Kedua mata hazel nan indah itu menatap lurus pada kaca spion. Sambil merapikan rambut, Alexander sesekali membasahi bibir bawahnya karena mulai dilanda kecemasan. Orang yang ia tunggu sejak lima belas menit lalu, belum juga menampakkan diri.
Sesuai dengan ucapannya semalam, pagi ini Alexander akan pergi untuk mengantar Hailexa menuju universitasnya. Gadis itu bersedia, bahkan menyetujuinya dengan senyuman. Akan tetapi Alexander bisa menatap rasa cemas serta takut di matanya. Hal itu jelas menunjukkan ada sesuatu yang sedang disembunyikan.
Sudut bibir Alexander terangkat, ketika ia mendapati Hailexa berjalan keluar dari lobi. Gadis itu mempercepat langkah, kemudian masuk dengan senyum manis yang mengembang. Demi Tuhan, Alexander tidak bisa menahan diri untuk tidak memberikan sebuah ciuman walau hanya di pipi.
"Bagaimana jika kita menetap di apartemen saja?" tanya Alexander sedikit menggoda agar suasana tidak terlalu tegang.
"Alex, jangan mulai. Malam ini kau pulang ke mana?"
"Ke rumah. Mungkin besok jika ada kesempatan aku akan menemui Amor."
Hailexa mengangguk cepat. "Aku memang belum mengenalnya, tetapi melihat kejadian kemarin membuatku khawatir."
Setelahnya mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Ketika gedung universitas mulai tampak, Hailexa merapikan kembali pakaian serta rambutnya dan bersiap untuk turun. Melalui kaca spion tengah, Alexander memperhatikan setiap detail aktivitas yang gadis itu lakukan dalam diam.
"Di sini saja, aku bisa masuk sendiri."
Satu hal lagi yang menambah rasa kecurigaan Alexander. "Kau yakin?" tanyanya tanpa menunjukkan ekspresi curiga atau semacamnya.
"Tentu. Jaraknya juga tidak jauh. Jika mobilmu masuk, kau akan memutar dan itu membuang waktu. Bosmu bisa marah karena terlambat."
Senyum tipis Alexander tersungging. Memaksakan kehendak hanya akan membuat Hailexa bertanya-tanya. "Ya sudah. Setelah kelasmu berakhir atau saat tiba di apartemen, beri tahu aku, oke?" Alexander mengusap puncak kepala gadis itu kemudian kembali mengecup pipinya.
"Bukankah aku selalu melakukannya. Sampai jumpa, Mr. MAlesyarick. Kau terlihat tampan dengan setelan rapi seperti itu."
Telapak tangan Alexander melambai, bersamaan dengan senyumnya yang lagi-lagi mengembang. Ketika punggung Hailexa mulai menghilang, Alexander segera memutar balik mobilnya, menjauhi gerbang utama universitas.
Beberapa meter dari sana—saat gerbang utama universitas tak lagi terlihat, Alexander menghentikan mobilnya tepat di pinggir jalan. Ia keluar, berjalan dengan santai sembari membawa beberapa barang pribadinya. Kedua matanya memandang lurus pada seorang laki-laki yang sedang bersandar di badan mobil, dengan kedua lengan yang terlipat.
"Kau tidak sekolah hari ini?" tanya Alexander ketika ia tak melihat seragam sekolah yang seharusnya sudah terpasang.
"Libur."
"Libur atau kau yang meliburkan diri?"
"Astaga kau cerewet sekali! Libur. Benar-benar libur. Aku baru kembali dari tur sekolah semalam. Kau pikir kami tidak lelah? Tanyakan pada Daddy jika masih belum percaya."
Bola mata Alexander memutar. "Seth, kau tidak berbohong soal izin mengemudinya 'kan?"
"Alex," tekannya yang mungkin sudah kesal. "Jika kau terus bersikap menyebalkan maka aku pulang saja. Kenapa susah sekali percaya padaku?"
Seth Hunters, anak pertama Josh yang usianya baru menginjak delapan belas tahun. Semalam Alexander menghubungi bocah ini untuk membantunya dengan cara bertukar mobil. Bermodalkan sedikit paksaan serta tipuan kecil, Seth menyetujui permintaan ini dan bersedia untuk datang pagi-pagi.
Alexander mengambil paksa topi yang sedang dikenakan oleh Seth. "Jangan katakan ini pada siapa pun. Mengerti?" Seth tidak mengetahui alasan sebenarnya kenapa Alexander ingin bertukar mobil. Bagi Alexander, masalah ini lebih baik hanya diketahui oleh dirinya.
Seth tidak menjawab apa pun. Alexander membuka dompetnya dan mengambil beberapa lembar uang dari dalam sana.
"Tampaknya uang yang akan kau berikan tidak sampai setengah dari uang sakuku dalam sehari. Kau tahu Alex, aku senang bisa membantumu."
Dasar bocah sombong! "Lalu kau ingin berapa? Aku tidak akan memberikan kartuku. Katakan saja, nanti aku akan mengirimkannya padamu." Alexander sudah berniat untuk memasukkan kembali uangnya, namun tiba-tiba Seth mencekal pergelangan tangannya dan sukses membuat bibir Alexander menganga.
