"Dia masih belum mengaku? Aku bisa menebak bagaimana cerita akhirnya. Jangan terlalu berharap, Alex. Cepat atau lambat dia pasti akan meninggalkanmu. Sama seperti yang kulakukan dulu."
Dalam tidurnya, kedua mata Alexander dipejamkan kuat-kuat untuk mengusir suara yang menggema dalam pikirannya. Kepalanya bergerak ke sana kemari, sekujur tubuhnya mulai dibasahi keringat terlebih pada dahi, pelipis, leher, serta telapak tangan. Bukannya menghilang, semakin lama suara itu justru semakin keras, diteriakkan berulang-ulang. Napasnya berubah sesak, dada Alexander seperti dihantam sesuatu yang keras.
"Lepas," rintihnya.
Suara teriakan yang begitu kencang kembali terdengar. Akan tetapi suara kali ini berbeda. Alexander mencoba mendengarkan dengan saksama, sebelum akhirnya menyadari jika itu suara teriakannya di masa lalu setiap kali mimpi buruk sedang mencekiknya.
"Mimpi yang sama," bisik Alexander tak lama setelah kedua matanya terbuka dan kesadarannya kembali utuh.
Selalu seperti ini, kenapa mimpi sialan itu tak pernah hilang? Ia sudah melakukan segala cara, melewati banyak hal, bahkan kembali jatuh cinta, namun hasilnya tetap sama. Apakah ada sesuatu yang terlewat tanpa ia sadari?
Alexander mengambil posisi duduk sambil bersandar pada kepala ranjang. Satu tangannya terulur, menarik selimut yang sudah turun sebatas pinggang hingga kembali menutupi tubuh Hailexa. Segaris senyum tipis itu menghiasi bibirnya, di kala ia menatap raut wajah Hailexa yang begitu damai.
Kini kedua kakinya turun dari ranjang, melangkah keluar dari kamar tidur menuju dapur. Dalam keadaan gelap, Alexander membuka lemari penyimpanan dan mengambil sebotol wine dan menuangkan isinya ke dalam gelas.
Saat ini di Turin, waktu sedang menunjukkan pukul dua dini hari. Alexander sedang mencoba untuk menghubungi ponsel sang ibu namun tak kunjung ada jawaban. Ketika mengalami mimpi buruk, Emma adalah orang yang paling sering membantunya untuk kembali tenang. Sebenarnya yang Alexander perlukan hanya percakapan singkat atau pelukan hangat, sampai perasaannya menjadi baik. Hailexa tentu bisa melakukannya, hanya saja Alexander tidak ingin membangunkan gadis itu dari tidurnya.
"Nicholla?"
Opsi kedua yang Alexander gunakan ialah menghubungi adiknya. Perbedaan waktu antara Seattle dan Turin, seharusnya membuat Nicholla tidak berada pada jam sibuk untuk saat ini. Maka dari itu Alexander mencoba untuk menghubunginya, berharap Nicholla bersedia menemaninya untuk bicara.
"Alex. Cukup lama sejak terakhir kali kau meneleponku. Ada—" Kalimat Nicholla terputus di tengah-tengah. "Saat ini seharusnya sudah lewat tengah malam di Turin. Alex, kau baik-baik saja?"
"Apa aku mengganggu waktumu? Kau sudah selesai kuliah hari ini?"
"Sudah sudah. Kelasku berakhir pukul satu siang dan kau tidak menggangguku. Kau baik-baik saja 'kan? Apa napasmu sesak? Di mana Mommy?"
Alexander tersenyum getir usai mendengar respons Nicholla. Adiknya itu sudah hafal dengan situasi yang terjadi. Ini menyedihkan, Alexander merasa jika dirinya menjadi beban bagi orang lain.
"Sudah lebih baik dari sebelumnya. Nicholla, aku menyusahkanmu ya?"
"Alex, kenapa berkata seperti itu? Sungguh, kau tidak pernah menyusahkanku. Apa kau tidur di apartemen?"
