Ken tidak menyangka gilirannya akan tiba secepat ini. Dengan agak tidak percaya, Ken segera berdiri dan menyusul langkah Kazuhiko.
Sambil berjalan mengekori Kazuhiko, bola mata Ken mengedar ke segala arah untuk mencari tahu siapa saja empat peserta lain yang mendapat giliran bersamanya. Orang ketiga adalah bagian dari grup kecil Ken, teman perempuan Sano yang berambut ikal panjang, namanya Igarashi. Orang keempat dan kelima berada jauh di depan, laki-laki, hampir memasuki salah satu pintu menuju gelanggang arena bersama seorang ilmuwan yang menemani langkahnya. Orang terakhir berjalan tidak jauh dari Kazuhiko, perempuan, gelagatnya mengingatkannya pada Sano.
Ketika langkah Ken semakin mendekat ke arah LCD dan merasa ingin menyentuh layarnya dengan ujung jari, seorang wanita berjubah laboratorium putih menghampiri Ken. Ia memperkenalkan diri secara singkat, lalu menggiring Ken menuju salah satu pintu masuk menuju gelanggang arena sambil melempar pertanyaan basa-basi. "Bagaimana keadaanmu?"
"… Tidak cukup baik."
Gelak tawa terdengar dari wanita itu. "Semoga harimu tidak seburuk apa yang kualami."
Ken mengamati ilmuwan pendampingnya. Wanita itu cukup tinggi sekalipun dia tidak memakai sepatu hak. Rambut hitam panjangnya diikat asal-asalan. Umurnya mungkin berkisar antara 25 ke atas. Wajahnya cukup cantik meskipun kesan natural yang tergambar di sana menunjukkan bahwa dia tidak terlalu mempedulikan penampilannya. Matanya sipit sayu. Lingkaran hitam di bawah matanya terlihat jelas.
Wanita itu membukakan pintu, mempersilakan Ken masuk lebih dulu. Ken mengangguk sopan, melangkahkan kakinya memasuki arena.
Namun, area yang dimasukinya bukanlah lapangan arena yang dia ketahui. Ia mengedarkan pandang dengan ekspresi bingung.
"Ini di mana?" tanya Ken. Belum tuntas rasa penasarannya, Ken kembali dibuat terkejut ketika melihat wanita di hadapannya mengeluarkan sebuah jarum suntik dari salah satu brankas kecil di atas meja di pojok ruangan. "Itu apa?!"
"Tenanglah, Boy." Wanita itu menepuk-nepuk pelan pundak Ken. Mata sipitnya yang sebelumnya hampir terpejam menahan kantuk tiba-tiba membelalak ketika tangannya menyentuh pundak laki-laki 17 tahun itu. Ia berdeham. "Ini masih di arena. Posisinya ada di antara ruang tunggu dan gelanggang. Mungkin karena tidak pernah diekspos ke publik, wajar kalau kau tidak tahu. Yah … aku juga tidak tahu kenapa mereka tidak mengekspos ruangan ini. Aku tidak terlalu peduli dengan konspirasi. Dan ini stimulan … ya, semacam itulah. Untuk merangsang energi elemen dalam tubuhmu keluar."
Setelah menjawab pertanyaan Ken, wanita itu menengadahkan tangan. Ken ragu sesaat, kemudian menggulung lengan jaketnya dengan berat hati. Mata jarum yang sudah hampir berada di permukaan kulit Ken tiba-tiba berhenti di tengah jalan. Ken menyadari tatapan aneh yang dilihatnya dari balik iris karamel wanita di hadapannya. Ken berdeham. Wanita itu mengerjapkan mata, tersadar oleh lamunannya. Ujung jarum itu pun kembali melanjutkan perjalanannya memasuki lapisan kulit Ken.
Ken jarang disuntik. Ia jarang sakit. Sekalinya sakit, itu pun hanya demam atau flu ringan yang penanganannya tidak perlu sampai disuntik. Oleh karena itu, Ken selalu merasa ngeri ketika melihat jarum suntik dan cairan aneh yang disuntik masuk ke dalam tubuh seseorang.
Ken memejamkan mata rapat-rapat ketika jarum suntik telah masuk cukup dalam ke lengannya.
"Sudah, sudah. Sesi suntik-menyuntiknya sudah selesai."
Dengan perlahan, Ken membuka pejaman matanya. Di saat bersamaan, ia merasa penglihatannya lebih jernih dibanding beberapa saat lalu. Ia mengerjap bingung, lalu menoleh ke arah lengan kanannya sambil membuka-tutup kepalan tangan.
"Cepat sedikit, Boy. Kita bermain durasi di sini. Masih banyak anak yang menunggu gilirannya."
