Suara nyaring terdengar, tepat setelah Hailexa melakukan gerakan patahan untuk lehernya yang terasa pegal. Dari pagi sampai siang, Alesya memberinya pekerjaan untuk mencatat sesuatu. Hailexa terlalu banyak menunduk tadi. Lalu sekarang hal yang sama harus terulang.
Hari ini Vanya sakit, sedangkan daftar pengeluaran untuk kebutuhan kafe belum tercatat dengan rapi. Dari beberapa orang yang sedang ada shift, hanya Hailexa yang paham mengenai keuangan kafe. Jadi mau tidak mau Hailexa harus menggantikan pekerjaan Vanya. Di mana dirinya harus kembali menunduk, menatap kertas dalam waktu yang lama.
Hailexa sedikit terlonjak. Gadis ini menggeser sedikit tubuhnya, dikala sebuah tangan menyentuh lehernya perlahan. Dalam keadaan ragu, Hailexa memberanikan diri untuk menoleh dan tersenyum kaku.
"Masih banyak?"
"Hah?" gumam Hailexa yang masih belum seratus persen mampu mencerna keadaan.
"Apa masih banyak?" tanya Alexander lagi. Laki-laki itu bertanya tanpa menatap Hailexa. Pandangannya jatuh pada secangkir kopi panas, sementara satu tangannya sibuk mengaduk. "Aku dengar suara retakan lehermu itu. Jika lelah, sebaiknya berhenti," tambahnya.
Bibir Hailexa tertutup rapat. Satu tangan Alexander yang masih berada di lehernya, menjadi penyebab utama bibirnya tidak bisa terbuka. Ditambah lagi ketika tangan itu bergerak, memberikan pijatan lembut.
Rasa-rasanya Hailexa tidak pernah disentuh seperti ini. Mungkin pernah, namun oleh orang tuanya. Untuk orang lain, terlebih seorang lelaki, Hailexa tidak ingat jika ada kejadian yang sama. Satu-satunya hal intim yang pernah dilakukan sebelum bertemu Alexander hanyalah berciuman. Kapan pastinya itu sudah lama sekali.
Bukannya tidak nyaman dengan perlakuan Alexander, akan tetapi ini tempat umum. Hailexa takut jika seseorang mengawasi perbuatan mereka melalui kamera pengawas.
"Kau besok libur, 'kan? Gunakan untuk istirahat. Lehermu terlihat tegang. Sebenarnya apa saja yang kau lakukan di kampus?"
"Menulis. Hanya menulis," jawab Hailexa cepat lalu menyentuh pergelangan tangan Alexander. "Alex, aku ingin mengajakmu untuk menonton film hari ini." Hailexa tahu ini adalah pengalihan yang bodoh. Namun menonton film adalah satu-satunya hal yang terlintas.
Alexander menarik tangannya. Hailexa bernapas lega.
"Apa tidak lelah? Lagi pula kita belum memesan tiket."
"Tidak, tidak. Di apartemenku saja. Maksudku," Hailexa sedikit kebingungan, "saat ini aku sedang jenuh dan butuh teman untuk bicara."
"Kau butuh teman untuk bicara tetapi mengajakku menonton film? Kita akan abaikan filmnya karena terus bicara. Kau lucu sekali, namun ya sudah, aku akan ikut. Kemasi barangmu sekarang."
Masih dengan suara yang terbata-bata, Hailexa pamit untuk pergi ke dapur. "Shiftnya berakhir lima belas menit lagi. Aku akan kembalikan buku ini," ujarnya kemudian pergi dengan langkah panjang.
Setibanya di apartemen, Hailexa buru-buru melepaskan sepatu serta jaketnya. Alexander menyusul di belakang, laki-laki itu baru selesai menjawab panggilan. Hailexa mencoba untuk tetap tenang meski sekarang sedang gugup. Gadis ini menoleh, tersenyum kecil pada Alexander.
"Aku akan ambil minum. Kau ingin apa?" tanyanya dengan suara yang bergetar.
"Air mineral saja. Berikan yang dingin jika ada. Lalu, Hailexa. Boleh aku menumpang untuk mandi?"
Hailexa tertawa renyah. "Kau tidak perlu bertanya. Gunakan yang ada di kamarku, fasilitasnya lebih lengkap." Kepala Hailexa berubah miring saat menyadari perubahan ekspresi di wajah Alexander. "Apa ada ucapanku yang salah?" tambahnya.
Alexander menggeleng cepat. "Tidak perlu. Aku masih bisa pakai yang lain," responsnya lalu melangkah pergi.
Hampir tiga puluh menit Hailexa berbaring di atas ranjang sembari menatap langit-langit. Alexander tidak kunjung datang, atau bahkan sekadar mengetuk pintu kamarnya. Hailexa menoleh, memandang pintu yang tidak tertutup dengan benar. Apa laki-laki itu belum sadar jika seseorang sedang menunggunya?
