"Kau yakin, tidak apa-apa?"
Pagi-pagi sekali, Chikara datang ke rumah Ken. Niat awalnya adalah untuk memeriksa keadaan Ken, lalu beralih ke rumah Yasuhiro dengan tujuan yang sama. Chikara tidak menyangka kalau Ken juga ingin ikut ke rumah Yasuhiro. Chikara yang tidak suka mengambil risiko sebenarnya sudah menegaskan Ken untuk diam dan istirahat saja di rumah. Sayangnya, larangan Chikara tidak dipedulikan sama sekali oleh Ken.
"Ah … aku bosan mendengar pertanyaan yang sama sejak kemarin," keluh Ken. Mereka berdua sekarang sedang dalam perjalanan menuju rumah Yasuhiro. "Kau punya mata. Keduanya masih dalam keadaan sehat. Kau bisa lihat sendiri 'kan kondisiku saat ini seperti apa?"
"Kalau begitu bersikaplah seperti yang biasa kau lakukan." Chikara membuang napas panjang. Tangannya menyingkap tudung jaket Ken. "Kau tidak pernah menutup kepalamu dengan tudung jaket seperti orang kedinginan begitu sekalipun cuacanya sedang sangat dingin."
Ken menaikkan kembali tudung jaketnya. "Aku tidak biasa dengan penampilan baru ini. Aku risih dengan tatapan aneh yang orang-orang berikan ketika melihatku yang seperti ini."
Chikara berdecak. Tangannya memukul area belakang kepala Ken, lalu menarik lagi tudung jaketnya sampai tersingkap untuk yang kedua kali.
"Tuh, apa kubilang? Kau tidak pernah sekali pun peduli dengan tanggapan orang-orang mengenai dirimu. Jelas-jelas ini tandanya kau masih tidak baik-baik saja! Lagi pula, apa masalahnya dengan tampilanmu yang sekarang? Agak menjengkelkan, sih, karena warna rambutmu jadi sekilas mirip denganku, tapi apa bedanya dengan efek cat rambut? Dulu kau pernah membayangkan ingin mencat rambut juga, 'kan? Anggap saja itu begitu."
Ken sendiri baru menyadari perubahan fisiknya ketika ingin mandi kemarin malam. Ketika mematut diri di cermin, ia merasa sedang menatap seseorang yang mirip dirinya, tapi tidak sepenuhnya mirip dia.
Ken terlahir dengan rambut tebal alami berwarna cokelat gelap. Ia tidak pernah melakukan eksperimen apapun dengan rambutnya meskipun dulu ketika SMP ia pernah berkeinginan mengecat rambut. Namun sekarang, ketika melihat keinginannya terwujud, Ken justru merasa aneh. Ia seperti … tidak mengenali refleksi dirinya sendiri yang dia lihat di cermin.
Warna gelap kecokelatan yang seharusnya terlihat di rambut Ken justru tampak berwarna gelap kemerah-merahan. Gradiasi dari pangkal ke ujungnya terdiri dari warna cokelat gelap ke merah gelap. Ken kemudian memberanikan diri untuk menyentuh dan mengelus rambutnya sendiri. Di saat itu, dia berkesimpulan bahwa tidak ada perubahan signifikan pada rambutnya selain perubahan pada warnanya saja. Selebihnya tidak ada yang berubah.
"Apa mungkin perubahan warna rambutmu seperti luka ini?" tanya Chikara sambil membuka kepalan tangan kanannya. Di sana terlihat bekas luka bakar dari telapak tangan sampai siku yang bentuknya memanjang seperti akar. "Kau paham, 'kan? Tanda yang didapat para elementalis berunsur api untuk pertama kalinya ketika Ketteibi?"
Ken tahu itu. Selain menjadi simbol bahwa seseorang merupakan elementalis berunsur api dalam naungan Higami, bekas luka itu juga menjadi penanda letak kekuatan terbesar seorang elementalis api. Kebanyakan, terlihat pada tangan kanan atau kiri seseorang tergantung dominasi tangan yang digunakannya. Chikara, misalnya, tanda itu terukir di tangan kanannya yang menunjukkan bahwa pusat kekuatannya berasal dari energi yang bersumber di area sekitar tanda itu berada.
Tentu saja, karena Chikara memiliki tanda bekas luka bakar itu, ia juga merupakan seorang elementalis api. Sama seperti Ken. Bedanya, elemen Chikara lebih spesifik pada elemen listrik. Elemen yang berafiliasi dengan elemen api dan tergabung bersama Higami, dengan dua keluaran energi berupa listrik atau kilat. Hanya saja, Ken belum tahu apakah Chikara masuk ke dalam tim yang menghasilkan sengatan listrik dari tangannya atau justru mendatangkan kilat dari langit.
