Selama ini, Ken tidak pernah berurusan langsung dengan para petinggi dalam Empat Kelompok Besar. Menurutnya, mereka adalah sekumpulan elite. Terpandang dan paling dihormati oleh anggota-anggota bawahannya. Atau semacam elite sibuk yang tidak sembarang orang dan waktu bisa ditemui, terlebih hanya untuk mengurus masalah sepele. Para elite dengan pemikiran hebat yang mampu membawa kelompoknya menuju masa kejayaan.
Namun sepertinya, di antara para elite juga terdapat banyak hal yang ditutup-tutupi. Sesuatu yang mungkin seharusnya tidak pantas terlihat di muka umum, atau mungkin sesuatu yang terkover dengan proteksi kuat dan rapi hingga tidak pernah terekspos ke telinga mana pun.
"Duel?"
Aoki menyilangkan tungkai kakinya sambil menyeringai. "Kalau kau tahu perihal eksistensi Elementor Terpilih, pasti kau juga tahu pandangan orang mengenai mereka. Entah itu yang pro atau kontra."
Sebetulnya, Morita Abe tidak memberinya informasi sampai ke sana. Hanya saja, Ken dapat sedikit menebak jawaban dari maksud ucapan Aoki.
Ken mengedikkan bahu, menunggu Aoki melanjutkan perkataannya.
"Sayangnya, tidak sedikit dari mereka menganggap kemunculan Elementor Terpilih sebagai sebuah malapetaka. Perdamaian yang seharusnya tercipta dan menjembatani hubungan para elementalis justru dihancurkan oleh eksistensi Elementor Terpilih. Omong kosong meskipun katanya kekuatan mereka setara dengan para pemimpin pendahulu. Pada akhirnya, mereka hanya mengungkit kembali kejadian yang lalu. Kau tahu? Tidak ada yang mau mengulang sejarah kelam yang sama, Nak."
Ken masih diam mendengarkan. Aoki mengamati setiap inci pergerakan Ken.
"Siapa yang menyangka kalau salah satu mereka akan datang tahun ini!" Aoki memukul map berisi berkas identitas Ken yang ada di atas meja dengan kepalan tangannya. Akibat perbuatannya itu, kedua gelas yang ada di sana bergetar dan hampir terjatuh menumpahkan air yang ada di dalamnya.
"Tahun lalu dari Suimi. Tahun sebelumnya Jikai. Tahun ini Higami. Tersisa Futen. Lalu apa? Tinggal tunggu waktu sampai mereka mengacaukan keseimbangan dan kedamaian yang ada selama bertahun-tahun terakhir antara Empat Kelompok Besar! Hah!"
Pria itu tampak menikmati betul sesi pelepasan emosinya.
Dalam hati, Ken memikirkan kemungkinan jika Aoki beralih profesi menjadi guru. Akan seperti ini jugakah dia terhadap murid-muridnya? Memikirkan itu, membuatnya bersyukur bahwa Taniguchi, wali kelasnya, tidak semengerikan ini ketika berbicara atau ketika menghukum murid-muridnya.
"Dan kalau kau cukup cerdas, kau juga pasti tahu kalau reputasi Higami adalah yang paling buruk di antara Empat Kelompok Besar. Hanya karena mereka melihat kelompok ini berelemen api dan dianggapnya paling berbahaya!" gerutu Aoki tanpa henti. Dia meneguk habis minumannya, lalu meletakkan kembali gelas minumnya ke atas meja dengan hentakan kuat. Untung saja, gelas itu tidak seringkih kelihatannya.
"Jadi, Anda mengajakku berduel untuk mengetahui seberapa berbahaya kekuatanku?"
Seringai itu kembali terukir di wajah Aoki. Sorot matanya berkilat-kilat. "Aku suka dengan anak yang cepat tanggap sepertimu!"
