Renata sibuk memperhatikan Lian yang sedang serius menyalin tulisan dibuku tugasnya ke buku tugas Lian.
"Mangkanya lu kalau dikasih PR kerjain," sambar Renata.
"lya-iya bawel lo," jawab Lian tidak peduli, karna sebentar lagi bel masuk berbunyi dan mata pelajaran pertama adalah matematika.
Dan itu arti nya, dalam hitungan menit Lian
akan bertemu dengan musuh nya.
"Oh My God! dasar MTK! Soal dikit jawaban beranak, buntu otak gue, musnakan mik," keluh Lian memegangi kepalanya.
Mimik wajah Renata berubah kesal, bagi nya Lian menyebalkan saat ini. "Lu tinggal nyalin aja pake ngeluh."
"Bukan gitu Nat, tapi kan pegel nyalin gini, tinta pena gua juga baru beli uda sekarat aja." Lian menunjuk-nunjuk pena nya yang tergeletak tanpa daya di atas meja.
"lya pegel, tapi gua kan yang mikir, puyeng tau," Renata ikut mengeluh.
"Yaudah, gua salin dulu, tapi lu diam ya, sttttt."
Renata mengangguk, membiarkan Lian menyelasaikan misi penyalinannnya, hal ini sudah menjadi rutinitas Lian setiap pelajaran pergelutan otak itu, apalagi ini sudah mau ujian.
"We Pak Raja datang, pak Raja datang!" Reyhan si ketua kelas berlari dengan tergesa tas yang masih bertengger dipunggungnya membuat lelaki itu sedikit mencondongkan badan ke depan.
Lantas semua duduk, keadaan yang tadi ramai dengan aktifitas menyalin PR berubah hening, sepi dan mencekam layaknya kuburan.
Jika sudah berhadapan dengan Pak Raja tidak ada yang berani main-main.
Lelaki dengan seragam guru masuk dan duduk di kursi guru, pak Raja melempar tatapan elang nya kepada seluruh murid 11 IPA 4.
"Baik sekarang langsung kita mulai, keluarkan buku tugas dan semua buku yang berkaitan dengan pelajaran saya! satu lagi yang kedapatan memainkan ponsel akan saya tangkap dan saya jual , uang hasil penjulan nya akan saya sobek! Lalu saya lempar kemuka kalian paham?!" terang Pak Raja, Semua bergidik ngeri dan langsung menyembunyikan ponsel masing-masing kelaci terdalam, bagi mereka Raja Sanjaya adalah guru yang paling meresahkan di Bina Bangsa.
Semua murid di kelas mulai mengumpulkan tugas nya masing-masing, pelajaran berjalan sangat serius dan membosankan.
"Pagi pak!"
Seseorang membuyarkan konsentrasi yang telah dibentuk selama setengah jam oleh 35 murid dikelas itu, siapa?
Pak Raja menoleh, ini yang paling di benci nya, orang yang mengetuk pintu disaat jam pelajaran nya sedang berlangsung. "Kenapa kamu telat Cakrawala?"
Pak Raja bertanya dengan nada tinggi dan dagu terangkat.
Cakra masuk, wajahnya menghadap pak Raja.
"Sorry Pak telat bangun, jam saya salah stel," Cakra memberi penjelasan.
"Jam berapa ini Cakrawala?!"
Cakra melirik jam tangannya, "Tujuh lewat empat puluh lima menit pak."
"Berapa jam kamu telat?"
"Entar saya itung pak."
"Setengah jam pak telat nya," lanjut Cakra.
"Pintar, duduk kamu! Kerjakan soal yang bapak berikan, waktunya dua jam dimulai dari setengah jam lalu."
Cakra menhembuskan nafas lega, "untung gue dilepas hidup-hidup," batinnya.
"Tunggu apalagi Cakrawala?!"
"Iya pak iya" jawabnya.
Cakra pergi menuju bangkunya, lalu duduk disana memulai pergelutan antara dia dan matematika.
"Semoga kelas 12 gak Pak Raja lagi guru bidang studi MTK, kapok sumpah, kapok,"
bisik Lian, yang ternyata terdengar oleh
pendengaran tajam Renata.
"Diem lu, untung Pak Raja cuma mata nya yang tajam, kalau telinganya juga tajam gimana?" bisik Renata lebih pelan.
"Ya kalau telinga Pak Raja tajam berarti bukan manusia , setan kali telinganya tajam runcing-runcing ujungnya, tapi tanpa telinga nya runcing udah mirip banget kek setan," umpat Lian, tentu saja gadis itu mengejek.
Renata memilih untuk diam, tidak menanggapi perkataan Lian, fokus pada lembar soal di tangan nya.
Selesai pelajaran matematika akan ada pelajaran musuh bebuyutan Renata, Bahasa Inggris, pelajaran yang sangat dicintai Lian.
