Renata menggeleng kan kepala nya agar tidak salah tingkah karna ulah Leo tadi, lalu menutup kedua pintu jendela.
"Sana lu pulang, lebih cepat lebih baik." Renata mengerakkan kedua tangannya di udara, membentuk gerakan mengusir.
Leo mengacungkan jempolnya, lalu mengangguk.
"Gua pulang dulu, jangan rindu." Dia melambaikan tangan nya, beranjak memanjat pagar rumah Renata seperti yang dia lakukan tadi, lalu masuk ke mobil.
Renata menggeleng kan kepala nya pasrah melihat Leo yang sukses memanjat pagar dengan handal.
"Aneh, datang kerumah orang tengah malam, gak di undang pula, kek setan aja."
Umpat Renata, tangannya mulai menarik gorden hingga menutupi jendela, lalu dia beranjak ke kasur, dan menutupi dirinya dengan selimut, hal yang ingin dia lakukan sekarang adalah aktivitas yang tertunda tadi, tidur.
"Emang kalau cowok uda aneh, ya aneh aja terus, gak bakal pernah berubah, bodo ah! Bukan urusan gua juga."
***
Renata mengedikan bahu nya acuh, berusaha untuk tidak peduli dengan lelaki aneh bin jadi-jadian itu.
Intinya dia sudah ngantuk berat, lelah, dan perasaan lainnya bercampur aduk, sekarang dia perlu tidur, mengistirahatkan diri dari semua embel-embel dunia yang sangat merepotkan.
Dan salah satu embel-embel dunia itu adalah Leo, lelaki yang sukses membuat Renata tersenyum saat ini.
***
Leo mengerjap-ngerjap kan mata nya, cahaya matahari menyilaukan penglihatan membuat dia harus pandai mengondisikan keadaan.
"Terang banget kamar gua?" batinya heran.
Di hari-hari sebelum nya saat dia bangun pagi siang atau bahkan sore pun seingat pikiran lelaki itu tidak seterang ini rasanya, dan pinggang, pinggang Leo juga sakit, pegal.
Tidak mungkin jika kamar luas nya cosplay menjadi kamar yang sempit dan seperti tidak beratap.
Leo mengumpulkan nyawanya, setelah yakin jika nyawa nya sudah benar-benar terkumpul, lelaki itu membuka mata yang sebenar nya tidak mau di buka.
"Mobil?"
Tak percaya dengan apa yang dia lihat, Leo mengucek matanya, mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Gua ketiduran di mobil?"
"Konyol banget anjing," umpat nya sambil mengacak rambut.
Leo melirik jam tangan yang masih terlingkar di tangan nya, sudah jam enam lewat tiga puluh menit.
"Gilak! Gua ketiduran di mobil sampe encok gini? Aduh!"
Dia memegangi pinggang nya yang mengeluarkan suara seperti kayu patah, lalu segera memutuskan untuk keluar dari mobil, lebih cepat lebih baik.
***
Leo mengedarkan pandangannya lagi, tampak Jija – salah satu pembantu rumah tangga yang berumur sekitar 45 tahun.
Jija tampak sedang sedang menyiram bunga, bunga yang pasti nya milik sang mama lelaki itu, Cindy.
"Gua kok gak di bangunin semalam?!"
Leo bertanya dengan nada tinggi, membuat Jija yang tadi nya fokus menyiram bunga tersentak.
Jija menoleh kearah tuan mudanya itu, berusaha untuk memberi jawaban pada Leo yang berkacak pinggang tepat di depan nya.
"Ng..nganu den, se-semalam bukan bibi yang bukai gerbang," jawab Jija seadanya, wanita itu menunduk kan kepala nya, menatap lantai.
"Siapa?"
"Mang Udin den," jawabnya dengan nada takut-takut.
"Terus si Udin mana? Mati dia sampe gak bisa bangunin gua?" Leo berbicara sekena nya, namun inilah diri nya, karna didikan orang tua yang salah, sikap nya jadi buruk baik dalam berbicara mau pun bertindak.