Pria itu berdiri dan mulai bersiap-siap. Ia menggulung lengan kemeja panjangnya sampai siku. Ia melepas kancing-kancing kemejanya, sengaja memamerkan bekas luka bakar yang terbentang di sepanjang tulang selangkanya. Sementara itu, Ken tetap diam dalam posisi duduk. Ia menatap gerak-gerik Aoki dengan tenang layaknya penonton menikmati adegan yang dibawakan oleh sang aktor utama.
"Kenapa diam saja? Kau takut?"
Ken menggeleng. "Aku tidak punya alasan untuk melawan Anda, Aoki-san."
Laki-laki berjaket hitam itu terhuyung ke depan ketika tiba-tiba Aoki menarik bajunya. Akibat tarikan Aoki, tudung jaket yang sedari awal menutupi kepala dan sebagian wajah Ken kini tersingkap.
"Aku tidak peduli dengan alasanmu. Aku memaksa, bukan meminta untuk menunggu jawaban 'setuju' atau 'tidak'. Aku tidak peduli sekalipun kau menolak dengan alasan apapun itu."
Aoki mengepalkan tinju ke udara. Di saat bersamaan, kobaran api menyelimuti kepalan tinjunya. Ken masih tidak tahu dan tidak yakin apakah itu betul-betul api, ilusi optik, atau halusinasinya saja. Pasalnya, api itu tampak menari berayun-ayun. Terkesan indah menarik mata dan mengingatkan Ken pada visual game favoritnya. Anehnya lagi, Aoki tampak tidak terluka atau merasa kepanasan meskipun api itu sekarang terlihat menyelimuti hampir seluruh tangan kanannya.
"Oh … sepertinya kau benar-benar tidak ada niat untuk meladeniku, ya?"
Ken mengangguk. "Aku tidak berubah pikiran."
Kepalan tinju Aoki segera dilayangkan ke arah wajah Ken ketika ia telah mendapat konfirmasi. Refleks, Ken memejamkan matanya. Ia hanya berharap supaya tubuhnya tidak terpental jauh dan membuatnya membentur tembok sampai mencederai tulang-tulangnya.
Namun, Ken tidak kunjung merasakan apapun.
Sampai satu menit Ken menunggu, tetap tidak ada yang terjadi.
Karena penasaran, Ken membuka pejaman matanya.
"Kerja bagus, Imai. Kalau aku jadi kau, aku akan langsung meladeni ajakan duel itu tanpa pikir panjang."
Aoki kembali duduk di sofa sambil menyilangkan kaki. Ia meraih kembali map berisi lembaran informasi pribadi Ken, membacanya sebentar, lalu menuliskan sesuatu di sana sebelum melemparnya lagi ke atas meja. Ken menatapnya dengan agak jengkel.
"Kalau tadi kau membalas seranganku, maka aku tidak akan segan-segan melakukannya dengan serius. Tapi karena kau tetap tidak mau melawan, aku akan menahannya sampai nanti … kalau tiba-tiba kau lepas kendali."
"Apa semua anggota baru kau perlakukan seperti ini juga?"
Aoki menggeleng. "Tentu saja tidak."
Ken langsung mengerti.
Aoki menyerahkan bolpoin dari saku kemejanya, lalu menyerahkannya pada Ken bersama dengan map yang tadi di lemparnya di atas meja. Ia mengetuk-ngetuk bagian putih kosong di ujung halaman, menyuruh Ken untuk menulis nama serta menorehkan tanda tangannya.
"Dengar, aku tidak akan selalu mengawasimu hanya karena kau Elementor Terpilih. Kami membebaskan semua anggota untuk melakukan apapun yang mereka mau, asalkan tidak merusak citra Higami dan bertindak melawan hukum negara yang berlaku. Karena kau sudah menjadi bagian dari kami, walaupun belum resmi, hak itu sudah bisa kaudapatkan. Syaratnya hanya satu, kendalikan dirimu! Kau sudah tahu alasannya."