Namun nampak nya Renata lebih beruntung, sedikit demi sedikit, dia bisa menerima mata pelajaran itu, bahasa Inggris tidak seburuk yang dia kira.
***
JAM ISTIRAHAT PERTAMA TIBA.
Semua siswa yang mengeluh lapar haus dan bosan segera merilekskan diri dengan berbagai macam aktifitas yang mereka nantikan sedari tadi.
Pergi ke kantin untuk makan dan minum atau sekedar berkumpul dan berbagi gosip atau membicarakan tentang pelajaran khusus nya
untuk siswa siswi yang yang rajin, pergi ke WC, bertengger di bangku taman, atau diam di kelas untuk bermain gawai atau hal lainnya.
Maybe, mereka bisa pergi ke ruang musik atau perpustakaan? sesuai yang mereka inginkan.
"Temenin gua ke kantin dong Nat" ajak Lian, tangan kanan nya menopang pipi kanan.
Renata sibuk merapikan meja yang berserakan karna buku, lalu meletakan buku-buku itu di laci.
"Gua kek nya mau ke perpus deh, masih harus minjem buku," jawabnya.
Lian memainkan jari di permukaan meja, "ya elah, jangan kerajinan nanti bisa meninggal."
Renata menolehkan kepalanya kearah Lian.
"Gak ada gua denger orang yang kerajinan terus meninggal."
"Iya belum ada, tapi lu mau jadi yang pertama? Biar viral."
"Lu nyumpahin gua mati?" Renata menatap Lian dengan mata menyipit.
Lian tertawa, tentu saja jawaban nya adalah tidak.
"Haha, ya enggak lah, bercanda gua, ya udah ke kantin bentar, istirahat kedua gua temenin lu ke perpus janji deh" Lian membentuk jari nya menjadi huruf V, semesta juga tau jika wanita barbar yang duduk di samping Renata ini phobia dengan perpustakaan.
"Iya nih?"
"Iya, gak percaya amat," jawab Lian meyakinkan.
Renata mengangguk, walau dia sedikit tidak percaya, tapi mengisi perut terlebih dahulu bukan ide yang buruk, Lian berdiri dari duduk nya, di ikuti dengan Renata, lalu mereka beranjak dari kelas, pergi ke kantin untuk melaksanakan aksi nya.
"Wait deh Nat, itu Leo dkk bukan?" tanya Lian, jari telunjuk nya mengarah ke penghuni meja nomor satu.
"Leo dkk kan nongkrong nya di warung budhe Iem, kok lari kesini?" Renata balik bertanya.
"Samperin yuk Nat," ajak Lian, tanda aba-aba gadis itu langsung menarik pergelangan tangan Renata tanpa persetujuan si pemilik tangan.
Tubuh Renata yang ditarik oleh Lian secara paksa terus mengikuti arah jalan Lian layak nya air mengalir.
Sampai tiba di titik terendah yang air itu tuju, dan di sinilah mereka berhenti, di meja dengan nomor 01 terpampang jelas di permukaan.
"Olla!" Sapa Lian semangat, tapi seseorang yang sedang menyeruput minumannya itu lebih semangat, Wisma.
Wisma segera berdiri, "Allo bebeb, sini-sini duduk." Wisma memberi bangku nya untuk Lian, tanpa membantah Lian segera duduk disitu, jarang sekali hal seperti ini terjadi.
Setelah di pikir-pikir ribuan kali, Wisma perlu mengabadikan moment langkah ini dalam buku catatan sejarah nya.
"Kesambet apa lu Li?"
"Apa nya yang ke ambet?" Lian menaikan alis nya, heran dengan pertanyaan Leo yang bagi nya tidak sesuai dengan topik apapun saat itu. "Biasa nya kan lu sama Wisma-"
Seakan mengerti Lian langsung menjawab
pertanyaan sahabat nya itu. "Bosan gua bersikap sok dingin dan sok beku," Lian menekan setiap perkataannya, memajukan bibirnya setiap bicara kearah Leo, seakan sedang menyindir lelaki itu, secara halus tapi pasti.
Wisma segera mengambil kursi pengganti untuk diri nya lalu kembali duduk.
Renata yang hanya berdiri layak nya manekin menatap datar meja di depan nya.
"Duduk bego, gak pegel berdiri kek tiang listrik? Syukur-syukur lu pendek."
Renata membelalak kan matanya menatap Leo yang nampak nya tidak berniat untuk membalas tatapan nya itu.
"Nggak-"
"Udah lu diem, gua ambil kursi cadangan ntar."
Leo bangkit dari duduknya, lalu pergi mengunjungi meja sebelah yang tidak berpenghuni, mengambil salah satu kursi yang dia anggap lebih baik dari kursi lain nya.
"Duduk, dari pada jadi manekin baju SMA nggak jelas."
Renata duduk setelah melempar pandangan yang tidak dapat terartikan pada lelaki itu.
****