Wanita itu menggenggam pegangan pintu besi yang seharusnya merupakan penghubung sesungguhnya menuju gelanggang arena. Ken berjalan menghampirinya. Pintu pun dibuka. Suasana lapangan arena terbentang di hadapan Ken. Dadanya seketika bergemuruh.
"Sudah tahu cara mainnya, 'kan?" tanya wanita di samping Ken. Telunjuknya yang lentik menunjuk ke arah batu berukir setinggi satu meter berwarna putih mengilap yang berdiri kukuh di ujung sekat pembatas. "Letakkan satu tangan di atas permukaannya. Dan jangan memikirkan sesuatu yang buruk, aneh, atau kotor di kepalamu."
Ken masih berdiri diam di tempat. Ia menatap batu berukir itu dalam kebimbangan selama beberapa saat, sebelum akhirnya memantapkan niat dengan iringan helaan napas.
"Terima kasih, Shirakawa-san."
Wanita itu menyeringai geli. Kedua tangannya terlipat di bawah dada. "Hei … kenapa tidak Mayu onee-sama, saja?"
Ken mendengkus kencang. Ia berjalan tanpa menoleh lagi ke belakang. Dia hanya merespons godaan wanita itu dengan lambaian tangan.
Di sinilah Ken sekarang. Berdiri di atas gelanggang arena yang tidak henti memperdengarkan banyak dengungan heboh dari para penonton yang duduk mengelilingi arena. Ken tidak berani mendongakkan kepala hanya untuk mencari keberadaan keluarganya di antara banyaknya kepala dan wajah yang ada di bangku penonton. Sebagai gantinya, Ken menatap lurus ke depan. Ke arah batu berukir berwarna keperak-perakan setinggi pinggangnya.
Ketika dilihat lebih dekat, batu itu tampak seperti tugu peringatan dengan satu paragraf singkat beraksara lama yang terukir di atas permukaannya. Di bawah paragraf itu, terdapat ceruk berukuran persegi sedalam kira-kira lima senti. Mungkin di ceruk itu ia harus meletakkan tangannya, pikir Ken, dan segera melakukannya tanpa keraguan.
Tepat saat Ken meletakkan tangannya, seluruh tubuhnya tiba-tiba terasa panas. Yang terlihat di matanya hanyalah warna merah. Ken tahu dirinya saat ini masih tersadar seratus persen. Ia tidak pingsan atau berada dalam halusinasi. Hanya saja, gejolak aneh yang mengalir di seluruh tubuhnya seperti ingin mendominasi tubuh Ken dan merampasnya dari si pemilik sahnya. Kepala Ken mulai dilanda rasa sakit bertubi-tubi seperti ada ribuan tongkat baseball yang memukuli kepalanya secara membabi buta. Dadanya sesak, seolah-olah oksigen yang seharusnya ada di sekitarnya lenyap atau tertahan oleh sesuatu yang memenjarakan tubuhnya dari dunia luar.
"Imai-kun! Imai-kun!"
Rasa sakit yang dirasakan Ken seketika hilang ketika sepasang tangan menarik paksa tangan kanannya dari atas permukaan batu berukir. Ken bersusah payah mencoba menormalkan tarikan napasnya yang kacau tersengal-sengal. Matanya kemudian melirik ke samping, melihat Shirakawa Mayu yang masih memegangi tangannya. Wajahnya tampak panik sekaligus takut.
"Sudah. Sudah selesai. Tenanglah. Aku akan mengantarmu ke luar."
Ken menuruti saja apa yang dilakukan Shirakawa padanya. Ia membiarkan wanita itu memakaikan tudung jaketnya. Ia membiarkan wanita itu merangkulnya dan membawanya keluar arena, melewati ruang laboratorium mini tempatnya tadi disuntik, dan keluar melewati ruang tunggu peserta.
"Tunggu sebentar!"
"Ilmuwan yang di sana! Tunggu sebentar, kubilang!!"
Seorang laki-laki berlari menghampiri Ken dan Shirakawa. Ia terlihat sangat tergesa-gesa. "Dari sini, saya yang akan menemani Imai Ken."
Shirakawa mengerutkan kening. Alisnya tampak nyaris menyatu. Ia tidak mengenal pria itu dan merasa tidak pernah melihat wajahnya sama sekali.
"Kau siapa? Memangnya kau tahu, anak ini harus di bawa ke mana?"
Pria dengan sweater abu-abu itu membuang napas kasar. Ia berdiri tegak setelah napasnya terkumpul sepenuhnya. "Ke hadapan Wakil Ketua Higami. Dia memerintahku langsung."
