Chereads / THE SECRET AGENT! / Chapter 10 - Merekrut Anggota Baru

Chapter 10 - Merekrut Anggota Baru

Ini pukul sepuluh malam. Allard baru pulang dari rumah Alexander lima menit lalu. Kehadiran Allard membuatnya harus membersihkan sampah makanan serta minuman yang mereka ciptakan. Usai mejanya bersih, Alexander mengambil potongan pizza terakhir, melahapnya, lalu membuang kotak pizza ke tempat sampah.

Di tengah keadaan dapur yang sunyi dan gelap, tubuh Alexander berdiri tegap. Napasnya bergerak naik turun. Di kepala Alexander berputar seluruh percakapan yang ia bangun bersama Allard beberapa waktu lalu.

"Bukan maksudku meledekmu, hanya saja aku merasa jika kau terlalu takut untuk memulai."

"Beberapa kali kau berkata jika sudah melupakannya. Namun aku tahu, kenyataannya dia masih suka datang di pikiranmu."

Allard benar, Alexander tidak bisa mengelak perkataannya.

Ketakutan berlebih, trauma, dan segala pikiran negatif, sering kali menghantui Alexander. Rasa cintanya pada sang mantan kekasih sudah benar-benar hilang. Akan tetapi pengaruh buruk yang didapatkan seolah tidak ingin lepas. Setiap kali namanya terlintas, Alexander merasakan emosinya tersulut. Kenapa kenangan buruk ini harus menetap di kepalanya?

Langkah kaki Alexander terhenti ketika melintas di depan kamar orang tuanya. Dilihat dari celah kecil di bagian bawah pintu, lampu kamar masih menyala. Itu mengartikan jika penghuninya belum tidur. Alexander meraih gagang pintu dan mencoba untuk membukanya. Tidak dikunci. Tak perlu pikir panjang, Alexander segera masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

"Terry—Alex. Sudah berapa kali Mommy ingatkan untuk mengetuk pintu. Beruntung hanya Mommy di sini. Jika Daddymu ada, dia sudah pasti mengoceh."

Cengiran geli Alexander terurai. "Maaf. Ini yang terakhir. Mungkin," ujarnya tidak yakin.

"Sudah berapa kali kalimat itu terucap? Ada apa, Sayang? Nicholla baru saja menelepon. Dia sedang menata ulang apartemennya."

Dua hari setelah kembali dari Positano, Nicholla langsung kembali menuju Seattle. Gadis itu tidak punya banyak waktu untuk tinggal di Italia sebab ini belum memasuki masa liburan.

Alexander merebahkan diri di sebelah Emma dengan posisi telungkup. Dalam beberapa menit Alexander hanya diam. Suaranya baru terdengar ketika telapak tangan Emma mengusap kepalanya lembut.

"Mom," panggilnya lirih.

"Parta, bukannya bermaksud lancang. Mommy sempat mendengar percakapanmu dengan Allard. Apa itu yang membuatmu jadi kurang bersemangat seperti sekarang?"

Alexander mengangguk lemah dengan matanya yang tertutup. "Apa aku salah, Mom?"

"Kau tidak salah, Sayang. Mungkin mudah bagimu untuk berkata jika tidak lagi mencintainya. Akan tetapi rasa takut dan benci justru memilih untuk menetap. Terkadang hal seperti itu yang membuatmu sulit bangun dari masa lalu," jelas Emma dengan suaranya yang menenangkan.

"Lalu aku harus bagaimana? Aku tidak bisa melakukan saran Allard jika kejadian itu masih suka muncul di dalam mimpi."

"Maafkan segala perbuatannya, Alex. Cukup fokus dengan apa yang kau miliki dan apa yang ingin kau raih. Jangan biarkan hal buruk menghambat kehidupanmu. Berhenti membencinya. Itu hanya membuatmu semakin tersiksa."

Bibir Alexander tebuka lebar. Memaafkannya? Apa barusan telinganya tidak salah dengar?

"Mom, apa tidak ingat? Karenanya putra kesayanganmu ini harus terbaring di ranjang rumah sakit."

"Kau membuatku cemas setengah mati saat itu. Tapi Sayang, memaafkan kesalahan orang lain bisa menjadi solusi terbaik untuk mengatasi masalah yang dialami. Hidupmu akan jauh lebih tenang, tanpa beban. Percayalah."

"Percaya? Bagaimana bisa Mommy yakin sekali dengan cara ini?"

