Chereads / Tentara dan Dokternya / Chapter 22 - Pengkhianat

Chapter 22 - Pengkhianat

GEDUNG PENELITIAN

Laboratorium 3

"Apa yang kau dapatkan, Professor?" Tanya Maria yang baru saja masuk ke dalam ruangan laboratorium.

"Apanya?" Tanya Professor Bald sambil terus memperhatikan mikroskop.

"Virusnya, apa yang sudah terungkap?"

"Masih sama, karena yang aku teliti adalah virus yang kau berikan tiga hari lalu. Sungguh aneh rasanya melihat virus-virus ini bereplikasi dengan cepat. Bahkan jumlah virus yang sekarang sudah naik dua kali lipat dari jumlah virus sebelumnya."

"Benarkah? Bolehkah aku melihatnya?"

"Tentu." Professor Bald menepi dan membiarkan Maria melihat ke arah mikroskop.

"Wow, amazing! Apa ini benar-benar virus yang aku bawa tiga hari lalu? Kenapa jumlahnya sangat banyak? Aku sampai merinding," ucap Maria.

"Jika itu berhasil masuk ke dalam tubuh seseorang dan orang itu tidak mendapatkan penanganan khusus. Maka orang itu dapat dipastikan akan menutup usianya. Maka dari itu aku berencana untuk membawa seluruh warga kemari untuk mencegah hal itu terjadi," kata Professor Bald.

"Lalu apa yang harus aku lakukan di sini Professor? Aku yakin kau bisa menyelesaikan semuanya. Aku akan kembali ke rumah sakit," kata Maria. Maria juga merupakan seorang Dokter yang bekerja di rumah sakit.

"Kau melanggar aturan, Maria. Tidak ada Dokter yang boleh meneliti virus kecuali memang bertugas di bidang penelitian."

"Aku bisa melakukan apapun Professor. Kalau begitu aku akan pergi terlebih dahulu." Maria lalu keluar dari laboratorium.

Wajah Maria terlihat sangat bahagia karena sepertinya ia sudah menyelesaikan suatu hal. Maria berjalan sambil sesekali bersenandung merdu sambil sesekali menyesap kopi yang ia beli. Langkahnya tak teratur dan bisa saja menabrak suatu hal.

Brak!

"Astaga, I'm sorry. Aku tidak melihatmu, tuan. I'm sorry," ucap Maria sambil membersihkan blazer seorang pria yang terkena tumpahan kopi miliknya.

"Tidak apa-apa, Maria. Ini aku…" ucap pria itu dan tersenyum ke arah Maria.

"Astaga, Malik! Apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Maria dan merasa sedikit lega karena yang berurusan dengannya adalah teman lamanya.

"Aku ingin memeriksa kesehatanku. Kebetulan, kau lah Dokter yang akan memeriksaku."

"Really? Kalau begitu ayo masuk ke dalam ruanganku," kata Maria. Maria membukakan pintu untuk Malik dan masuk ke dalam ruangannya bersama-sama.

"Jadi, apa keluhanmu tuan Malik Freeman?" Tanya Maria diikuti dengan kekehan kecil.

"Hei, bisa biasa saja tidak? Aku jadi canggung."

"Baiklah, ada keluhan apa saja Malik?"

"Tidak ada yang serius, tapi aku ingin mengetahui apa yang harus aku hindari. Baik itu makanan ataupun aktivitas."

"Baiklah, mari kita lihat riwayat penyakitmu. Hmm, parah." Maria menaruh telunjuk dan ibu jarinya di bawah dagu dan berpikir. Banyak sekali riwayat penyakit yang pernah Malik derita.

"Ya, itu karena memang tubuhku lemah. Aku rutin melakukan pemeriksaan atas perintah kakakku."

"Itulah sebabnya kau tidak bisa menjadi tentara."

"Itu juga benar."

Maria kemudian mengambil alat-alat medisnya dan mulai mengecek satu-persatu anggota tubuh Malik.

"Tekanan darahmu normal, begitu juga dengan gula darah dan kolestrol. Imun tubuhnya juga sudah meningkat walau hanya sangat sedikit. Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari kondisimu yang sekarang. Kau hanya perlu menjaga pola makan dan berolahraga yang rajin," ucap Maria.

"Syukurlah, terimakasih Maria. Apa kau sibuk setelah ini?" Tanya Malik.

"Tidak, ada apa?"

"Aku ingin mengajakmu makan siang. Apa bisa?" Tanya Malik.

"Tentu! Aku akan sangat senang! Bagaimana di restoran kadet yang sering kita kunjungi dulu?"

"Baiklah, aku akan menunggumu disana." Malik bangun lalu keluar dari ruangan Maria.

****

Theo dan John berjalan cepat dengan wajah yang seperti seorang psychopath. Mereka berdua berjalan di gedung militer yang lumayan besar.

"Selamat siang, panglima!"

"Selamat siang kapten!"

John dan Theo masuk ke dalam lift, Theo menekan nomor tujuh. Lift terbuka, dengan segera mereka kembali berjalan dan menuju salah satu ruangan. Seorang pria, lengkap dengan baju tentara sedang duduk dan memainkan pistolnya.

"Salam Panglima besar!" John dan Theo memberi hormat kepada orang itu.

"Panglima Miller dan Kapten Yamashita, kenapa kalian sudah kembali padahal waktu ekspedisi belum berakhir?" Tanya orang yang menjabat sebagai panglima besar.

