Kota Sao Paulo
Di dalam sebuah ruangan, terdapat dua laki-laki dengan setelan jas licin sedang memikirkan sesuatu. Tempat ini adalah kantor Morgan.
"Malik, ada apa? Kenapa kau terlihat kesal?" Tanya Morgan yang sedang duduk di atas kursi kebesarannya.
"Apa? Tidak, aku tidak kesal," jawab Malik yang sedang menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya.
Janji temunya dengan Maria batal karena Maria memilih untuk pulang dan menghabiskan waktu dengan suaminya. Harusnya Maria memberi Malik kabar jika Maria memiliki urusan lain.
"Wajahmu menunjukkan jika kau kesal saat ini," kata Morgan.
"Tidak Kakak, aku baik-baik saja. Hanya saja, seseorang sudah menyakiti hatiku," jawab Malik.
"Apa dia wanita? Siapa dia? Siapa yang dengan lancang sudah membuat hatimu sakit?" Tanya Morgan. Morgan sangat menyayangi Malik lebih dari apapun di dunia ini. walaupun Malik bukan adik kandungnya, tapi kasih sayang Morgan lebih besar untuk Malik dari pada untuk Magat adik kandungnya. Walaupun Morgan juga menyayangi Magat.
"Dia seorang wanita, menurutku wajar saja jika aku merasa sakit hati. Aku menyukai salah satu dokter yang merawatku dan dia sudah memiliki suami." Malik tersenyum agar tidak membuat kakaknya semakin khawatir.
"Apa dia Maria Shendi?" Malik membulatkan matanya dengan sempurna. Tidak, ini tidak boleh terjadi. Maria harus aman.
"Maria Shendi? Bukankah dia istri John Miller? Mana mungkin aku menyukainya. Ada seorang dokter yang terpaksa harus pindah tugas dari rumah sakit agar bisa bersama suaminya yang merupakan seorang guru dan akan mengajar di luar negeri. Itu membuat hatiku sakit karena dia tidak memberi kabar apapun kepadaku. Bukankah itu wajar?" Kata Malik dan sedikit tertawa.
"Apa kau yakin kau baik-baik saja, Malik?" Tanya Morgan memastikan.
"Tentu saja aku baik-baik saja. Kakak tidak akan pernah merasakan apa yang aku rasakan karena kau tidak punya perasaan," ucap Malik dan tertawa.
"Jika ada yang menyakitimu katakan padaku. Akan aku buat dia menderita seumur hidupnya, paham?" Morgan memeluk Malik dan mengelus kepala adiknya itu.
"Baik, kak." Malik membalas pelukan hangat dari Morgan.
"Apa ada berita menyenangkan?" Tanya Magat yang berdiri di depan pintu.
"Kenapa kau baru kembali?" Tanya Morgan dan kembali ke kursi kebesarannya.
"Ada satu hal yang ingin aku sampaikan padamu, Kak. Ini sangat menyenangkan dan juga mengejutkan."
"Kau tahu aku sangat suka kejutan. Cepat katakan padaku!" Perintah Morgan.
"….."
Magat membisikan sesuatu di telinga Morgan. Seketika, senyum licik muncul di wajah Morgan.
"Kerja bagus, Magat! Apa yang harus kuberikan padamu sekarang? Ada yang kau inginkan?" Tanya Morgan sambil mengelus kepala Morgan.
"Berhenti memperlukanku seperti anak kecil! Aku akan memberi tahu keinginanku nanti setelah aku berhasil seutuhnya," ucap Magat.
"Baiklah, hari ini aku akan mengajak kalian berdua makan malam di restoran mewah. Aku yang mentraktir," ucap Morgan dengan senyum penuh kepuasan.
****
Kini John dan Maria sedang berada di lapangan baseball. Sudah lama mereka tidak pergi kencan berdua.
"Aku tidak menyangka jika kau menyukai baseball," ucap John dan setia menggenggam tangan Maria.
"Dulu, Ayah sering mengajakku menonton pertandingan baseball. Menurutku itu menyenangkan, lalu aku selalu menonton pertandingan baseball waktu aku masih sekolah bersama temanku dan juga sesekali pacarku. Aku juga pernah memiliki pacar yang suka bermain baseball," jawab Maria. Kalimat terakhir Maria membuat John sedikit cemburu. Kenapa juga Maria malah membahas pacarnya yang sekarang sudah pasti telah menjadi mantannya.
"Oh? Itu dia! Dia adalah mantan pacarku yang merupakan seorang atlet baseball! Astaga, kenapa dia sangat keren?" Ucap Maria. Bahkan gadis itu berdiri sambil melambaikan tangannya.
"Ahh, sayang sekali dia tidak melihatku di sini." Maria duduk dan mengerucutkan bibirnya.
"Maria, sepertinya…."
"John, lihat itu!" Teriak Maria dan menunjuk ke sebuah monitor besar yang berada di pinggir lapangan.
"Ada apa?" Tanya John. John pun akhirnya melihat ke arah yang ditunjuk oleh Maria. Di layar terpampang jelas pasangan yang sedang berciuman mesra. John menegak salivanya, membayangkan jika dirinya dan Maria yang melakukan itu.
"Kenapa mereka berciuman di tempat umum?" Tanya John.
"Itu memang aturannya, setiap pasangan yang terlihat di layar harus berciuman. Mau itu dengan orang lain atau dengan pasangannya," jawab Maria.
John masih memperhatikan setiap pasangan yang terpampang di layar. Hingga pada akhirnya, layar menampilkan dirinya yang sedang bengong.
"John! Lihat! Kita muncul di layar! Ayo kita berciuman!" Ucap Maria dengan semangat.