"Kalau memang benar begitu, kenapa harus rambutku yang berubah warna? Kenapa tidak di wajahku saja tanda itu muncul?" gumam Ken sambil menyisir rambutnya ke belakang. Titik-titik dingin salju terasa di tangannya ketika ia menyentuh puncak kepalanya.
"Mana kutahu. Lagi pula, kasusmu 'kan tidak biasa. Aku dan Yasuhiro yang melihatmu dari LCD saja nyaris mengira kalau kau mati terbakar oleh api yang keluar dari hampir seluruh tubuhmu. Yang lebih tidak bisa kumengerti justru ketika melihatmu keluar dari gelanggang dalam keadaan hidup, tidak gosong, dan baik-baik saja. Kalau kau tanya orang jenius sekalipun, mereka pasti akan beranggapan bahwa kasusmu itu mustahil. Hanya keajaiban atau mukjizat jawaban yang paling bisa diterima. Maksudku … api itu benar-benar menyelimuti seluruh tubuhmu! Dari atas sampai bawah. Aku seperti sedang melihat orang dibakar hidup-hidup, kau tahu?!"
"Eh? Ngeri!"
"Tapi itu kau! Dan aku tidak sedang bercanda atau melebih-lebihkan! Kau dengar saja sendiri dari Yasuhiro!"
Tepat setelah itu, mereka sudah dapat melihat bangunan rumah Yasuhiro dari jarak lima meter. Rumah tingkat dua bergaya tradisional Jepang itu berdiri kokoh dengan percaya diri di antara rumah-rumah yang didominasi gaya modern. Ken berjalan berjinjit untuk bisa melihat ke dalam pekarangan rumah temannya itu dari balik pagar kayu sementara Chikara mengetuk-ngetuk pintu pagarnya.
Seseorang keluar membukakan mereka pagar. Seorang wanita berambut sebahu dengan apron warna kuning yang masih terpasang mengkoveri bajunya. Dia tersenyum ketika menyadari dua laki-laki seumuran anaknya berdiri di depan rumahnya. Ia kemudian langsung membawa mereka masuk dan mengantarnya sampai ke lantai dua.
"Yacchan, ada Chikara-kun dan Ken-kun!"
Wanita itu membuka lebar-lebar pintu kamar anaknya. Ken dan Chikara masuk, menatap si pemilik kamar yang sedamg duduk bersandar di kepala ranjang sambil membaca buku. Pandangan laki-laki berpiyama biru itu seketika teralihkan dari bukunya.
"Yo, Yacchan! Kau sehat?"
"Ken!!!"
Ken nyaris terhuyung ke belakang ketika Yasuhiro tiba-tiba menyerukan namanya dan bangkit dari tempat tidur dengan gerakan gesit secepat kilat.
"Kau hidup? Kau tidak apa-apa?! Kau—"
"Oi, kami ke sini untuk menjengukmu karena kemarin kau terlihat sangat drop. Jadi, pikirkan saja dirimu sendiri untuk saat ini sebelum memikirkan orang lain," potong Chikara sambil mendorong Yasuhiro agar kembali ke tempat tidurnya.
"Tapi, Chikara, kau juga lihat 'kan kemarin Ken—"
"Yasu, shhh! Aku bosan dengan pertanyan yang sama sejak kemarin. Yang penting kau bisa lihat sekarang kalau aku tidak apa-apa," potong Ken sambil memaksa Yasuhiro untuk duduk di kasurnya. "Dan sekarang masalahnya ada padamu. Bagaimana kondisimu? Sudah lebih baik?"
Yasuhiro mengerjapkan matanya. Kepalanya menunduk, lalu mengangguk.
"Terima kasih, kalian berdua, sudah repot-repot datang ke sini. Aku sudah merasa lebih baik dari kemarin."
Ken dan Chikara menghela napas lega. Di lingkaran pertemanan mereka, Yasuhiro adalah sosok yang paling pengertian dan rela menawarkan apapun dalam rangka membantu teman-temannya. Karena Ken dan Chikara masih memiliki empati dan nilai kemanusiaan, mereka membalas kebaikan Yasuhiro yang sudah-sudah dengan menjenguknya ketika ia sakit.
Kazuhiko … entahlah. Mungkin dalam hitungan satu jam ke depan dia baru akan muncul dan bergabung bersama tiga temannya itu.
"Ken, aku minta maaf."
Ken jelas-jelas terkejut. "Minta maaf untuk apa?"
Yasuhiro menunduk. Ia memain-mainkan kesepuluh jarinya dengan bimbang. "Kau ingat, pagi hari ketika aku meneleponmu kemarin?"
Ken mengangguk.
Yasuhiro terdiam untuk beberapa saat. Kepalanya mendongak perlahan sebelum mulutnya kembali terbuka.
"Waktu itu, aku bermimpi melihatmu terbakar. Persis seperti apa yang terjadi di gelanggang arena kemarin."