Alexander mengalungkan sebelah lengannya pada leher Hailexa. Mereka baru saja keluar dari bioskop usai menghabiskan waktu lebih dari dua jam menonton film. Berhubung lokasi yang dekat dengan apartemen Hailexa, berjalan kali dijadikan alternatif untuk untuk pergi dan pulang.
Lengan Alexander menarik Hailexa agar mendekat ketika gadis itu mulai membuat jarak.
"Kau memeluk leherku terlalu kuat," protesnya.
"Maka jangan menghindar dariku."
"Ck! Seperti tidak bertemu setahun saja." Kepala Hailexa mendongak, sehingga bisa menatap Alexander dengan mudah. "Kau masih lapar? Ingin pesan sesuatu setelah sampai di apartemen?"
"Kau punya saran?"
"Seafood? Kebetulan aku sedang ingin makan sup."
Alexander mengangguk cepat. Ia tak masalah apa pun menu makanannya, yang terpenting rasa laparnya bisa hilang.
Masih beberapa meter lagi sebelum mencapai kompleks apartemen. Alexander dan Hailexa terus berjalan tanpa saling bicara. Mereka sibuk dengan pemikiran masing-masing. Meskipun begitu Alexander merasakan jemari Hailexa yang sedang mengusap dan menggenggam lengannya yang dikaitkan pada leher. Dia bahkan sesekali mendaratkan kecupan hangat di sana.
Diamnya Alexander kali ini tentu bukan tanpa alasan. Selain menikmatinya, ia juga sedang berusaha menahan senyuman di bibirnya. Alexander akan malu jika sampai Hailexa memergoki dirinya sedang tersenyum layaknya orang bodoh.
Di tengah-tengah momen manis ini, langkah kaki mereka mendadak terhenti ketika hampir melewati kelab malam. Di depan sana ada dua orang—mungkin sepasang kekasih yang sedang terlibat pertengkaran. Si laki-laki marah dan berteriak, sementara si perempuan yang berdiri membelakangi Alexander dan Hailexa terdengar sedang menangis sesenggukan.
"Kau tahu, akan terasa canggung jika kita lewat begitu saja," bisik Alexander.
"Sebenarnya aku merasa kasihan, namun ucapanmu ada benarnya. Bagaimana jika kita menyeberang?"
"Ya, boleh. Kuharap tidak ada tindak kekerasan nantinya."
Baru sempat Alexander membalik tubuhnya, suara parau si perempuan tadi berhasil mengusik telinganya.
"Aku mencoba untuk bertahan, menerimamu dengan sepenuh hati. Namun ini balasannya?"
Sudah jelas, Alexander tidak salah lagi. Ia sangat mengenal suara itu. Tanpa perlu pikir panjang Alexander segera berlari menghampiri sepasang kekasih.
"Cih, kau 'kan tahu jika hubungan ini hanya bisnis semata."
"Tapi bukan berarti kau bisa mengencani seluruh gadis di kelab dan melarangku untuk pergi dengan laki-laki lain. Ini tidak adil. Aku juga ingin bahagia."
"Omong kosong. Buang jauh-jauh pikiranmu. Dengar, kau hanya akan berakhir denganku."
"Christian, sakit," ringis gadis itu ketika Christian mencengkeram erat lengannya.
Alexander yang terlalu geram langsung mendorong tubuh Christian hingga laki-laki itu jatuh di atas aspal. Rahang Alexander mengeras, kedua tangannya terkepal, sementara napasnya berembus dengan berat.
"Kau! Punya otak atau tidak? Menyakiti gadis sepertinya tidak akan membuatmu terlihat kuat. Bajingan ini. Dia bukan milikmu, kau tak berhak untuk mengatur hidupnya."
"Sialan. Aku tak mengenalmu. Jangan ikut campur urusan kami!"
"Aku memang tidak mengenalmu, tetapi aku mengenalnya." Alexander menunjuk gadis di belakangnya. "Jika kau menyakitinya maka itu jadi urusanku. Ayo kita pulang. Aku akan bicara pada ayahmu sehingga kau tak perlu lagi bertemu dengannya. Hubungan gila ini harus diakhiri."