Hailexa yang geram, memutuskan untuk bangkit dan mencari Alexander. Senyum kesal di wajahnya muncul, saat mendapati Alexander duduk santai dan tertawa pada ponsel.
"Alexander. Aku menunggumu dan kau sibuk tertawa dengan ponsel."
"Kau?" Satu alis tebalnya terangkat. "Menungguku? Aku pikir kau sibuk di dalam sana. Jadi aku memberimu waktu."
"Payah sekali. Sudahlah, jangan buang waktu lebih lama."
"Tunggu Hailexa, tunggu. Kita tidak akan menonton film di sini?"
Hailexa menggeleng. " Di kamarku. Jadi jika nanti aku tertidur, kau tidak perlu repot untuk membawaku ke atas ranjang. Langsung pulang saja."
Alexander berkacak pinggang. Mulutnya terbuka lebar. "Kau tidak bercanda? Maksudku, kamar tidur adalah ruangan pribadi dan—"
"Apa yang kau cemaskan?" potong Hailexa. "Bukankah ini hal biasa?" Hailexa tidak mengerti, kenapa Alexander jadi sekaku ini. Well, kamar hanyalah kamar. Hailexa tidak pernah keberatan untuk membawa teman masuk ke kamarnya, meski mereka baru berkenalan selama satu minggu. Dirinya bukan gadis bodoh yang tidak bisa membedakan orang baik dan berbahaya.
"Kau ingin pintunya ditutup, atau tetap terbuka?" tanya Alexander.
Bahu Hailexa bergerak. "Keduanya terlihat sama saja."
"Tunda filmnya sebentar. Ada yang ingin kubicarakan."
Tak butuh waktu lama bagi Alexander untuk berjalan mengitari ranjang. Laki-laki itu duduk di sisi yang jauh dari Hailexa serta membelakanginya. Tatapan Alexander mengarah pada jendela yang tertutup tirai.
"Aku...," lanjut Alexander lirih. "Mungkin cara berpikir kita berbeda. Kau boleh menganggapku kuno atau semacamnya. Tapi prinsipku, jika seseorang memberimu izin untuk masuk ke kamarnya, itu berarti dia percaya padamu. Kau melakukannya. Apa kau benar-benar yakin padaku, Hailexa?"
Suara tawa kecil mengudara. Hailexa merangkak mendekati Alexander kemudian menyentuh punggungnya. Alexander menoleh dengan raut wajahnya yang cemas.
"Alex biarkan aku bertanya. Jika aku datang ke tempatmu, apakah kau akan mengizinkanku untuk masuk ke kamar tidur?"
Kepala Alexander mengangguk cepat. "Aku bisa membawa masuk seseorang yang baru kukenal selama kita punya tujuan yang jelas. Mengerjakan tugas kelompok misalnya. Kau, kalimat Alexander terhenti. "Aku pernah berkata jika aku menyukaimu." Alexander menunjuk dadanya sendiri. "Kau punya tempat di sini. Aku percaya padamu. Jadi bagaimana bisa aku melarangmu masuk," ungkapnya.
"Dari jawabanmu saja sudah cukup untuk menjelaskan semuanya."
"Hailexa, kau tidak sedang mencoba mengatakan jika kau menyukaiku 'kan?"
Hailexa tertawa kencang karena Alexander berusaha mengalihkan pandangannya. Ini mungkin sedikit nekat, namun Hailexa sengaja menggoda Alexander dengan memeluk lehernya dari bekalang.
"Kurasa semua orang menyukaimu, Alex."
"Jangan menggodaku dengan cara seperti ini, Hailexa. Kau mahasiswa Sastra Inggris. Akan lebih tepat jika kau bicara kalimat-kalimat manis dan indah," usul Alexander yang masih belum memiliki nyali untuk menatap di belakangnya.
Hailexa berdeham. Mahasiswa Sastra Inggris katanya. "Dengan kalimat sederhana saja kau sudah tidak bernani menatapku. Apa jadinya dengan kalimat yang lebih romantis? Lagi pula aku tidak akan pernah melakukannya. Sekarang pilih film yang kau inginkan, sementara aku pergi mandi."
Tepat setelah pintu kamar mandi tertutup, Hailexa mengepalkan tangannya lalu meninju pelan ke arah dinding. Bagaimana bisa seharian ini Alexander berhasil melambungkan perasaannya setinggi langit. Dalam satu waktu jantungnya dibuat berdebar, setelah itu hatinya menghangat, dan di waktu lain Hailexa merasa sangat disayangi.
Dua puluh menit kemudian Hailexa keluar dengan wajah yang lebih segar. Bukan sapaan yang gadis ini dapatkan, melainkan Alexander yang sudah tertidur pulas. Televsinya menyala, menayangkan sebuah film namun tidak ada yang menontonnya.
"Astaga. Aku baru meninggalkannya sebentar," bisik Hailexa pada dirinya sendiri.