Chereads / THE SECRET AGENT! / Chapter 48 - Berpikir Terlalu Jauh

Chapter 48 - Berpikir Terlalu Jauh

Pandangan Hailexa jatuh pada laki-laki bertubuh tinggi, yang kini tengah berdiri seraya mengapit ponsel di telinganya. Lelaki itu berjalan menyeberang. Dari posisinya saat ini, Hailexa bisa melihat jelas senyuman tipis yang tentu ditujukan untuknya.

"Aku nyaris tidak percaya kau benar-benar datang."

Alexander memasukkan ponselnya ke saku celana, kemudian menarik tubuh Hailexa mendekat sebelum menyatukan bibir mereka. Satu lengan Hailexa mengalung pada leher Alexander, membuatnya sebagai tumpuan agar tidak jatuh mengingat kedua kakinya sedang berjinjit. Ketika ciuman itu terlepas, Hailexa bisa mendengar suara kekehan kecil yang begitu menggelitik.

"Mana mungkin aku menyia-nyiakan kesempatan ini," balas Hailexa sambil memberi jarak di antara mereka.

Tadinya Hailexa sedang berbaring nyaman di ranjang kamarnya. Ia punya banyak waktu luang, namun tidak ada kegiatan menyenangkan yang bisa dilakukan. Alexander berkata jika punya acara makan malam bersama rekan kerjanya, padahal Hailexa sangat berharap jika bisa bertemu walau hanya sebentar.

Namun siapa yang bisa menyangka, jika ternyata makan malam itu selesai lebih cepat dari yang Alexander bayangkan. Bermula dari sana, Hailexa mendapat pesan singkat yang mana Alexander mengatakan bahwa mereka bisa bertemu malam ini.

"Seharusnya biarkan aku datang ke apartemenmu, setelah itu kita bisa pergi."

Hailexa menggeleng. "Astaga Alex, aku hanya naik taksi sekitar sepuluh menit. Itu bukan hal yang sulit."

Sekarang kedua manik biru itu sedang meneliti penampilan Alexander. Kemeja putih, jas hitam, celana kain, sepatu dengan warna senada, serta sebuah jam tangan yang melingkar indah. Rambut gelapnya ditata dengan rapi, wangi tubuhnya juga tercium dengan jelas, persis seperti baru keluar dari kamar mandi. Hailexa menipiskan bibir ketika harus membandingkan penampilan Alexander dengan penampilannya—kaus tipis dengan rambut yag terurai bebas, jauh dari kata rapi.

"Kenapa makan malamnya selesai lebih awal?" imbuh Hailexa dengan nada cemas. Ia takut terjadi sesuatu dengan Alexander.

"Sebenarnya belum selesai. Mereka memutuskan untuk pergi minum. Berhubung aku harus menyetir, jadi lebih baik undur diri. Bonusnya, kita bisa bertemu."

Hailexa tak lagi bicara ketika Alexander mulai menarik pergelangan tangannya. Lelaki itu menuntunnya untuk masuk ke sebuah kedai yang letaknya berada tepat di belakang mereka. Hailexa menelan ludah ketika lengan Alexander kini sudah berganti melingkupi pinggangnya. Bukannya tak suka, hanya saja ia merasa kurang nyaman sebab beberapa pasang mata menatapnya secara terang-terangan.

"Pesananku?"

"Akan siap dalam dua menit. Ada tambahan lagi, Tuan?"

"Satu potong kue cokelat," ujarnya sambil menunjuk ke arah etalase kaca. "Berikan sekarang. Aku akan membawanya sendiri."

"Baik. Tunggu sebentar."

"Apa ada yang mengganggumu, Hailexa?"

Tubuh Hailexa nyaris terlonjak ketika mendengar bisikan Alexander di telinganya. Hailexa menggerakkan tubuh, berusaha lepas dari rangkulannya dengan cara halus. Meski sedikit sulit, pada akhirnya ia bisa terlepas dan orang-orang tadi sudah tak lagi menatapnya.

"Tidak ada," elaknya santai.

Setelah kue cokelat tadi berada di tangan Alexander, lelaki itu mengajak Hailexa untuk naik ke lantai dua. Pada awalnya Hailexa berpikir jika alasan Alexander mengajaknya ke lantai dua, karena tempat ini punya pemandangan balkon yang cantik. Namun setelah tiba di atas dan tak melihat ada satu orang pun di sini, tebakannya menjadi salah total.

"Jangan katakan jika kau yang mengosongkan tempat ini?"

"Kau ingin duduk di luar, atau di dalam?"

"Alex, jawab pertanyaanku!"

Alexander mengangguk. "Aku juga sedang tidak ingin diganggu. Lagi pula bukankah ini akan jadi lebih nyaman? Kau terhindar dari orang-orang yang terus menatapmu. Aku tahu itu meski kau tak mengatakannya."

Hailexa terdiam seribu bahasa. Di kepalanya berputar puluhan kalimat yang harus ia gunakan untuk membalas ucapan Alexander. Di satu sisi ia senang karena laki-laki itu peka terhadap apa yang sedang terjadi. Namun di sisi lain Hailexa masih tidak mengerti kenapa Alexander harus mengosongkan tempat ini. Jika memang tak ingin diganggu, mereka bisa menghabiskan waktu di apartemen saja. Hailexa bersedia mengabaikan rasa bosannya, daripada mengosongkan tempat dengan biaya yang tentu tidak sedikit.

