Chereads / THE SECRET AGENT! / Chapter 45 - Kau Serius?

Chapter 45 - Kau Serius?

Alexander mengerang panjang sambil mengubah posisinya menjadi duduk di atas meja biliard. Bahunya bergerak naik turun, menandakan jika napasnya tidak teratur. Sebelah tangannya digunakan untuk merapikan rambut tebalnya yang berantakan, sebelum kemudian tersenyum lebar.

Alexander turun, berjalan menuju meja di sudut ruangan. Ia mengambil botol bir, membukanya, kemudian meneguk isinya hingga tersisa setengah. Rasa haus yang tadinya melanda, kini hilang namun digantikan oleh rasa terbakar. Tubuhnya kembali panas, akan tetapi nikmat di saat yang bersamaan.

"Sudah berapa banyak yang dia minum?"

"Tiga kurasa. Beruntung kandungan alkoholnya rendah dan ukuran botolnya juga kecil," sahut Austin membalas pertanyaan Allard.

"Tiga botol dalam waktu yang singkat. Itu tidak baik, Austin."

Austin tertawa rendah, kemudian melakukan hal yang sama dengan Alexander. "Biarkan saja. Dia jarang minum. Kau juga, kenapa tidak minum?"

Allard menelan suapan terakhirnya dengan cepat. "Kau tidak lihat aku baru selesai makan? Lagi pula fish and chips lebih cocok disandingkan dengan red wine," jelasnya.

"Kalau begitu cari sendiri, oke?" Austin kembali minum sambil menegakkan punggungnya. "Hei Alex merasa lebih baik?"

"Austin, aku baik-baik saja sejak awal."

Malam ini Alexander sedang berkumpul bersama dua temannya di kediaman Austin. Rencana awal hanya berbincang ringan, bermain video games, sambil menonton pertandingan bola. Namun ketika kegiatan itu mulai terasa membosankan, entah mengapa Alexander tertarik untuk menghabiskan sisa malamnya dengan minum sampai puas.

Suara-suara Allard dan Austin mengalun begitu jelas di kepala Alexander. Meski sebenarnya ia masih mampu memproses seluruh kalimat itu, Alexander memilih untuk tetap diam sampai ada pertanyaan yang ditujukan padanya. Alexander masih sadar, bir ini belum memengaruhinya. Baik, mungkin setengah mabuk.

"Alex. Kau tidak ingin makan? Aku masih lapar dan berniat makan lagi."

"Aku baru menghabiskan empat potong pizza, Allard," tolak Alexander karena merasa perutnya mulai penuh oleh cairan.

"Porsi makanmu bisa lebih banyak dari itu."

"Memangnya kau ingin makan apa?"

Allard berpikir sejenak dengan kedua alisnya yang saling bertautan. "Kari udon. Setengah porsi saja. Kau tertarik?"

Tawaran dari Allard benar-benar membuat Alexander tergoda. Ia tidak bisa mengabaikan kari udon buatan koki di rumah Austin. Rasanya sangat mirip dengan kari udon yang pernah Alexander coba ketika berkunjung ke Jepang.

"Setuju," jawabnya lantang tanpa perlu berpikir lagi.

"Jadi, katakan kepada kami. Bagaimana kondisi temanmu itu? Siapa, Amor?" tanya Austin yang saat ini sedang menatap Alexander lekat.

Kepala Alexander mengangguk beberapa kali. "Dia baik. Aku sudah mencoba untuk bicara langsung dengannya, namun ditolak. Kami hanya bicara melalui telepon."

Alexander berjalan mendekati pagar pembatas balkon. Kedua tangannya mencengkeram erat, berusaha meredakan emosi yang mulai bergejolak. Alexander tahu betul jika sebenarnya Amor tidak sepenuhnya dalam keadaan baik. Pria yang menjaga gerbang rumahnya tak sengaja melihat Amor sedang berjalan seorang diri, dengan balutan perban di tangan kanan.

Sayangnya Alexander tidak punya hak untuk datang secara paksa atau meminta Amor mengatakan kebenarannya. Mereka memang sudah berteman cukup lama, akan tetapi Alexander paham akan batasan. Terlalu ikut campur ke dalam masalah orang lain bisa menjadi tindakan buruk. Selain itu dirinya juga tidak ingin Amor semakin tersakiti jika ia hadir untuk memberikan pembelaan.

