaranya dari balik pagar.

"Yo," sapa laki-laki itu lebih dulu. Ia tampak begitu santai sambil menumpukan sikunya di pagar rumah Ken. "Dilihat dari gelagatmu, sepertinya aku tidak perlu repot-repot memperkenalkan diri. Benar, 'kan?"

"Benar." Ken mengangguk. Dia membalas seringai yang terukir di wajah lawan bicaranya dengan seringai pula. "Salam kenal, Morita Shou-san."

.

.

.

*titanium (adalah logam yang kuat, ringan, berkilau, tahan terhadap korosi, titik lebur di atas 1000 derajat C, titik didih di atas 3000 derajat C)

*senpai (senior)

*nikuman (bakpao isi daging)