"A-apa? Apa kita harus-"
Sebelum John dapat menyelesaikan kalimatnya Maria sudah lebih dulu mencium bibir John dan membuat John tersipu. John buru-buru menjauhkan tubuh Maria dari badannya. John berdiri dan memandang Maria dengan napas yang terburu.
"Ada apa, John?" Tanya Maria yang merasa takut dengan tatapan John saat ini. John tidak marah, hanya saja terkejut dengan perlakuan Maria yang secara tiba-tiba menciumnya di depan orang banyak.
"Ma-Maria, sebaiknya kita pulang saja sekarang," ucap John.
"Tapi kenapa? Pertandingannya belum selesai," jawab Maria.
"Aku merasa tidak enak badan. Ayo kita pulang," kata John. Laki-laki itu menarik tangan Maria dan menuju ke parkiran. Tanpa berbasa-basi lagi, John segera melajukan mobilnya dan menuju rumahnya.
"Apa John tidak menyukai ciuman ku yang tadi?" Batin Maria.
Selama perjalanan John tidak mengucapkan sepatah kata apapun. Maria juga sesekali melirik ke arah John dan melihat tatapan John yang sulit diartikan. Sebenarnya John sangat gugup saat ini, tak disangka wanitanya lebih dulu inisiatif menciumnya.
Sesampainya di rumah mereka, John tidak membantu Maria membuka pintu mobil seperti yang biasa ia lakukan. John malah langsung melangkah masuk dan meninggalkan Maria di belakang.
"John!" Teriak Maria. John menghentikan langkahnya.
"Maafkan aku," ucap Maria lembut.
Deg!
Mendengar pernyataan maaf dari Maria membuat John merasa bersalah. Sebenarnya apa yang telah ia lakukan? Kesal hanya karena istrinya menciumnya di tempat umum? Tidak, bukan kesal yang dirasakan John saat ini. Dirinya malu, ya dirinya malu karena istrinya menciumnya di tempat umum. John berbalik dan menunggu Maria untuk mendekat ke arahnya.
"Maafkan aku, John. Aku tidak tahu jika kau membenci ciuman di tempat umum," kata Maria sambil terus menunduk.
"Aku berjanji tidak akan melakukan hal itu lagi. Aku berjanji, jadi berhentilah marah, ya?" Ucap Maria memohon.
"Ti-tidak, bukan itu maksudku. Aku…" John menghentikan ucapannya. Maria mendongak dan menatap John yang sedang frustasi.
"Aku salah John. Tidak apa jika kau ingin memakiku saat ini. Aku siap," ucap Maria.
Bagaimana mungkin John akan memarahi wanitanya itu. Ini semua salah John yang ceroboh dan tidak memikirkan perasaan Maria. Harusnya dia tahan rasa malunya dan bertahan di sana.
"Tidak, bagaimana bisa aku memaki wanita yang aku cintai? Kau tidak salah Maria, aku memang bodoh," ucap John.
Maria mendongak dan melihat John dengan tatapan sendu. Maria bingung dengan keadaan saat ini. John juga terlihat frustasi dan mengedipkan kelopak matanya lebih sering.
"John, are you okay?" Tanya Maria.
"Ha?"
"Ada apa denganmu, John? Apa kau sedang ada masalah dengan misimu?" Maria menangkup wajah John dan itu membuat John makin salah tingkah dan wajah John memerah. Pria itu langsung berlari ke arah dapur dan membuka kulkas. John mengambil jus mangga dan langsung menegak jusnya.
"John! Kau alergi mangga!"
Dua detik kemudian… tubuh John tumbang dengan kulit yang memerah.
****
John terbangun dan langsung mencium bau obat-obatan. John sudah mengira dia akan berada di rumah sakit. Ingatan terakhir miliknya adalah saat John berlari karena salah tingkah dan meminum jus mangga.
"Kenapa kau melakukan hal konyol di hadapan Maria? Dia pasti sangat bingung dengan tingkahmu. Ahh kepalaku sakit sekali!" John menjambak rambutnya sendiri.
Datanglah Maria yang membawa troli berisi makanan serta obat-obatan. Maria langsung mendekat ke arah John dan tersenyum.
"Kau sudah merasa lebih baik?" Tanya Maria.
"Ya. Tapi rasa gatalnya masih sangat mengganggu," jawab John.
"Tenang saja, aku sudah membawa salep untuk kulitmu. Kau makan lah dan minum obatnya. Kau tidak memiliki masalah dalam mengonsumsi obat 'kan?" Kata Maria sambil mengoleskan salep di kulit John.
"Tidak."
"Baguslah, kalau begitu kau bisa meminum obatnya dengan air."
"Tidak, maksudku. Apa ada obat yang berbentuk serbuk atau cair?" Tanya John yang sebenarnya dirinya sudah sangat-sangatlah malu. Mana ada laki-laki yang tidak bisa minum tablet diusia yang hampir menginjak usia 30 tahun.
"Ahh, ternyata kau tidak bisa meminum pil, ya? Baiklah akan ku buat menjadi serbuk," ucap Maria.
Maria lalu menghancurkan pil milik John dan memberikan itu pada John.
"Terimakasih, Maria," kata John.
"Terimakasih juga karena sudah mengantar aku ke rumah sakit," lanjutnya.
"Rumah sakit? Ini bukan rumah sakit. Kita masih dirumah John," ucap Maria. John mengernyitkan dahinya.
"Ini rumah kita?"
"Aku membuat klinik sendiri, John. Aku pikir kau sudah tahu tentang hal itu."
"Sejak kapan ada rumah sakit di dalam rumah kita?"
"Bukan rumah sakit, ini hanya klinik kecil yang sengaja aku buat untuk merawat kerabat yang sakit. Dasar kau ini," ucap Maria.
"Harga dirimu sudah hilang saat ini, John Miller," katanya dalam hati.