"Lima menit dua belas detik."
Masing-masing sudut bibir Hailexa terangkat ketika mendengar capaian waktu yang didapatkan. Ini lebih cepat dua menit dari percobaan sebelumnya, dan enam menit dari percobaan kemarin. Mengambil dan memasang ulang chip membutuhkan ketelitian serta fokus yang tinggi. Terlewat satu hal kecil bisa mengacaukan semuanya. Tak hanya itu, manajemen waktu juga diperlukan mengingat chip tersebut akan diambil dengan tindakan yang seharusnya tidak dilakukan.
"Tanganku masih suka gemetar," ungkap Hailexa atas apa yang ia rasakan.
"Masih ada waktu. Kau pasti akan terbiasa."
"Kupikir aku tidak akan siap sampai kapan pun."
"Siap tidak siap kau harus tetap pergi 'kan? Istirahatlah."
Hailexa berjalan ke sisi ruangan guna menghampiri Bedric. Lelaki itu sedang duduk dengan wajah lesu, terlihat pusing dan ingin muntah. Alesya berdiri tepat di belakangnya, memijat kepala lelaki itu agar merasa lebih baik.
Sejak pagi Bedric memang terlihat kurang sehat. Orang-orang sudah memperingatkan untuk duduk dan melihat Hailexa melakukan percobaan. Sayangnya Bedric sedang dalam mode keras kepala. Lelaki itu turut melakukan hal yang sama, dan kini berujung kelelahan sebab energinya terkuras habis.
"Lain kali dengarkan ucapanku," celetuk Alesya menasihati.
Bedric hanya diam. Pandangannya tertuju lurus pada Hailexa yang sedang melemparkan senyum mengejek.
"Sebaiknya kau besok libur saja. Aku tidak ingin nantinya partnerku pingsan dan berujung mempersulit keadaan," ujar Hailexa agar Bedric semakin kesal.
"Tidak lucu."
"Itu memang bukan lelucon." Hailexa menepuk bahu Bedric pelan. "Cepat sembuh, oke?"
Langkah kaki Hailexa kini mengarah mendekati pintu balkon. Hujan deras baru berhenti beberapa menit lalu, membuat aroma khasnya masih begitu membekas. Hal kecil seperti ini mengingatkan Hailexa kepada Washington yang kerap kali diguyur hujan.
Beberapa bulan berlalu cepat, hidupnya juga sudah banyak berubah. Namun kenangan akan tetap jadi kenangan. Seberapa jauh pun dirinya pergi, Hailexa tidak akan pernah bisa mengabaikan tempat di mana ia dibesarkan.
Hailexa melihat pada ponselnya di mana ada beberapa pesan dari Alexander yang belum sempat ia balas. Sejak masuk ke ruangan ini, Hailexa tidak menyentuh ponselnya sama sekali. Laki-laki itu mengatakan jika hari ini sedang libur, jadi mungkin Alexander sedang bosan dan butuh teman untuk bicara.
Akhir-akhir ini mereka memang sulit bertemu. Hailexa mengakui jika dirinya mulai merindukan Alexander. Jadwal yang mereka miliki benar-benar bertabrakan. Ketika lelaki itu libur, ia justru punya jadwal minimal setengah hari atau justru seharian penuh. Namun ketika dirinya sedang kosong, Alexander justru disibukkan dengan berbagai macam pertemuan.
Hailexa Spencer : Aku baru saja istirahat.
Alexander tampaknya benar-benar dalam keadaan bosan. Tidak sampai sepuluh detik pesannya sudah terbaca dan siap untuk dibalas.
Alexander MAlesyarick : Baguslah. Terlalu lama belajar tidak baik untuk otakmu. Jadi, kapan kita bisa bertemu?
Hailexa Spencer : Terakhir kali kita bertemu, masih belum sampai satu minggu.
Alexander MAlesyarick : Ya, tetapi aku sudah merindukanmu.
Alexander MAlesyarick : So bad. It's hurt.
Hailexa tidak bisa menyembunyikan senyum bahagianya saat ini. Meski mereka sedang berjauhan, Alexander masih saja berhasil membuatnya tersenyum dan berkhayal layaknya orang bodoh. Lelaki itu tampaknya punya segudang kata-kata manis dan Hailexa tidak akan pernah siap untuk mendengarnya. Melalui pesan singkat saja jantungnya sudah berdegup gila, bagaimana jika mendengarnya langsung.
Memikirkan tentang Alexander selalu membuat Hailexa teringat akan identitasnya yang masih dirahasiakan. Entah sampai kapan ia harus bersikap seperti ini. Di satu sisi Hailexa sangat ingin mengakui tentang siapa dirinya. Namun di sisi lain ia sangat takut setelah Alexander mengetahui fakta ini, laki-laki itu akan menjauh.