Ken meletakkan bolpoin di atas map yang telah ditandatanganinya, lalu mendorongnya sedikit ke depan. "Apa yang terjadi kalau kami bertindak terlalu bebas?"
"Teguran, hukuman … semacam itu. Bagian Kedispinan yang mengurusnya," jawab Aoki sambil mengedikkan bahu. "Tapi kalau kasusnya terjadi padamu, mungkin akan ada tambahan ceramah singkat dari Hirano."
Sejak memasuki ruangan ini, Ken banyak mendengar nama-nama asing keluar dari mulut Aoki. Sasaki, Maeda, Sakurai, lalu ditambah lagi Hirano. Ken yang statusnya masih tidak mengenal siapapun justru bingung sendiri. Namun, Aoki tampak tidak berniat menjelaskan siapa mereka pada Ken, atau setidaknya posisi dan jabatan mereka di organisasi.
"Ini kartu namaku dan Hirano." Aoki mengeluarkan dua lembar kartu nama dan meletakkannya di atas meja. "Dan jangan lupa hadir di acara peresmian tanggal 29!"
Ken mengambil dua kartu nama yang diberikan padanya. Kartu nama pertama tidak lain atas nama Aoki Daisuke selaku Wakil Ketua Organisasi. Ken merasa tidak perlu mengamatinya lama-lama. Ia kemudian beralih pada kartu nama kedua. Di sana tertulis nama Hirano Masayuki. Di bawah namanya tertulis 'Ketua Umum Higami'.
"Orang ini?"
Aoki memanjangkan leher untuk melihat kartu nama yang sedang dilihat Ken. "Hirano? Seperti yang tertulis di sana. Dia ketuanya, yang seharusnya berbicara empat mata denganmu saat ini. Sialnya, dia justru pergi mengurus sesuatu di luar kota sementara urusan di sini dilemparkannya begitu saja padaku."
"... Aku menandatangani itu untuk apa?" tanya Ken lagi sambil menunjuk ke arah map, sambil tangan kirinya bergerak memasukkan kartu-kartu nama ke dalam tas pinggangnya.
"… Jaminan," jawab Aoki setelah memilih kosakata yang dirasanya paling tepat. "Jika terjadi sesuatu padamu, dokumen itu akan berperan sebagai asuransi. Intinya, kami yang akan bertanggung jawab."
Ken mengamati map itu dengan tatapan menyelidik, lalu melirik Aoki. "Apa ini hak untuk semua anggota?"
Aoki menggeleng.
***
Sasaki mengantar Ken sampai ke lobi. Laki-laki dengan sweater abu-abu itu baru saja memperkenalkan nama dan dirinya sebagai tim dari Bagian Administrasi yang khusus mengurusi anggota-anggota baru. Tidak jauh berbeda seperti Morita Abe.
"Sebetulnya para anggota baru tidak bisa pulang sebelum pertemuan nanti sore, tapi karena Imai-kun sudah diganti dengan pertemuan empat mata bersama Aoki-san, kamu boleh langsung pulang. Pertemuan selanjutnya akan diadakan tanggal 29 di markas pusat. Jangan sampai lupa dan tidak datang, ya!"
Ken mengangguk ragu. "Apa benar aku boleh langsung pulang?"
Sasaki tersenyum. "Boleh, boleh. Aku tidak tega membuat keluargamu terus menunggu."
Ken bungkam. Ia tidak tahu harus bersikap seperti apa pada orang tuanya. Ia tidak mau mereka merasa khawatir berlebihan. Ia tidak mau mereka membesar-besarkan masalah. Satu hal yang Ken mau hanyalah supaya mereka dapat menenangkan dirinya.
"Ken!!!"