Sialnya perhatian Alexander sempat teralih sesaat. Hal ini dimanfaatkan oleh Christian untuk menyerang. Alexander terjatuh dan Christian melayangkan beberapa pukulan tepat di wajah serta perutnya.
Ketika Alexander merasakan ada darah di sudut bibirnya, ia segera bangun dan menukar posisi, berganti menghajar Christian. Namun baru beberapa pukulan saja, tangannya berhasil ditahan sehingga tidak bisa kembali meluapkan amarahnya.
"Alex Alex, kumohon berhenti." Tubuh Alexander ditarik menjauh, sementara Christian tampak sedang meringis menahan luka. "Cukup. Aku baik-baik saja."
"Baik dari mana, Amor? Dia menyakitimu dan aku tidak bisa terima itu. Mana bisa aku melihatmu terluka. Aku ingin kau bahagia dengan pilihanmu. Pulanglah denganku setelah ini."
"Aku tahu niatmu baik dan terima kasih untuk itu. Tapi aku tidak ingin menyeretmu lebih dalam. Kumohon mengertilah. Sekali ini saja. Percaya padaku, akan kuatasi semuanya. Cepat pergi sebelum Christian kembali menyakitimu."
"Hubungi aku jika dia berbuat kasar lagi. Dan kau," Alexander menunjuk Christian, "jaga sikapmu. Sekali lagi aku melihatnya menangis, aku akan membuatmu berakhir di ranjang rumah sakit lalu menjauhkannya darimu."
Alexander berjalan ke arah Hailexa. Gadis itu tampak kebingungan dengan apa yang baru saja terjadi. Sembari menahan rasa sakit di tubuhnya, Alexander berucap pelan dan mengajak Hailexa untuk segera pergi.
Setibanya di apartemen, Alexander langsung meminta bantuan Hailexa untuk mengurus lukanya. Ia duduk di atas ranjang, sementara Hailexa berada di pangkuannya dengan posisi menyamping.
"Akh. Damn it," umpatnya saat Hailexa membersihkan sudut bibirnya.
"Kau ini. Aku tahu maksudmu baik, namun kenapa harus sampai membuatmu terluka."
Alexander menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang. "Mana bisa aku diam saja." Ia meraih pergelangan tangan Hailexa, menahan gadis itu agar tidak melanjutkan aksinya. "Biarkan dulu. Nanti aku akan mengobatinya sendiri. Ini tidak terlalu parah."
Hailexa memundurkan tubuhnya ketika teringat keluhan Alexander. Tangannya bergerak menaikkan kaus lelaki itu. Benar saja, ada memar di bagian perut.
"Jangan cemaskan aku. Sungguh ini tidak sebanding dengan apa yang gadis itu dapatkan."
"Beberapa jam lagi pasti akan lebih sakit dari sekarang," ujar Hailexa sambil mengusap luka memar dengan lembut. "Temanmu tadi itu, apa dia Teresa?"
Mata Alexander sontak membulat, tak menyangka Hailexa akan bertanya seperti ini. "Bukan. Namanya Amor. Jarak rumah kami cukup dekat, maka dari itu aku mengenalnya," jelas Alexander. Ia menarik napas sejenak, jari telunjuknya menyelipkan helaian rambut Hailexa ke belakang telinga. "Aku, belum pernah mengatakan soal Teresa padamu."
"Hm."
Alexander menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Hailexa. Ia memejamkan mata, kembali mengingat-ingat kejadian di masa lampau. Ada beberapa alasan yang membuatnya bungkam, salah satunya Alexander tidak ingin dikasihani.
"Aku sangat ingin menceritakannya padamu. Namun sepertinya belum untuk saat ini. Maaf."
Perasaan Alexander berubah tenang ketika Hailexa mendekap tubuhnya erat. Gadis itu diam, tak bicara apa pun. Jemarinya bergerak menyisir rambut Alexander naik turun.
"Terima kasih karena sudah mengerti," bisik Alexander lalu memberikan kecupan pada leher serta pipi kiri Hailexa.
