Jari-jari Alexander bergerak terampil memutar sekaligus mengubah posisi setiap kotak dengan warna yang berbeda-beda. Rubik, begitu mereka menyebut benda berbentuk kubus ini. Butuh waktu kurang dari tiga menit baginya untuk berhasil menyatukan setiap warna yang ada. Terlalu buruk, padahal dulunya Alexander bisa melakukan hal ini kurang dari satu menit.
Alexander meletakkan kembali benda itu di atas meja kecil usai bermain sebanyak empat kali. Ia menarik napas panjang, menyandarkan punggungnya pada sofa kemudian menyesap secangkir teh hangat yang sudah disediakan.
"Jujur saja aku tidak menyangka kau datang lagi menemuiku."
Seyum Alexander tersungging. "Aku bisa apa? Kupikir ini akan sedikit membantu."
"Kau bisa datang kapan saja Alex. Namun aku jelas berharap kau hanya datang untuk bicara soal harimu, bukan obat, terapi, atau semacamnya."
Megan Carter, wanita yang pernah membantu Alexander untuk melewati masa-masa sulitnya. Megan merupakan salah satu dari sekian psikiater yang pernah ia temui. Ada banyak kecocokan yang bisa Alexander rasakan selama berinteraksi dengan Megan. Maka dari itu usai bertemu dengannya, Alexander tidak pernah mencoba untuk mencari psikiater lain.
"Aku juga sama. Tenang saja, pola hidupku sudah lebih baik."
"Ya, aku bisa melihatnya," sahut Megan yang turut membalas senyuman Alexander. "Jadi, kau masih belum berani mengambil keputusan?"
"Ragu lebih tepatnya. Bermain-main dengan hati membuatku takut. Bagaimana jika aku kembali ke tempat yang sama? Kau tahu, terkadang aku masih sering dihantui oleh masa lalu."
"Aku mengerti. Kau takut jika gadis yang kau inginkan pergi meninggalkanmu."
Kalimat yang diucapkan Megan sangatlah benar. Alasan Alexander duduk di sini adalah untuk meyakinkan dirinya agar berani melangkah lebih jauh. Ia perlu melakukan banyak hal yang penuh dengan risiko untuk mengungkap identitas Hailexa. Hal ini tentu sepaket dengan hasil akhir yang mungkin saja membuatnya kembali hancur.
"Jika terlalu banyak ketakutan, maka hentikan saja. Ini tidak baik untuk kalian berdua. Masih belum terlambat Alex."
"Aku tidak bisa," tolak Alexander. "Perasaanku sudah kuat. Dia berhasil membuatku kembali merasakan jatuh hati. Berhenti juga akan menyakiti kami berdua. Kumohon, yakinkan aku jika langkah yang kupilih sudah tepat."
"Alex, untuk mencapai sebuah kebahagiaan terkadang diperlukan sedikit luka. Kau sudah dewasa, pintar, dan punya banyak pengalaman. Keputusan yang kau ambil sudah pasti dipikirkan dengan matang. Aku mengenalmu, kau bukan orang yang ceroboh."
"Bagaimana jika nanti hasilnya buruk? Sungguh, aku tidak ingin kembali seperti dulu."
"Tidak, kau tidak boleh kembali. Di awal bisa saja buruk, tetapi aku tahu kau bisa mengatasinya meski tanpa bantuanku. Jika kau tidak percaya dengan dirimu sendiri, bagaimana orang lain akan percaya padamu?"
Megan mengulurkan sebelah tangannya dan Alexander menggenggamnya erat.
"Aku di sini. Apa pun yang terjadi aku akan berusaha untuk membantumu," imbuhnya.
Pandangan Alexander mengarah lurus pada jendela yang memperlihatkan langit Turin di siang hari. Cuacanya sedikit mendung, namun tidak ada tanda-tanda jika akan turun hujan.
Alexander bangkit dari sofa, ia memeluk Megan erat sekaligus mengucap banyak terima kasih. Setelahnya Alexander langsung pergi menuju daerah tempat kafe PrimAlesyara berada.Setiap kalimat yang diucapkan Megan kini tertanam jelas di kepala Alexander. Hal itu juga yang membuatnya berani mengambil langkah besar.