Shirakawa bungkam. Dia melirik Ken yang masih tampak belum stabil namun sudah sedikit lebih baik dari sebelumnya.
"Imai-kun, sepertinya aku hanya bisa mengantarmu sampai sini. Maaf," gumam Shirakawa pelan sambil mengelus punggung Ken. Wanita itu kembali menoleh ke arah pria di hadapannya. "Kalau kau berbohong, aku tidak akan segan-segan mengadukan ini pada atasanmu, atau jika perlu akan kuadukan langsung pada Perdana Menteri atas kasus penculikan!"
Pria itu tampak tidak berpengaruh dengan ancaman Shirakawa. Ia mendekati Ken dan menepuk pelan bahunya, lalu membawa laki-laki itu pergi bersamanya meninggalkan Shirakawa yang masih melihat punggung keduanya dengan perasaan cemas.
***
Yang Ken tahu, ia masih berada di gedung inti arena, tapi ia tidak tahu posisi pastinya di mana. Ia tidak mengenali sekitaran lorong lurus yang tidak memberinya petunjuk sama sekali. Pria yang menemaninya pun diam saja.
Mereka berdua berhenti di sebuah pintu besi di ujung lorong. Pintu itu dikunci dengan perangkat keamanan yang terpasang di dekat pegangan pintu. Pria dengan sweater abu-abu yang mendampingi Ken melangkah mendekati perangkat keamanan itu. Ia menempelkan telapak tangannya, kemudian mendekatkan mata kanannya ke kamera pengamat, lalu menekan sebuah tombol. Pintu pun terbuka.
"Aoki-san, saya sudah membawanya."
Ruangan yang mereka masuki tampak seperti ruang kerja biasa. Terdapat deretan sofa, meja kecil yang memisahkan deretan sofa, dan pusatnya ada di meja besar yang diduduki seorang pria bertubuh kekar dengan rambut klimis pendeknya yang disisir ke belakang. Di atas meja besar itu, Ken melihat papan nama yang terletak di pinggir meja. Aoki Daisuke, Wakil Ketua Grup Higami.
"Terima kasih, Sasaki." Aoki berdiri dari kursi kebesarannya. "Beri tahu Maeda dan Sakurai untuk menggantikanku mengurus yang di bawah."
Pria jangkung bernama Sasaki itu mengangguk, kemudian keluar meninggalkan Ken berdua dengan Aoki. Ken mengamati pria tinggi besar itu dalam diam. Hanya ada suara detak jam dinding yang terdengar dalam ruangan. Keheningan terpecah oleh gerungan dispenser yang sedang digunakan Aoki sambil memegang erat kedua gelas bertangkai di kedua tangan.
"Duduklah. Aku memanggilmu ke sini bukan untuk menghukummu." Suara rendah Aoki terdengar seperti geraman binatang buas. Cukup mengangetkan Ken, tapi membuatnya seketika waspada. Pria itu berjalan menghampiri Ken dan meletakkan gelas-gelas yang dibawanya ke atas meja. "Sekarang, minumlah. Dan jangan protes hanya karena aku memberimu air alih-alih kopi atau teh. Air lebih sehat."
Ken mengangguk dan meminum air yang disuguhkan Aoki dalam gelas bertangkai di atas meja. Rasa segarnya membuat perasaan Ken sedikit lebih tenang. Sementara itu, Aoki berjalan ke meja kerjanya. Ia mengambil sebuah map, kemudian duduk di sofa yang berhadapan dengan Ken.
"Bagaimana? Sudah lebih rileks?"
Ken mengerjapkan mata, lalu mengangguk. "Terima kasih airnya."
Aoki mendengkus kencang. Sudut bibirnya terangkat. "Jadi, kau bisa menebak kenapa aku menyuruh Sasaki untuk membawamu menemuiku?"
"Perihal energi elemen yang kukeluarkan," jawab Ken sambil mengedikkan bahu. Ia menunduk, mengamati telapak tangannya yang agak memerah dengan tatapan ragu dan tidak percaya. "Elementor Terpilih … semacam itu, mungkin."
Sorot mata Aoki tampak berkilat. "Hm … sepertinya sudah banyak yang kau ketahui tanpa perlu kuberi tahu detailnya. Tapi tidak, bukan itu jawabannya. Tujuanku memanggilmu ke mari lebih dari itu. Waktuku terlalu berharga hanya untuk mengurusi hal semacam itu, kau tahu?"
Alis Ken terangkat heran. "Lalu apa?"
Aoki mencondongkan tubuh ke depan, menatap Ken seolah-olah dia akan memangsanya saat itu juga. "Aku ingin menantangmu berduel untuk mengetahui seberapa besar kekuatan yang kau punya."