Chereads / THE SECRET AGENT! / Chapter 19 - Tidak Semua Hal Bisa di Ungkapkan Begitu Saja

Chapter 19 - Tidak Semua Hal Bisa di Ungkapkan Begitu Saja

Perasaan mengganjal terus berputar di dada Alexander. Setiap kali ia sedang melakukan sesuatu, pasti ada jeda di mana dirinya terdiam dalam beberapa detik. Hal ini jelas cukup menganggu. Pekerjaannya jadi jauh lebih lambat.

Sumber masalahnya ada pada dua buku milik Hailexa. Beberapa kali Alexander berpikir untuk tidak lagi berurusan dengan hal pribadi Hailexa. Akan tetapi selalu gagal. Rasa penasaran menariknya semakin kuat.

Alexander mulai muak karena pertanyaan-pertanyaannya terus tertahan. Namun ketika akan mengatakannya, kebaranian yang sudah terkumpul mendadak hilang terbawa angin. Alexander tidak ingin jika Hailexa merasa jika dirinya sudah melanggar privasi. Setiap orang di dunia ini punya hak untuk belajar apa pun. Termasuk Hailexa.

Tubuh Alexander tersentak saat sebuah tangan menepuk lengannya. "Ada apa Hailexa?" lontarnya setelah berdeham.

"Kau melamun lagi. Ada apa? Ingin menceritakannya padaku?"

"Aku baik-baik saja. Terima kasih sudah bertanya." Alexander melangkah pergi, sedikit menghindari Hailexa. Sayangnya gadis itu justru mengekor.

"Alex, kau bekerja di sini?"

Baik Alexander atau Hailexa sama-sama menoleh ke sumber suara. Seorang gadis dengan potongan rambut pendek melambaikan tangannya dari balik kasir.

"Biar aku yang ambil alih kasirnya," pinta Alexander pada pegawai lain. "Lama tidak melihatmu. Apa kabar?"

"Baik. Sangat baik. Kau sendiri?"

"Seperti yang kau lihat. Aku bahagia. Ingin pesan sesuatu, Nona Judith yang terhormat?"

Gadis yang dipanggil Judith itu mencubit lengan Alexander pelan. "Kau tidak berubah ya. Berikan aku makanan manis, dibawa pulang, untuk dua orang," titahnya.

"Akan siap kurang dari lima menit. Grace, bisa kau membatuku untuk mengurus pembayarannya?"

Alexander mengambil beberapa jenis dessert dan memasukkannya ke dalam kotak. Berhubung Judith merupakan temannya semasa kuliah, Alexander sengaja menyelipkan pesan singkat yang ditulis di atas kertas. Isinya tidak terlalu penting. Hanya ejekan manis namun akan membuat gadis itu naik darah.

"Teresa sebentar lagi akan menikah. Kau pasti datang 'kan? Jika tidak punya teman, datanglah denganku."

"Lalu esoknya wajahku akan lebam karena ulah kekasihmu," tukas Alexander.

"Tapi kau pasti datang 'kan?"

"Aku saja belum tahu dia akan mengundangku atau tidak."

"Teresa akan mengundangmu. Datanglah. Aku tahu kalian berpisah dengan cara kurang baik, tetapi—"

Alexander menyela, "Bisa kita tidak bicarakan ini, Judithku tersayang?"

"Berhenti menyebutku dengan panggilan menjijikkan itu, Alex! Jangan sebut soal mantan kekasihku lagi."

"Kalau begitu, perlakukan aku sama seperti yang kau inginkan."

Judith mengangguk berulang kali. "Maaf, aku sudah kelepasan. Kita berdua pernah melakukan kesalahan dan hal bodoh di masa lalu. Sekarang saatnya melupakan itu. Kita berjuang bersama, bagaimana?"

Bola mata Alexander bergerak memutar. Judith dengan kata-kata bijak yang terkadang suka dilupakan. "Terserah kau saja. Sekarang bayar," tagihnya sedikit galak.

Tepat setelah Judith pulang, shift kerja Alexander juga berakhir. Laki-laki itu melepaskan apronnya sambil berjalan menuju ruang istirahat. Ketika pintu dibuka, Alexander menemukan Hailexa sedang duduk sambil memainkan ponselnya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Alexander dengan satu alis yang terangkat.

"Hanya mengecek apakah ada tugas yang belum dikumpulkan."

Alexander mengambil tempat di sebelah Hailexa. "Aku senang kau memperhatikanku. Percayalah, aku baik-baik saja," ujarnya untuk meyakinkan. "Kau terlihat cantik hari ini." Hailexa mengalihkan pandangan, dan Alexander tahu itu. "Aku bicara padamu, Nona," tegur Alexander.

"Simpan saja rayuanmu itu."

"Kau anggap ini rayuan? Jika dilihat dari ekspresimu, rayuanku berhasil bukan?"

"Tidak," jawab Hailexa tegas.

"Bagaimana dengan ini?" Alexander sengaja mendekatkan wajahnya, lalu mencium bibir Hailexa dengan lembut. "Sepertinya berhasil."

Napas Hailexa terengah-engah. "Kau curang," ungkapnya sebelum kembali menyatukan bibir mereka.

Seringai Alexander terbentuk tanpa Hailexa sadari. Gerakan bibir yang tadinya lembut, kini memiliki tempo lebih cepat. Melihat model pakaian Hailexa—dengan bagian perut sedikit terbuka, membuat Alexander berusaha keras menahan tangannya agar menerobos masuk.

Lidah mereka saling membelai. Hailexa bahkan sudah meremas ujung kaus Alexander erat-erat. Keadaannya berubah semakin panas ketika tangan Alexander membelai sisi luar paha Hailexa, sekaligus meremasnya pelan.