"Iya. Mimpi buruk, seperti biasa. Aku sudah mencoba menghubungi Mommy tetapi tidak ada balasan." Alexander berjalan menuju ruang tengah dan berhenti tepat di hadapan pintu balkon. Bayangan tubuhnya terpantul pada pintu balkon yang terbuat dari kaca secara samar-samar. Fisiknya terlihat baik-baik saja, namun jiwanya sedang terpecah dan tak kunjung utuh sejak tiga tahun lalu. "Suaranya terdengar begitu nyata. Aku seolah merasakan jika dia berada di dekatku."
"Itu hanya bayanganmu. Semakin kau ketakutan, maka akan terasa semakin nyata. Satu-satunya orang yang bisa menghentikannya adalah dirimu. Buang jauh-jauh, lepaskan."
"Aku berusaha Nicholla, aku sedang mencobanya. Namun setiap kali aku merasa berhasil, dia kembali datang. Ini menyakitkan. Kami bahkan sempat bertemu secara nyata dan—"
Alexander berhenti bicara. Ia menarik napas panjang saat tahu suaranya mulai bergetar dan matanya terasa perih.
"Aku bisa mengontrol diriku saat di hadapannya. Namun setelah dia pergi, hanya rasa sakit yang kudapatkan. Selama ini aku mencoba bersikap santai ketika orang-orang menanyakan tentangnya. Namun satu hal lain membuatku kembali sensitif akan topik itu."
Embusan napas berat Nicholla terdengar begitu jelas, menunjukkan jika dia sedang khawatir. "Kau membuatku ingin pulang ke Turin sekarang juga," lirihnya. "Alex, apa kau sedang dekat dengan seorang gadis sekarang?"
"Ya. Apa ini terdengar memaksakan diri? Aku belum mengatakan soal perasaanku dengan jelas padanya. Begitu pula tentang Teresa. Bagaimana menurutmu?"
"Jika kau sudah yakin mencintainya, maka katakan saja. Semuanya. Setidaknya setelah berkata jujur, kau punya teman yang bisa membantumu melewati hal semacam ini. Lebih bagus lagi jika mimpi burukmu itu bisa hilang permanen."
"Saranmu boleh juga. Aku akan cari waktu yang tepat. Terima kasih. Setelah ini aku akan kembali tidur. Sebelum itu, katakan kalimat manis untukku."
"Syukurlah. Nanti ceritakan padaku tentang gadismu, ya? Aku membencimu, sangat."
Kekehan Alexander keluar begitu saja ketika mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Nicholla. Gadis itu memang punya gengsi yang cukup tinggi. Namun baginya hal semacam ini tentu tidak jadi masalah. Alexander tahu betul, di balik sikap gengsinya, Nicholla jelas sangat menyayanginya.
"Alex?"
Alexander terperanjat ketika mendengar namanya dipanggil dari arah belakang. Ia menoleh dan menemukan Hailexa sedang termenung dengan kepala yang sedikit dimiringkan.
"Perlu sesuatu? Kenapa terbangun?" tanya Alexander lembut sembari memberi isyarat pada gadis itu untuk masuk ke dalam dekapannya.
Bukan jawaban yang justru Alexander dapatkan, melainkan sebuah pertanyaan yang tentu ditujukan untuk dirinya. "Kau sendiri kenapa terbangun?"
"Aku pergi ke dapur untuk mengambil minum. Tidak ada yang perlu kau cemaskan." Alexander mengecup puncak kepala Hailexa, berusaha meyakinkan padanya jika semua baik-baik saja. "Ayo kembali."
"Jika tidak ada yang perlu dicemaskan, kenapa kau justru minum wine di saat seperti ini? Aku tahu kau mencoba untuk merilekskan tubuhmu. Sebenarnya apa yang terjadi?"
Ah, Alexander lupa jika wine di gelasnya masih tersisa sedikit. "Mimpi buruk, tetapi sekarang sudah lebih baik. Kita bicara di kamar saja ya?"
Beruntungnya Hailexa bukanlah tipe gadis yang suka bersikap jadi keras kepala. Dengan ini Alexander bisa lebih mudah menjelaskan semuanya dalam keadaan tenang. Tanpa tuntutan yang bermacam-macam.
Alexander menyalakan lampu utama yang ada di kamarnya, lalu duduk di atas ranjang. Ketika Hailexa baru akan naik, Alexander buru-buru menarik pinggang gadis itu dan membuatnya duduk di atas pangkuan Alexander.