Emma terseyum. Ini tipe senyum yang mewakilkan sebuah keyakinan. Seperti pernah terjadi hal yang sama di masa lalu, dan bisa dilewati dengan baik. Alexander yang melihat senyum itu juga langsung merasakan kepercayaan dalam dirinya yang meningkat tajam.

"Seseorang sudah pernah mengalaminya. Ingat, memaafkan bukan berarti kau kalah."

"Itu pasti Daddy," tebak Alexander.

"Memang. Lain kali cobalah minta saran darinya."

"Tidak mau. Setiap kali aku meminta, Daddy selalu mengajakku untuk bertaruh terlebih dahulu. Aku bosan kalah, Mom," tolaknya mentah-mentah. "Mommy tidak pernah bercerita padaku tentang masa lalu Mommy dan Daddy."

"Untuk apa? Nanti. Ada saatnya kau tahu, atau mungkin tidak akan pernah tahu."

Alexander mengengus kesal. Sejak dulu selalu seperti ini. Ia hanya tahu jika orang tuanya pernah bekerja di tempat yang sama. Di New York persisnya. Sebatas itu. Nama tempat mereka bekerja, bagaimana mulanya, serta konflik apa yang pernah dialami, Alexander sama sekali tidak tahu.

"Mom, bagaimana jika kejadian yang sama kembali terulang? Bisa jadi lebih buruk."

"Setiap orang selalu mengalami saat-saat terburuk. Ketika dirimu menutuskan untuk jatuh cinta, maka harus siap dengan segala risikonya. Patah hati, kecewa, sedih, itu hal biasa. Bahkan seseorang bisa bertaruh nyawa hanya karena jatuh cinta. Jika berakhir buruk, lupakan dan belajar dari pengalaman."

Mendengar penuturan Emma membuat cara berpikir Alexander berubah. Mungkin ini saat di mana luka lama harus benar-benar ditendang menjauh. Alexander akan mencoba memaafkan, demi kehidupannya yang lebih tenang. Tidak ada lagi rasa benci, tidak ada lagi rasa takut.

Ketika rasa kantuk mulai datang, telinga Alexander menangkap suara pintu yang terbuka.

"Emma. Sedang apa dia di sini?"

Alexander tahu. Cepat atau lambat Terry pasti akan protes. Namun biarkan saja. Alexander sudah terlalu mengantuk dan tidak punya tenaga untuk pindah.

"Tanpa perlu bertanya seharusnya kau sudah tahu."

"Aku mengerti. Maksudku, bagaimana bisa—"

Emma menggeram, "Terry, kecilkan suaramu. Putraku baru saja tidur."

Dalam hati Alexander bersorak senang sebab merasa dibela. Ditambah lagi ketika sebuah selimut ditarik hingga menutupi sebagian tubuhnya. Jika merebut perhatian Emma dijadikan sebuah taruhan, malam ini Alexander menang.

Meskipun matanya terpejam, Alexander masih bisa mendengar suara Terry yang menggerutu panjang pendek. Terry rupanya tidak ingin menyerah. Telapak tangannya menepuk bahu Alexander pelan sebari berbisik memanggil nama sang putra.

"Alexander."

Diabaikan.

"Alex. Kau akan dapat mobil baru jika pindah sekarang juga."

Tetap diabaikan. Alexander tidak tertarik dengan mobil baru. Tidak butuh lebih tepatnya. Yang dibutuhkan saat ini hanyalah tidur dengan damai.

"Alexander. Maverick. Kau bisa minta apa pun."

"Terry berhenti membangunkannya."

"Bagaimana jika kita pindah ke kamar lain saja?"

"Tidak," tolak Emma tegas. "Kau saja yang pindah. Aku akan tidur di sini dengannya."

Terry menyerah. Usaha yang dilakukan sia-sia. Tubuh Alexander yang berada di tengah-tengah membuatnya sulit untuk memandang Emma. Namun mau bagaimana lagi. Putranya sudah bukan bocah sepuluh tahun yang mudah untuk dipindahkan begitu saja. Terlebih karena Alexander lebih tinggi darinya.

"Ada kabar jika mereka merekrut anggota baru," ucap Terry.

"Oh ya? Laki-laki atau perempuan?"

"Perempuan. Masih muda. Usianya mungkin setara dengan Alexander."

Emma terkekeh. "Menarik. Strategi macam apa yang mereka gunakan sekarang? Aku penasaran. Kau tahu siapa dia?"

"Tidak. Suatu hari nanti kita akan tahu dengan sendirinya. Hanya perlu menunggu," jawab Terry enteng sebelum mematikan lampu kamar dan pergi tidur.