Wajah Alexander bersembunyi di balik helm full face, serta buff mask yang terpasang di bawah mata. Ini sedikit kurang nyaman, namun mau tak mau ia harus bertahan demi keamanannya. Menggunakan helm saja sangat berisiko memperlihatkan wajahnya.
Motor Ducati Panigale hitam itu kini terparkir beberapa meter dari kafe PrimAlesyara. Dari celah kecil di dekat toko roti, Alexander bersembunyi sekaligus menanti Hailexa untuk keluar dari sana. Hari ini Hailexa memiliki jadwal kelas yang dimulai setelah jam makan siang. Pagi harinya digunakan untuk menghabiskan shiftnya di kafe yang akan segera habis. Tidak seperti Alexander yang sudah benar-benar berhenti, Hailexa masih memiliki sekitar dua sampai empat shift lagi.
Kemarin malam Alexander kembali menawarkan diri untuk mengantar gadis itu menuju universitasnya. Sesuai dugaan, tawaran itu ditolak dengan alasan tidak ingin merepotkannya karena mengganggu istirahat makan siang. Kenyataannya adalah ia libur hari ini. Namun demi menghindari rasa curiga dari Hailexa, Alexander menerima alasan itu tanpa berusaha memaksa.
Alexander buru-buru memasukkan ponselnya ke saku celana ketika melihat Hailexa keluar dari kafe. Gadis itu pergi bersama mobil berwarna silver, yang entah merupakan taksi online atau mobil salah satu temannya. Alexander mengambil posisi beberapa meter di belakang mobil, sedikit lebih jauh daripada sebelumnya. Salah satu keuntungan menggunakan motor, ia akan lebih mudah menyalip kendaraan lain semisal jarak di antara mereka mulai menjauh.
"Oh, Hailexa. Sebenarnya kau ini akan pergi ke mana?" tanya Alexander bermonolog.
Motor yang Alexander kendarai mendadak terhenti, ketika mobil silver tadi berbelok memasuki area bangunan dengan pagar pembatas yang cukup tinggi. Penjagaan di gerbang masuk juga terlihat ketat, bahkan ada tiga buah mobil yang terparkir di dekat sana.
Alexander menelan ludah, tak lama setelah dirinya menyadari tempat apa yang baru saja Hailexa masuki. Gedung universitas. Sayangnya ini merupakan universitas yang dipenuhi dengan rumor-rumor mengejutkan. Dari yang pernah Alexander dengar, tempat ini memiliki akademi yang dikhususkan untuk calon mata-mata.
Sebelum pemikirannya masuk lebih dalam, Alexander segera meninggalkan area ini. Ia pergi menuju apartemen untuk mencari tahu informasi lain yang sekiranya bisa didapatkan.
"Berikan aku informasi tentang Dipartimento delle Informazioni per la Sicurezza," ucap Alexander ketika komputernya baru saja dinyalakan.
"Menampilkan informasi terkait."
Tiga puluh menit, Alexander membaca setiap artikel, opini, serta fakta-fakta namun yang ia dapatkan hanyalah informasi umum. Tidak ada satu pun yang menjelaskan atau bahkan memberi kunci soal akademi dan semacamnya.
Ketika ia mencoba untuk menelusuri soal universitas, hasil yang muncul kebanyakan mengarah pada website resmi universitas. Di dalamnya juga memuat informasi umum seperti visi misi, sistem pendidikan, jurusan, biaya, prestasi, serta informasi soal pendaftaran. Formulir pendaftaran yang tersedia juga sama layaknya universitas lain. Tidak ada yang aneh, semua terlihat wajar.
Namun satu pertanyaan bersarang di kepala Alexander. Jika memang semua ini wajar, kenapa Hailexa harus menyembunyikan kebenaran darinya? Bukankah ini tidak adil?
Buku cetak, pistol, universitas, itu bukanlah sebuah kebetulan. Tiga hal tersebut bisa diibaratkan sebagai petunjuk kecil yang akan menuntunnya untuk membuka fakta baru.
Alexander menyugar rambutnya, merasa mulai frustrasi. Satu telapak tangannya terkepal kuat, tekadnya kini begitu dalam. Apa pun yang terjadi, apa pun risikonya, ia harus bisa menemukan kebenaran tentang sosok Hailexa yang tak hanya membuatnya penasaran, namun membuatnya kembali jatuh cinta.