"Ada banyak hal yang belum kau ketahui tentang diriku, keluargaku, serta masa laluku. Aku sangat ingin menceritakan semuanya padamu, namun sedang menunggu waktu yang tepat. Terlebih soal hubunganku dengan Teresa."
Alexander menangkup pipi Hailexa dengan kedua telapak tangannya. Perlahan ibu jarinya bergerak lembut, membelai batang hidung serta permukaan bibir gadis cantik di hadapannya. Ia mulai berandai-andai, jika di masa depan nanti Hailexa akan menjadi dunianya, maka ia siap melakukan apa pun untuk menjaga gadis ini agar tetap dalam jangkauannya.
"Selama ini aku terus menutupnya karena hubungan kami berakhir dengan cara yang buruk. Terlalu buruk sampai membuatku selalu dihantui oleh rasa takut. Dalam mimpiku tadi, aku mendengar suaranya."
Di saat Alexander akan melanjutkan ceritanya, tiba-tiba saja Hailexa meletakkan jari telunjuk di atas bibirnya. Telapak tangan Alexander yang tadi menetap di pipinya, ditarik kemudian dikecup secara bergantian.
"Cukup. Menceritakan mimpi buruk yang baru saja kau alami, tidak selalu bisa membuat perasaanmu jadi lebih lega. Simpan saja untuk hari ini, ceritakan padaku lain waktu. Bagiku yang terpenting adalah, memastikan jika setelah ini kau bisa kembali tidur nyenyak."
"Kau tidak keberatan? Apa ada hal lain yang membuatmu penasaran? Tanyakan padaku. Apa pun."
Hailexa menggeleng pelan. Alexander memperhatikan gadis itu yang turun dari pangkuannya, kembali berbaring di ranjang sambil menepuk-nepuk sisi sebelahnya. "Kemari. Kurasa dibanding berbicara, kau lebih membutuhkan pelukan."
Alexander jelas tidak akan menolak tawaran tersebut. Ia segera berbaring di sisi Hailexa, membiarkan tubuhnya didekap dengan hangat, sekaligus menikmati usapan teratur di punggungnya.
"Oh, tadi aku mendengarmu sedang berbicara lewat telepon. Siapa yang kau hubungi saat dini hari seperti ini?"
"Tadi itu adikku. Dia berada di Seattle. Waktu di Turin lebih cepat, bukan? Jadi hanya aku yang merasakan suasana dini hari."
Kedua mata Hailexa membulat. Alisnya bahkan saling bertautan. "Kau punya adik? Aku tidak pernah tahu," ucapnya.
"Ya. Perempuan. Namanya Nicholla. Dia lebih muda darimu, tetapi kau lebih cantik darinya."
Hailexa tertawa sambil memberikan pukulan kecil pada lengan Alexander. "Semua perempuan itu cantik. Aku jadi ingin tahu tentang keluargamu. Apa kau sudah pernah membicarakanku dengan mereka?"
"Hanya percakapan kecil. Mereka bahkan tidak tahu siapa namamu."
"Kau tidak memberitahukannya? Kenapa?"
"Itu karena aku ingin kau memperkenalkan dirimu sendiri pada mereka. Terdengar menarik, bukan?"
"Jangan dalam waktu dekat oke? Aku belum siap." Hailexa terdiam sejenak. "Kurasa aku tidak akan pernah siap."
Alexander ikut tertawa saat merasakan kecemasan Hailexa. Astaga, kenapa gadis ini begitu menggemaskan. "Mereka pasti menyukaimu. Sebelum itu kau bisa tanyakan sesuatu mengenai keluargaku. Di luar itu juga boleh. Aku hanya ingin mencoba untuk terbuka, tanpa merahasiakan apa pun darimu," ujar Alexander dengan penuh keyakinan.
Pada dasarnya, kalimat itu mengandung sebuah arti tersirat. Ketika Alexander tak ingin merahasiakan apa pun dari Hailexa, maka ia juga berharap sebaliknya. Alexander sangat berharap jika gadis itu segera mengakui apa yang sebenarnya dia lakukan di Turin selama ini, atau ia sendiri yang akan mencari tahu hingga tuntas.