"Tahan emosimu, Alex." Seth tertawa rendah. "Mommy mengatakan padaku jika tidak baik menolak pemberian orang lain." Dengan gerakan kilat, Seth berhasil mengambil alih lembaran uang itu dari genggaman Alexander. "Terima kasih. Kau sepupu terbaik yang pernah kumiliki."
Tidak ingin semakin membuang waktu, Alexander buru-buru masuk ke dalam mobil milik Seth dan kembali menuju gerbang utama universitas. Jika perhitungan waktunya tepat, seharusnya Hailexa masih ada di sana. Mungkin sedang menunggu taksi atau transportasi umum lainnya.
Hati Alexander bersorak puas ketika mendapati Hailexa berada di luar gerbang. Ini mengartikan jika dirinya belum terlambat. Gadis itu tampak sedang berbicara pada seseorang di ponsel, sebelum akhirnya sebuah taksi datang menghampiri.
Jadi benar, selama ini gadis itu tidak kuliah di sana. Lalu apa yang dia kerjakan? Kenapa sampai harus berkata bohong? Sungguh Alexander tidak habis pikir dengan hal ini.
Mobil yang Alexander kendarai berada beberapa meter di belakang. Jalanan sudah mulai ramai, mengingat jam kerja akan segera dimulai. Jujur saja Alexander mulai cemas sekarang. Jika sampai perjalanan Hailexa lebih jauh dari yang ia perkiraan, maka mau tidak mau Alexander harus mundur. Ada pertemuan penting di pagi hari dan ia tidak boleh terlambat.
"Shit!" Alexander mengumpat kencang sekaligus memukul kemudi karena mobil di depannya berhenti mendadak. Rasa kesalnya semakin bertambah ketika lampu lalu lintas memberi perintah untuk berhenti. Sial, taksi yang sedang membawa Hailexa berhasil lolos dari lampu lalu lintas.
Alexander membuang napas kasar. Ia berbelok ke kiri, arah untuk menuju kantor. Hari ini Alexander gagal. Namun di satu sisi ia sudah memiliki tekad untuk kembali melakukan hal yang sama. Ia tidak akan menyerah sampai bisa menemukan sebuah kebenaran.
Dengan kemampuan menyetirnya yang sangat baik, Alexander berhasil tiba sebelum jam kerja dimulai. Ia juga cukup beruntung karena area parkir antara orang-orang pemegang jabatan tinggi dengan pegawai biasa memiliki tempat yang berbeda. Setidaknya dengan hal ini Terry dan Josh tidak akan tahu jika dirinya bertukar mobil dengan Seth.
Punggung Alexander bersandar malas pada dinding ketika ia sudah memasuki lift. Alexander berani melakukan hal ini karena ia sedang sendiri. Samar-samar ia merasakan denyutan pada sudut bibirnya serta nyeri di bagian perut. Sial, karena terlalu fokus pada Hailexa ia sampai melupakan luka-luka di tubuhnya.
Pintu lift terbuka, seseorang baru saja masuk dan membuat Alexander harus berdiri tegak.
"Lepas topimu!"
Sambil memegangi sudut bibirnya, Alexander menoleh ke samping. Matanya sontak melebar ketika yang ia lihat adalah Terry. Bukankah seharusnya pria ini tidak menggunakan lift untuk umum? "Apa lift yang lain sedang rusak sampai menggunakan lift untuk umum?" tanyanya hati-hati.
"Apa ada larangan bagiku untuk tidak naik lift ini? Lepas topimu, ini bukan lapangan kasti."
Alexander tidak menjawab. Ia mengikuti perintah Terry dengan melepaskan topinya. Bersamaan dengan hal itu telapak tangannya bergerak naik guna menutupi sebagian pipi serta sudut bibirnya. Terry pasti akan mengetahuinya nanti, namun tidak sekarang. Tidak saat mereka hanya berdua.
"Turunkan tanganmu. Sekarang."
Alexander menelan ludah. Ia benar-benar pasrah sekarang.
"Astaga. Kenapa lagi? Mommymu tahu soal ini?"
"Tidak. Dad, kita bicara nanti saja ya. Orang-orang bisa menatap heran pada kita nantinya. Aku janji akan pulang ke rumah."
Sayangnya Terry tampak tak peduli dengan permintaan Alexander. "Siapa yang melakukannya padamu? Masalah apa yang terjadi?"
"Orang asing. Aku mendapatkannya karena berusaha membela seseorang. Ini bukan pertengkaran seperti yang kau bayangkan. Nanti aku akan menjelaskannya."
Terry membuang napas bersamaan dengan pintu lift yang kembali terbuka. "Kau harus menjelaskannya sendiri pada Mommymu. Pertemuannya dimulai lima belas menit dari sekarang," ujarnya sebelum Alexander melangkah keluar.
"Ya, Sir. Saya mengerti," jawab Alexander sembari tersenyum kecil.