"Apa lagi yang kau pikirkan? Kita bisa cari tempat lain jika kau merasa kurang nyaman. Maaf karena sudah memutuskannya sepihak."

"Tidak Alex, tidak," sahut Hailexa cepat sebelum Alexander salah paham. "Aku hanya terkejut. Maksudku, pasti ada tempat lain yang bisa disewa untuk kepentingan pribadi namun tidak seluas ini."

Jawaban dari Alexander harus terjeda dikarenakan seorang pelayan baru saja tiba untuk mengantar makanan yang sudah dipesan. Satu porsi burger yang dipotong menjadi dua bagian, kentang goreng, serta dua lemonade dingin telah tersaji rapi di atas meja. Keputusan finalnya mereka memilih untuk duduk di dalam, tepat di dinding kaca.

Setelah pelayan itu turun, Alexander kembali membuka mulutnya untuk berbicara. "Tentu ada. Beberapa restoran berbintang memiliki private room. Hanya saja aku lebih suka tempat semacam ini. Makanlah, aku berani menjamin kau tidak akan kecewa. Jangan pikirkan apa pun kecuali makanan dan diriku."

Alexander memang tidak berbohong soal cita rasa yang ada pada burger. Dagingnya begitu lembut, menyatu dengan lelehan keju yang diletakkan di atasnya. Hailexa tidak masalah walau hanya makan burger ini selama tiga hari berturut-turut.

"Dari ekspresimu terlihat jelas jika kau menyukainya. Aku hanya pesan satu porsi karena tahu kau sudah makan malam. Habiskan bagianku jika masih kurang."

"Ah, Alex," ujar Hailexa sedikit terkejut. Ia terkejut bukan karena kalimat yang diucapkan Alexander, melainkan karena lelaki itu meraih punggung tangannya yang menganggur lalu memberikan kecupan di sana.

"Malam ini sedikit spesial dan aku hanya ingin melewatinya bersamamu." Alexander meraih garpu kemudian memotong ujung kue cokelat untuk dirinya sendiri. "Sudah terlambat namun kurasa masih pantas untuk dirayakan."

Satu alis Hailexa terangkat sebab kebingungan atas ucapan Alexander. "Tunggu," selanya. "Kapan kau berulang tahun?"

"Tepat dua bulan lalu."

Dua bulan lalu? Laki-laki ini keterlaluan. "Kenapa baru mengatakannya sekarang? Tidak. Seharusnya aku mencari tahu sejak dulu. Sekarang aku tidak punya hadiah."

Alexander tersenyum sambil melepaskan jas hitam, serta menggulung lengan kemejanya hingga sebatas siku. "Ini hanya perkara waktu. Selama usiaku masih dua puluh empat, kita bisa merayakannya kapan saja. Satu bulan sebelum memasuki usia dua puluh lima juga tidak masalah. Soal hadiah, bagiku pertemuan ini adalah hadiah terbaik."

Hailexa bangkit, berjalan mengitari meja kemudian duduk di atas pangkuan Alexander. Ia terdiam sejenak, sibuk mengangumi mata hazel yang menurutnya sangat indah. Jari telunjuk Hailexa ditempelkan di sebelah mata kanan Alexander, lalu bergerak turun secara perlahan, menyusuri setiap inci dari wajahnya.

Tak ada kata selain sempurna yang mampu untuk Hailexa pikirkan saat ini. Struktur wajah lelaki ini seolah diciptakan dengan penuh kesabaran. Hailexa jadi penasaran seperti apa kedua orang tua Alexander.

Bibir Hailexa didekatkan pada kening Alexander, memberikan sebuah ciuman hangat yang cukup lama. Kemudian ia berbisik, "Tak peduli berapa pun usiamu, tetaplah menjadi diri sendiri. Aku selalu mendoakan yang terbaik."

"Mengesankan," komentarnya yang diimbuhi senyuman tulus. "Terima kasih."

"Orang-orang di bawah tadi, kurasa mereka menatapku karena berpikir jika aku gadis yang dibawa keluar dari kelab malam. Kau terlihat seperti pria kaya yang baru saja menyelamatkan masa depan seorang gadis. Persis seperti pada novel atau film."

Alexander terkekeh. Kepalanya menggeleng sebab kagum akan pola pikir Hailexa. "Jika itu memang benar, maka mereka berpikir terlalu jauh." Giliran Alexander yang mendekatkan wajahnya. Dia memberikan kecupan ringan pada masing-masing pipi Hailexa. "Lagi pula jika kau berasal dari kelab malam, aku tidak akan membawamu kemari. Apartemen akan jadi tujuan yang menarik."

"Lihat siapa sekarang yang berpikir terlalu jauh?" Hailexa menenggelamkan wajahnya di balik bahu Alexander, sekaligus mencari posisi yang nyaman untuk bersandar. "Biarlah berasumsi apa pun tentangku. Selama kau masih di sini, kurasa semuanya akan baik-baik saja." Sebagai kalimat penutup, Hailexa berucap pelan dalam hatinya. Aku mencintaimu.