"Hailexa, pintunya tidak dikunci."

Saat itu pula aktivitas panas ini terhenti. Keduanya sama-sama berusaha mengatur napas.

Alexander membiarkan Hailexa keluar ruangan terlebih dahulu, sementara dirinya sibuk mengontrol senyum. Sebelum pulang ia menyempatkan diri untuk melihat kegiatan di dapur. Hailexa, Vanya dan Nyonya Marni tampak sibuk dengan sesuatu di dalam mangkuk.

"Vanya, kau harus mengaduknya dengan benar agar tidak ada tepung yang menggumpal."

"Nah, aku sudah mengatakannya, Alex," timpal Marni.

"Kenapa tidak pakai mixer? Tanganku pegal."

"Adonannya hanya sedikit. Berusahalah lebih keras."

Alexander menggeleng pelan menyaksikan keributan kecil ini. "Kemari, biar kutunjukkan," tawarnya mengambil alih mangkuk besar yang berisi adonan untuk soft cookies.

"Beberapa hal harus diperhatikan ketika membuat soft cookies, termasuk takaran dan kualitas bahan yang digunakan. Berbeda sedikit saja, hasilnya juga akan berbeda. Kurasa adonan ini terlalu banyak cokelat chips."

"Sesuai yang kukatan, Vanya."

Vanya mendengkus kesal, sedangkan Hailexa tertawa rendah.

"Akan lebih baik jika disimpan satu malam di dalam kulkas. Namun tidak masalah jika ingin segera tahu hasilnya." Alexander mengambil loyang yang sudah disiapkan sebelumnya. "Saat mencetak, pastikan ukurannya sama agar matangnya merata. Jangan lupa beri jarak sehingga saat mengembang tidak saling menempel."

"Kau sudah pernah membuat makanan ini sebelumnya?" tanya Vanya yang sedang berkacak pinggang. "Jika benar, seharunya kau bilang sejak awal. Aku benar-benar tidak tahan mengikuti instruksi sesuai resep."

"Sering."

"Alex benar-benar hebat soal urusan dapur," puji Hailexa diselingi kekehan kecil.

"Dan aku senang kau bekerja denganku," imbuh Marni.

Alexander baru bisa pulang setelah loyang dimasukkan ke dalam oven. Hailexa, gadis itu mengantarnya sampai ke depan mobil. Jam kerja Hailexa belum berakhir, akan tetapi dia menyuruh Alexander untuk langsung pulang tanpa perlu menunggunya.

"Mungkin suatu hari kau bisa jadi koki utama di restoran besar."

"Entahlah. Tetapi kurasa tidak. Dapur itu semacam hiburan bagiku. Kau yakin bisa pulang sendiri nanti?"

"Aku bukan bocah, Alex. Sudah sana pulang. Hari ini kau benar-benar membuat Nyonya Marni senang. Aku pun bangga denganmu."

Lengan Alexander terlipat di depan dada. "Aku juga senang. Hari ini kau memperhatikanku, menciumku, lalu memujiku. Jika kau ingin makan soft cookies, katakan saja. Dengan senang hati aku akan membuatkannya khusus untukmu."

"Sekarang pulang lalu istirahat."

Selama mengemudikan mobilnya, Alexander tidak bisa berhenti tersenyum. Setiap kalimat yang diucapkan Hailexa terus berputar di kepalanya. Alexander merasa seperti remaja yang baru pertama kali dimabuk cinta.

Senyum itu masih tidak bisa hilang setelah ia masuk ke restoran milik ibunya. Ini hampir masuk jam makan malam, jadi wajar saja jika suasananya sedang ramai. Saat tiba di dapur, kondisinya juga tak kalah sibuk. Telapak tangan Alexander melambai, menyapa beberapa orang yang dikenalnya.

"Mommy," panggilnya. "Ada yang bisa kubantu?"

"Seharusnya kau mengirim pesan jika ingin datang. Aduk ini sampai mendidih, lalu matikan apinya."

"Jadi aku tidak boleh datang secara tiba-tiba?"

Emma menggeleng. "Kau bisa datang kapan saja. Alangkah baiknya jika memberi tahu terlebih dahulu. Mommy bisa siapkan makan malam untukmu."

"Mom tahu tidak, seseorang memuji kemampuan memasakku."

"Ternyata ini alasannya kau terus tersenyum. Beberapa waktu terakhir juga jarang pulang ke rumah. Seseorang sudah berhasil menarik perhatian putraku. Bayiku sudah jadi laki-laki dewasa."

Alexander mengalungkan lengannya guna memeluk pundak Emma. "Aku akan selalu jadi bayi seperti yang Mommy inginkan," bisiknya geli. "Mom, kami saling menyukai. Aku bahkan ingin mulai mencintainya. Namun ada satu hal yang membuatku merasa jika dia menyembunyikan sesuatu. Kami memang baru mengenal, jadi belum banyak yang bisa diceritakan," ungkap Alexander atas hal-hal yang mengganjal hatinya.

"Kau bilang baru mengenal? Kalau begitu bersabarlah. Tidak semua hal bisa diungkapkan begitu saja. Memikirkan apa yang sedang disembunyikan, justru memukul perasaanmu untuk mundur. Lakukan hal yang sewajarnya, Parta."

Sepertinya Emma benar. Alexander seakan kelewat batas. Jika Hailexa memang siap menerimanya, maka hal yang bersifat pribadi akan terbuka secara perlahan. Gadis itu hanya ingin belajar. Kenapa dirinya justru berpikir terlalu jauh?

"Terima kasih, Mom. Aku benar-benar lega sekarang."

"Baguslah." Emma menepuk-nepuk punggung Alexander. "Sekarang cuci tangan lalu kita naik. Daddymu sudah datang dan menunggu di atas."