"Kalau boleh aku jujur, semua hal tentangnya sempat menggangguku, membuatku penasaran. Namun kini aku mengerti, ada banyak hal yang tidak bisa dikatakan dengan buru-buru." Hailexa menarik diri. Kedua tangannya digunakan untuk menangkup wajah Alexander. "Aku belum pernah bertemu orang sepertimu. Dan sekarang aku merasa beruntung. Ingin rasanya aku menciummu sekarang."
Sebelah alis Alexander terangkat. "Kenapa tidak kau lakukan?"
"Lalu setelahnya bibirmu akan robek." Hailexa tertawa kencang. Mengejek lebih tepatnya. "Masih ingin makan malam?"
Alexander menggeleng. "Sudah tidak bernafsu. Kau pesan saja, aku akan menemanimu makan."
"Aku tiba-tiba merasa kenyang. Mungkin akan minum susu atau makan buah di belakang. Ingin kubawakan sesuatu?" tanya Hailexa ketika turun dari pangkuan Alexander.
"Air mineral dingin saja."
Hailexa melangkah keluar dari kamar. Alexander terdiam di atas ranjang, mengamati memar pada perutnya serta luka gores pada punggung tangan. Ah, kenapa dirinya baru menyadari jika punya luka gores. Alexander berteriak, "Hailexa, kau punya plester luka atau tidak?"
Meski samar-samar, Alexander masih bisa mendengar suara balasan dari Hailexa. "Coba lihat di atas meja atau laci kamar mandi."
Alexander bangkit dari ranjang dan berjalan menghampiri meja. Ia meneliti setiap sudutnya namun tetap tidak menemukan plester. Sebelum beranjak menuju kamar mandi, Alexander mencoba untuk membuka laci kecil yang ada di sisi meja, mungkin saja plesternya disimpan di sana.
Dugaannya sangat tepat, Alexander menemukan plesternya. Akan tetapi kini matanya benar-benar mengabaikan tumpukan plester di dalam sana. Alexander menelan ludah, bibirnya terbuka lebar saat ia menemukan benda keras berwarna hitam yang disimpan dengan rapi. Sebuah pistol.
Alexander mengetukkan ujung jarinya, pistol ini asli. Ia buru-buru menutup laci dan menoleh ke arah pintu, memastikan Hailexa tidak di sana. Alexander menyugar rambutnya, sebelum ia melangkah cepat menuju kamar mandi.
Di depan cermin Alexander sedang berpikir keras. Untuk apa Hailexa menyimpan hal semacam itu? Ada dia sudah memiliki izin? Apa mungkin pistolnya ilegal? Shit! Seluruh pertanyaan menakutkan terus memenuhi kepalanya. Gadis itu bukan seorang pelaku kriminal 'kan?
Tidak. Hailexa bukan orang seperti itu. Ada satu hal yang Alexander percayai saat ini. Keberadaan buku-buku kala itu, perjalanan ke perpustakaan yang tutup serta pistol di laci Hailexa sudah pasti berhubungan.
"Alex. Sudah kau dapatkan plesternya?"
Pemikiran Alexander pecah saat Hailexa tiba-tiba masuk ke kamar mandi.
"Belum. Aku tidak melihatnya di atas meja. Di laci kamar mandi juga tidak ada."
Hailexa keluar kemudian berjalan mendekati meja. Alexander mengamati dari ambang pintu kamar mandi. Saat gadis itu membuka laci mejanya, Alexander mencoba untuk mendekat. Sesuai dugaannya, laci meja langsung ditutup dengan cepat.
"Ini," ujar Hailexa sembari menyerahkan dua buah plester.
Alexander menerima pemberian itu dan berpura-pura tidak sedang terjadi apa pun.
"Kau menginap 'kan malam ini?"
"Ya. Besok aku akan mengantarmu ke universitas. Sejak awal kita bertemu, aku belum pernah mengantarmu ke sana. Pagi-pagi sekali aku akan kembali ke apartemen untuk mengambil pakaian lalu menjemputmu."
Alexander memperhatikan ekspresi Hailexa yang tampak bingung sekaligus tegang. Gadis ini jelas menyembunyikan sesuatu dan sekarang waktunya Alexander untuk mencari tahu.