Seruan ibunya membuat Ken agak tersentak dan langsung menoleh ke arah sosoknya yang berdiri didampingi ayahnya dan juga Suzume. Wanita itu seketika merangkum wajah Ken dengan raut wajah khawatir yang tidak bisa ditutup-tutupi. Ken yang tidak suka melihatnya bergerak menenggelamkan kepalanya dalam ceruk leher wanita itu.
"Jangan panik begitu. Aku baik-baik saja."
Masih dalam posisi memeluk ibunya, Ken dapat mendengar jelas tarikan napas panjang wanita itu sambil tangannya mengelus-elus punggungnya. Satu tangan lain bergerak menepuk-nepuk bahunya. Tangan itu lebih besar ukurannya dari tangan ibunya.
"Kami tahu, kamu kuat," ucap ayahnya. Ken mengangguk takzim.
Di antara ayah dan ibunya, Suzume mengamati kondisi Ken dengan saksama. Dua pasang mata itu bertemu, kemudian saling memberi kode tak lisan yang hanya mereka berdua pahami. Ken berkali-kali mengangguk untuk meyakinkan Suzume bahwa dirinya benar-benar tidak apa-apa. Meskipun begitu, kakaknya tampak tidak percaya seratus persen. Ia membuka mulut tanpa suara, yang Ken tangkap berbunyi, "Nanti lagi, di rumah."
Imai sekeluarga memutuskan untuk pulang karena merasa tidak ada urusan lagi di arena. Dalam mobil yang dikendarai sang ayah, hanya suara sang ibu yang menemani perjalanan mereka. Sementara dua anak yang duduk di belakang menyimak dalam diam, ibunya melampiaskan rasa cemasnya yang sesekali ditimpali kalimat penenang yang keluar dari mulut ayahnya.
Sampainya di rumah, hari sudah menjelang sore. Orang tua Ken, terutama ibunya, menyuruh Ken untuk langsung ke kamar dan beristirahat. Ken menurut saja. Namun sebelum masuk ke kamar, Ken menarik tangan Suzume dan mengajaknya ikut masuk ke kamarnya.
"Kenapa?" tanya Suzume ketika adiknya itu langsung membenamkan wajah ke bantal. "Ada yang sakit? Bilang saja, Ken. Jangan disembunyi-sembunyikan begitu."
Ken menggeleng. Ia mengangkat sedikit kepalanya dari atas bantal. "Bukan. Aku hanya merasa sakit sewaktu di arena. Selepas itu, aku justru merasa jiwaku tersedot ke luar. Badanku rasanya lemas semua."
"Ya sudah, istirahat. Aku bisa menunggu ceritamu sampai besok, kok."
Suzume berniat keluar dari kamar Ken dan membiarkannya beristirahat. Namun, Ken justru mencekal pergelangan tangan Suzume sehingga perempuan itu menoleh dan menghela napas panjang.
"Apa yang tadi terjadi di arena? Apa aku membuat kehebohan sewaktu di sana?"
Suzume terdiam. Kalau saja Ken tidak menanyakan hal itu, ia memilih untuk menjauhi topik itu. Namun, tatapan Ken membuat Suzume tidak punya pilihan selain memberi jawaban yang dia inginkan.
Sayangnya, dering ponsel Ken menginterupsi jawaban yang akan diberikan Suzume sehingga perempuan itu kembali menutup mulutnya. Ken mengerutkan kening, tapi tetap mengambil ponselnya dan menjawab panggilan yang masuk.
"Hah? Kau tidak sedang bercanda 'kan, Chika?"
Suzume mengamati raut wajah Ken yang berubah aneh. Ekspresi antara kaget, tidak percaya, dan takut bercampur baur di wajah lelahnya.
"Kenapa?" tanya Suzume setelah Ken mematikan sambungan panggilannya.
Laki-laki itu meletakkan ponselnya sembarang arah, lalu menoleh ke arah Suzume dengan pandangan kosong. "Yasu. Sama sepertiku."
Suzume mengerutkan kening.
Sesaat kemudian, matanya membelalak lebar.