Itu terdengar menyakitkan.
Alexander merupakan satu-satunya orang di Turin yang menjadi sumber kekuatannya. Ketika Hailexa berada pada titik terendah, lelaki itu selalu datang dan menarik dirinya ke dalam pelukan hangat. Setiap kalimat positif yang diucapkan selalu berhasil membuatnya menjadi lebih tenang. Alexander seolah hadir sebagai malaikat pelindung untuknya. Jika laki-laki itu pergi, lalu pada siapa dirinya harus bersandar?
Ini memang terdengar tidak adil. Semua kebaikan yang Alexander lakukan dibalas oleh cerita palsu. Hailexa merasa buruk atas hal ini.
"Hailexa."
Hailexa menoleh dan menemukan Bedric sedang berjalan mendekat dengan cup berukuran sedang di masing-masing tangannya.
"Cokelat hangat. Alesya memintaku memberikannya padamu."
"Terima kasih. Sudah tidak pusing?"
Bedric menggeleng. "Seperti yang kukatakan, aku akan sembuh dengan cepat."
"Sombong sekali," ledek Hailexa sembari meninju lengan Bedric.
"Hailexa, aku ingin bertanya jika kau tidak keberatan. Sebelum datang ke Turin, kegiatan apa saja yang biasa kau lakukan di Washington?"
Sudut mata Hailexa melirik ke atas, mengingat-ingat momen menyenangkan yang ia lakukan dalam beberapa tahun terakhir. Tepatnya ketika mulai menginjak bangku universitas.
"Aku tidak jauh berbeda dengan mahasiswa pada umumnya, hanya saja ada beberapa waktu di saat mereka menikmati hidup, aku diharuskan berjuang untuk tetap hidup. Bekerja paruh waktu itu menyenangkan sekaligus melelahkan. Di luar itu, aku suka datang ke festival terutama festival musik. Kemudian berkeliling kota di tengah malam, pergi ke pantai, dan juga berpesta walau tidak sering."
"Terdengar menyenangkan. Kau pasti sangat bahagia ya?"
Senyuman tipis menghiasi bibir Hailexa. Hidupnya memang dilanda pasang surut, namun untuk keseluruhan Hailexa merasa dirinya dipenuhi dengan kebahagiaan dan keberuntungan. "Kupikir juga begitu. Lalu bagaimana denganmu Bedric?" tanyanya balik.
"Apa pun yang terjadi sekarang, aku bersyukur untuk itu. Jika aku tidak memilih jalan ini, mungkin sekarang sedang bergabung bersama militer angkatan udara. Bisa juga duduk di depan komputer, mengurus dokumen serta membaca grafik yang membosankan."
Hailexa memiringkan kepalanya. Militer udara? Terdengar keren. "Kenapa kau tidak memilih bergabung dengan militer? Risiko pekerjaannya bisa lebih kecil daripada yang sedang kau jalani sekarang."
"Kau tahu, sesuatu yang terlihat aman tidak selamanya menyenangkan. Anggap saja aku memilih pekerjaan ini karena ingin membantu orang lain, mengungkap kebenaran, atau mengembalikan hak-hak yang semestinya bisa didapatkan. Lebih banyak tantangan, tetapi aku menikmatinya."
"Keluargamu, tidak keberatan soal pilihan yang kau buat?"
"Pada awalnya mereka terkejut. Namun setelah mendengar penjelasanku, mereka mengerti dan sangat mendukung keputusan ini."
Hailexa tiba-tiba teringat tentang pasien di rumah sakit yang pernah ia datangi bersama Alesya. Sampai detik ini Hailexa masih belum mengetahui siapa yang sedang dirawat. Namun yang pasti, seseorang di sana adalah alasan kenapa dirinya berdiri di tempat ini.
"Bedric. Apa ada seseorang di masa lalu yang membuatmu memilih untuk bergabung di sini?"
Sebelah alis Bedric terangkat. "Kenapa bertanya seperti itu?"
"Dulu Alesya pernah mengajakku ke rumah sakit, mengatakan jika seseorang yang sedang terbaring di sana, adalah alasan kenapa aku berada di sini. Sayangnya aku belum mengetahui siapa dia. Jadi mungkin kau juga punya alasan yang sama."
"Ah, begitu ya," Bedric menggaruk tengkuknya. Lelaki ini sudah akan buka suara, akan tetapi panggilan dari Alesya menghentikan aktivitasnya.
"Kalian masuk. Ada beberapa hal penting yang harus dibahas."
Hailexa memutar bola matanya malas. "Ck! Apa lagi sekarang? Istirahatku bahkan belum sampai dua puluh menit!" teriaknya meluapkan emosi yang nyaris tersulut.