"Amor." Allard terkekeh. "Dia gadis yang menjadi ciuman pertamamu, bukan?"

"Allard, topik pembicaraanmu jelek sekali," tegur Austin namun sialnya juga ikut terkekeh.

"Kau benar. Dia ciuman pertamaku."

Saat hari itu terjadi, usia mereka masih sebelas atau dua belas. Begitu spontan dan cepat. Bibir keduanya hanya bertemu kurang dari lima detik. Alexander sendiri tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan sampai-sampai nekat mencium Amor.

"Aku juga yakin itu yang pertama baginya," imbuh Alexander.

"Percaya dirimu meningkat pesat ya, Mr. Peterson. Apa kau pernah tertarik padanya?"

"Aku bersungguh-sungguh." Alexander diam sejenak, merasakan kepalanya sempat berputar karena mengingat kejadian lampau. "Ya, kurasa aku pernah."

Bagi Alexander ciuman kala itu tidak mengartikan banyak hal. Mungkin dirinya sempat tertarik, Amor adalah gadis yang cantik. Namun cukup sampai di sana. Setelahnya semua terasa biasa saja. Berbeda dengan apa yang ia rasakan pada Leanore, Hailexa, bahkan Teresa.

Suatu hari Alexander pernah bertanya pada Amor, apa gadis itu pernah tertarik padanya. Dengan tegas dia menjawab tidak. Amor memang mengakui jika dirinya bukan laki-laki yang cukup untuk ditatap satu kali saja, namun hal itu tidak sampai membuatnya tertarik. Jawaban yang menyebalkan tetapi Alexander cukup senang dan tidak keberatan sama sekali.

"Tetapi cukup sampai di sana. Setelahnya tidak ada apa pun," ucap Alexander buru-buru sebelum kedua temannya salah tangkap.

"Santai saja. Wajahmu tidak perlu memerah seperti itu."

"Allard, hentikan gurauanmu," tegur Austin untuk kedua kalinya. "Tidak Alex, wajahmu tidak memerah."

Alexander memutar bola mata lalu mengosongkan isi botolnya. Ia baru akan kembali melangkah ke sudut ruangan, namun panggilan dari Austin menghentikannya.

"Alex, tahan dulu. Minum nanti saja, setidaknya setelah makan malammu habis."

"Huh?" Satu alisnya terangkat. "Aku tidak boleh mengambil air mineral?"

Austin mengusap wajahnya kesal. "Air mineral, bukan yang lain. Bawakan juga untukku dan Allard."

Bersamaan dengan itu terdengar suara ketukan dari pintu. Austin sedikit berteriak, mempersilakan siapa pun yang ada di baliknya untuk masuk.

"Aku melihat ada mobil Alexander di bawah. Apa dia—oh, di sana kau rupanya."

"Dad!" sahut Alexander dengan ekspresi wajahnya yang kebingungan.

Bukan hanya kari udon saja yang datang, melainkan Terry bersama Reiji yang entah punya tujuan apa. Allard berusaha keras untuk menahan tawanya ketika mendapati Terry sedang memperhatikan Alexander begitu lekat. Pria itu seperti sedang mencari tahu sesuatu di balik raut yang ditunjukkan oleh putranya.

"Sudah berapa banyak yang dia minum?" tanya Terry pada Austin dan Allard.

"Tiga, jika hitunganku tidak salah," jawab Austin.

"Kalian awasi dia."

Giliran Allard yang menjawab, "Ya, Uncle Terry. Kau tidak perlu cemas."

"Dad, sedang apa kau di sini? Aku belum ingin pulang. Mommy juga sudah tahu aku bersama dengan Allard dan Austin. Jangan menggangguku!"

"Aku pastikan dia menginap di sini. Jika memang harus pulang sopirku akan mengantarnya," bisik Reiji pada Terry.

Terry mengangguk pelan, mempercayakan Alexander pada Reiji. "Nak, dengar. Apa yang kulakukan di sini bukan urusanmu. Aku juga tidak akan mengganggumu atau mengajakmu untuk pulang. Lanjutkan saja, asal ingat batasan dan jangan menyusahkan teman-temanmu," tuturnya sebelum menutup pintu dan pergi.