"Ada yang ingin kami laporkan kepada Anda, tuan. Tentang pengkhianatan salah satu rekan kita!" Ucap John dengan wajah yang penuh amarah.

"Siapa orangnya?"

"Dia adalah...."

"Apa kau yakin dia orangnya? Dia berpengaruh besar dalam ekspedisi ini. Dia bahkan rela mengorbankan nyawanya demi ikut ekspedisi ini. Jangan menyimpulkan terlalu dini, sebelum ada bukti aku tidak akan bertindak lebih jauh. Bisa saja ini hanya asumsi kalian agar ekspedisi dihentikan, bukan? Lebih baik kalian mengambil cuti satu atau dua bulan. Biar ekspedisi kali ini aku serahkan kepada orang lain," jawab orang itu dan masih memainkan pistolnya.

"Kami melihatnya secara langsung. Kami melihat dia berbicara dengan musuh dan bahkan kami tahu apa yang mereka bicarakan!" Teriak Theo.

"Ada bukti yang bisa aku lihat?"

"Aku! Aku sendiri yang mendengarnya!" Ujar Theo.

"Jika tidak ada bukti visual atau apapun, maka aku tidak akan menindak lanjuti asumsi kalian. Kalian hanya lelah. Pergilah dan ambil cuti selama beberapa hari!"

Dengan perasaan yang jengkel, Theo dan John keluar dari ruangan atasan mereka.

"Apa yang akan kita lakukan, John? Panglima besar tidak mempercayai ucapan kita." Theo mengusap wajahnya kasar.

"Dia tidak mengetahui jika kita menguping, 'kan? Maka, kita akan berpura-pura tidak tahu dan membuat dia mengakui semuanya." John sangat kesal saat ini.

"Aku masih tidak percaya jika dia bisa melakukan itu. Aku pikir kita sudah menjadi teman," lanjutnya.

"John, kita tidak tahu sikap orang yang sebenarnya. Mari kita jadikan pelajaran saja dan jangan mengulangi kesalahan yang sama lagi."

"Kau benar, kalau begitu aku akan pulang terlebih dahulu. Ambilah cuti selama seminggu bersama para kadet yang ikut ekspedisi. Tiga bulan pasti sangat sulit untuk mereka." John lalu meninggalkan Theo dan kembali ke rumahnya.

Rumahnya dan Maria yang sudah ia tinggalkan selama dua tahun. Aromanya masih sama seperti saat pertama kali ia masuk kesana. Ada foto pernikahannya dengan Maria terpampang besar di dinding ruang tamu mereka. John berjalan ke arah dapur dan melihat alat-alat masak milik Maria yang ia belikan. John membelikan itu untuk hadiah ulang tahun Maria.

"Sudah lama sekali aku tidak masuk kemari. Tidak ada yang berubah dari dulu, semuanya masih sama dan berada di tempat yang sama," gumam John.

"Aku harus memberitahu Maria jika aku sudah ada di rumah."

John mengambil ponselnya dan mengetik pesan untuk Maria.

"Huh, John?" Maria membuka ponselnya.

"Aku sedang di rumah," kata John di pesan itu.

"John di rumah? Benarkah? Astaga! Kamar kita sangat berantakan! Aku harus segera pulang dan merapikannya!" Maria buru-buru mengambil tasnya dan berlari keluar rumah sakit. Ia mengambil kunci mobilnya dan berkendara dengan kecepatan penuh. Tak butuh waktu lama, Maria akhirnya sampai di rumahnya dan John. Terlihat ada mobil Jeep milik Theo terparkir di halaman rumahnya.

"Semoga John belum masuk ke kamar kita!" Maria berlari masuk dan melihat John terlelap di sofa dengan posisi duduk sambil melipat tangan.

"Untung lah dia belum bangun. Baiklah, aku harus merapikan kamar kami sekarang!" Dengan langkah pelan, Maria masuk ke kamarnya dan mulai berbenah.

"Hoooaaaammmm… Sudah sejak kapan aku terlelap?" Gumam John saat baru membuka matanya.

"Babe, kau sudah bangun?" Tanya Maria yang sudah siap di dapur dan sedang memasak makan siang untuk mereka berdua.

"Maria? Sejak kapan kau ada di situ?" Tanya John lalu bangun dan menghampiri Maria.

"Sudah sejak tadi, aku tidak ingin membangunkanmu jadi aku memutuskan untuk memasak saja."

"Apa yang kau buat?" Tanya John lalu menaruh dagunya di bahu Maria dengan mata yang terpejam.

"Aku hanya membuat steak."

"Baiklah…"

"Jika kau masih mengantuk, kau bisa melanjutkan tidurmu. Aku masih harus memasak sausnya lagi jadi mungkin masih lama," kata Maria.

"Maria, aku merindukanmu," ucap John lalu makin mengeratkan pelukannya di pinggang Maria. Maria yang baru pertama kali di peluk John seperti ini merasa jantungnya akan meledak saat itu juga.

"John…"

"Sekali saja, aku merasa nyaman berada di sini," ucap John.

"Kau bisa memeluknya selama yang kau mau," ucap Maria.

Cup!

John mengecup bahu Maria.

"John! Jangan ganggu aku ketika aku sedang memasak. Aku.. aku tidak suka itu," kata Maria yang sebenarnya menahan malu.

"Benarkah? Baiklah, kalau begitu nikmati waktumu Nyonya Miller. Aku akan membersihkan diriku terlebih dahulu."

John melepas pelukannya dan meninggalkan Maria. Maria tersenyum dan menggelengkan kepalanya sambil terus memasak.