"Mang Udin sedang antar nyonya ke luar kota den." Nada Jija bergetar, wanita itu semakin takut jika berada di dekat tuan muda nya.
Leo memutar matanya malas, seminggu ini saja mamanya itu sudah bolak balik keluar kota sebanyak tiga kali, kenapa tidak pindah saja langsung? Pertanyaan itu selalu mengisi pikiran nya.
"Sok sibuk aja terus! Punya orang tua kek gak punya orang tua, kalau gak siat nikah, gak usah nikah!"
Leo mengacak rambut nya, selama ini dia memang tidak pernah merasa apa yang di namakan kasih sayang orang tua, dan tidak paham apa itu keluarga.
Dia masuk ke dalam rumah, meninggal kan Jija yang sukses di buat ketakutan oleh nya.
Jija menatap punggung tuan mudanya, prihatin dengan lelaki itu.
"Kasian den Leo, kurang didikan dan kasih sayang orang tua, tapi mau gimana lagi, nyonya dan tuan kan sibuk kerja buat den Leo juga."
Jija kembali melalukan aktivitas nya. Lima belas menit.
Leo siap dengan seragam sekolah yang telah dia kenakan, lelaki itu turun dari lantai tiga kelantai dasar menuju meja makan.
Leo menatap hidangan yang telah tersediah dan tertata rapi, namun itu tidak membuat dia ingin menyantap sarapan, dia lebih memilih untuk meneguk segelas air putih hingga habis tak bersisa.
Dari kecil hingga sebesar ini, tidak pernah terpikir oleh Leo untuk makan di sini, tanpa orang tua nya.
Jija masuk dengan pakaian agak lusu karna percikan air, dia melihat tuan mudanya hanya sarapan air putih padahal ada beragam macam makanan yang tersedia di depan mata.
Jija lebih memilih diam dan pergi ke dapur, dia tidak berani untuk memulai percakapan dengan Leo yang kapan saja dapat meledak.
***
Leo selesai memarkirkan mobil di area parkir mobil Bina Bangsa.
Lelaki itu memakai kacamata hitam nya dan keluar dari mobil yang berstatus sebagai mobil kesayangan, lalu dia pergi.
Sepanjang koridor yang memang sudah ramai dengan siswa siswi Bina Bangsa, tidak jarang dia di jadikan sebagai objek, penglihatan khususnya oleh kaum hawa.
Dengan kacamata itu tingkat ketampanan nya semakin bertambah.
"Woi Le.
Leo menoleh, suara itu milik Sean, pantas saja terdengar sangat amat familiar.
"Apa?" Leo melepas kacamata hitam nya.
"Semalam gua uda bicara lagi sama Cakra."
Topik ini membuat Leo sedikit kehilangan mood. Mereka mulai berjalan, menelusuri koridor sekolah dengan satu tujuan yang sama, kelas.
"Terus?"
"Pulang sekolah dia bakal ke Rumah Sakit nemenin Dara."
Leo mangguk-mangguk. "Bagus," tanggapnya.
"Lu gak berniat buat ikut?" tanya Leo pada Sean.
"Gak."
Leo tau jika satu kata itu yang akan Sean lontarkan sebagai jawaban.
"Gua ke kelas, mau nyalin jawaban tugas." Lanjutnya.
Leo terdiam, heran dan tidak tau apa yang dia dengar itu benar atau tidak.
"Sejak kapan si pintar Sean menerapkan sistem menyontek?"
Leo menyubit lengan nya sendiri, dan cubitan itu terasa sakit, ini kenyataan, bukan mimpi, dia sedang berada di dunia yang real, bukan alam bawah sadar.
Leo mengusap-usap bekas cubitan nya sendiri, sadar betapa bego nya dia.
Leo memutus kan untuk masuk ke kelas, duduk di bangku nya dan memperhatikan Sean yang meminjam buku tugas Vanya dan menyalin jawaban nya dengan santai.
"Dia benar-benar menyontek? Perdana!" Batin Leo sambil terus memperhatikan
Sean, dia masih tidak percaya dengan fenomena di hadapan nya ini.