Alexander mengambil tempat di hadapan Austin. Senyumnya mengembang ketika menatap kari udon dengan potongan katsu di atasnya. Jika sudah seperti ini rasa penuh yang sempat melanda perutnya mendadak hilang.

"Alex, boleh aku bertanya?" celetuk Allard di tengah-tengah sesi makan.

Alexander menjawab tanpa suara, hanya dengan anggukan kepala.

"Kau dan Hailexa, sudah sejauh mana?"

"Aku dengannya," Alexander terdiam selama beberapa saat, mencoba memutar ulang memorinya bersama Hailexa. Tiba-tiba saja ia tertawa geli. "Kami sudah tidur bersama lebih dari sekali. Kau tahu, bukan tidur dalam artian sebenarnya."

Austin menepuk dahi, sementara Allard menganga lebar usai mendengar jawaban Alexander. Lelaki itu benar-benar mabuk sekarang.

"Sial, bukan itu jawaban yang kuharapkan. Aku tidak peduli kau sudah bercinta atau belum dengannya. Beri aku jawaban lain," sambar Allard yang merasa kesal.

"Maksud Allard, apa kalian sekarang berpacaran, atau yang lain. Semacam itu," tambah Austin yang berusaha untuk tetap sabar.

Bahu Alexander merosot kala mengingat soal Hailexa. Hubungan yang mereka bangun saat ini tidak punya kejelasan. Alexander sendiri bingung bagaimana harus bersikap. Satu sisi ia ingin mencoba untuk serius, namun di sisi lain ia masih ingin mencari tahu kebenaran tentang gadis itu.

"Tidak berubah. Aku hanya mengatakan, jika aku menyukainya. Di lain hari dia berkata jika aku sudah mendapatkan hatinya. Bukankah ini rumit?"

"Bagian mana yang kau sebut rumit?" tanya Austin.

Ah, Alexander tidak bisa katakan kepada dua temannya jika ia menaruh rasa curiga pada Hailexa. Belum untuk saat ini, mungkin nanti. Ia masih ingin mencari tahu seorang diri.

"Rumit. Aku takut untuk mengambil tindakan." Alexander tidak sepenuhnya berbohong. Kekecewaannya di masa lalu masih sering menghantui. Ia perlu hati-hati agar tidak terjatuh untuk kedua kalinya.

"Aku tahu kau butuh waktu, tapi jangan pernah mempermainkannya. Di mataku dia adalah gadis baik yang mungkin bisa membuatmu bahagia." Allard menyingkirkan mangkuknya yang sudah kosong. Dia meraih gelas yang berisi air dingin dan meneguknya hingga tandas, sebelum kedua matanya menatap serius pada Alexander. "Kau sudah mencintainya?"

Alexander berpikir keras untuk menjawab pertanyaan Allard. Hatinya berteriak jika sudah jatuh terlalu dalam untuk Hailexa, rasa cintanya tak lagi dangkal. Akan tetapi lidahnya terlalu kelu untuk berucap. Entah mengapa Alexander merasa jika dirinya sedang tak sinkron.

Seharusnya bukan hal sulit untuk mengatakannya. Berkaca dari bagaimana dirinya mengagumi gadis itu, menyukai setiap tindakannya, detak jantungnya yang cukup kencang, serta bagaimana Alexander menyayanginya, menjadi cukup bukti jika ia mencintai Hailexa. Sialnya semua perasaan ini seperti ditahan oleh rahasia-rahasia yang belum terungkap.

"Aku sedikit ragu atas perasaanku. Kalian tahu, sedikit sulit bagiku untuk memulai kembali setelah kejadian itu. Tapi dari seluruh hal yang kualami, kurasa aku mencintainya."

"Kau serius?"

Alexander bangkit dari kursinya, berjalan ke arah balkon. Angin malam yang dingin kini menerpa wajahnya. Alexander meraih ponsel dari saku celana, melihat foto-foto serta video singkatnya bersama Hailexa yang tersimpan rapi di galeri. Sudut bibirnya terangkat, hatinya kini menghangat.

"Ya. Aku serius," ujarnya final.