Alexander menurunkan sedikit kacamata hitamnya sehingga menggantung pada hidung. Cuaca Turin hari ini sedang terik. Minggu depan sekolah sudah memasuki libur musim panas. Tak heran jika kebanyakan siswa, termasuk Nicholla sengaja pulang terlambat karena harus menyelesaikan beberapa urusan sebelum libur panjang.
Di sinilah Alexander—bersama Austin dan Allard, menunggu Nicholla keluar dari gedung sekolah. Tiga puluh menit lebih mereka menunggu namun gadis itu tak kunjung keluar dan ponselnya tidak bisa dihubungi. Pada akhirnya Austin memutuskan untuk masuk dan mencari Nicholla.
Sebenarnya bukan tugas Alexander untuk menjemput Nicholla. Akan tetapi berhubung jam kuliahnya berakhir di waktu yang berdekatan dengan jam pulang sekolah, dengan berbaik hati ia menawarkan diri menjemput sang adik. Austin dan Allard juga ikut karena tadi pagi mereka berangkat bersama, setelah semalam menginap di rumah Allard.
Allard bersendawa pelan usai meneguk sekaleng soda. "Alex." Kalimatnya terjeda sebab lelaki itu kembali bersendawa. "Lihat Austin. Dia tidak bisa mengalihkan tatapannya dari Nicholla," sambungnya dengan mata yang memandang ke luar mobil.
"Aku tahu itu. Kau dan aku jelas tahu meski Austin tidak pernah mengaku."
Bantingan keras terdengar tak lama setelah Nicholla dan Austin tiba. Gadis itu membanting pintu sekaligus tas sekolahnya, lalu duduk di sebelah Austin dengan kedua lengan yang terlipat.
"Sial sial sial! Guruku meminta menyerahkan proyek seni paling lambat hari Selasa," oceh Nicholla.
"Itu berarti kau harus datang ke sekolah saat kebanyakan siswa lain sedang menikmati hari libur," sahut Allard yang melirik melalui kaca spion.
Alexander menambahi, "Masih ada tiga hari sebelum hari Selasa, Nicholla. Austin, sebelum kita pulang, bisakah kau berhenti memandangi adikku?"
Decakan kesal beserta pukulan pelan diberikan oleh Austin untuk Alexander. Allard menyusul tertawa setelahnya. Nicholla sendiri hanya diam tak peduli karena masih kesal dengan tugas sekolahnya.
Saat akan menyalakan mesin mobil, Alexander merasakan ada getaran dari ponselnya. Dahi laki-laki itu mengernyit, mendapati sebuah pesan singkat dari kakak perempuan Leanore, Amber. Berakhirnya hubungan Alexander dengan Leanore, tidak pernah memutus ikatan baik di antara mereka. Keluarganya ataupun keluarga Leanore masih saling akrab. Namun Amber bukan orang yang suka tiba-tiba mengirim pesan padanya. Alexander merasa aneh ketika hal ini terjadi.
Nicholla memiringkan kepala. Ia merasa ada yang tidak beres dengan Alexander. "Kau ini kenapa? Terlihat cemas," kata Nicholla.
Alexander tidak menjawab. Austin dan Allard yang juga menyadari perubahan Alexander, ikut menanyakan hal serupa. Akan tetapi tak kunjung ada jawaban.
Kecepatan mobil yang dikendarai kini lebih tinggi dari biasanya. Semua orang was-was, terlebih ketika rahang Alexander berubah tegang. Tidak ada yang buka suara sampai akhirnya mobil berhenti di depan lobi sebuah apartemen.
"Apa susahnya mengatakan kau ingin bertemu Teresa? Tingkahmu membuat kami panik, sialan!" gerutu Nicholla yang nyaris terbawa emosi. Harinya benar-benar kacau.
"Jika aku tidak segera kembali dalam lima belas menit, kalian pulang saja," pesan Alexander sebelum berlari meninggalkan mereka semua dalam keadaan heran.
Mata Alexander menangkap seorang perempuan yang sedang melambaikan tangan ke arahnya. Dia tersenyum sebentar, lalu kembali memperlihatkan ekspresi datarnya. Amber menarik pergelangan tangan Alexander, membawanya menuju lift.
"Aku baru tahu kau punya apartemen di sini. Sebenarnya ada masalah apa?" tanya Alexander cemas. Amber tidak mengatakan apa pun pada pesannya selain meminta Alexander untuk datang ke apartemen.
"Ya, baru satu minggu."
"Leanore ada di tempatmu? Dengar ya, kami sudah berakhir. Adikmu itu juga punya kekasih sekarang. Aku tahu kita masih berteman baik, tetapi jangan memintaku melakukan hal yang aneh."
"Aku bukan orang bodoh, Alex."
"Lalu kenapa—" kalimat Alexander terjeda bersamaan dengan pintu lift yang terbuka. "Kau tinggal di lantai yang sama dengan kekasihku. Apa kau mengenalnya? Namanya Teresa."
"Aku tahu. Sebelumnya aku pernah bertanya pada Leanore soal kabarmu. Dia mengatakan jika kau sudah punya kekasih baru sekaligus menunjukkan fotonya padaku. Alex, tujuanku membawamu kemari bukan karena Leanore. Dia bahkan tidak tahu apa pun."
Bibir Alexander terbuka lebar. Amber berhasil membuatnya semakin bingung dengan ucapan yang bak teka-teki.
"Kau laki-laki baik. Aku menilainya dari caramu memperlakukan adikku. Kalian memang sudah berpisah, tetapi bukan berarti aku tidak boleh membantumu, 'kan? Sekarang katakan pada kekasihmu jika kau akan tiba di apartemennya."
Alexander mengambil ponsel dan mencoba menghubungi Teresa. Yang ia ketahui, gadis itu sedang bersiap untuk pergi ke Santorini, berlibur dengan teman-temannya. Alexander sendiri yang akan mengantar Teresa ke bandara nanti malam.
"Halo, Teresa," sapa Alexander sedikit kaku. "Sedang apa? Kau di apartemen sekarang?"
"Ya, Alex. Hanya menata pakaian. Kau sudah sampai di rumah?"
"Belum. Sekarang aku di bawah. Kebetulan sedang lewat dan aku berpikir untuk mengambil gitarku. Bisakah kau menghubungi petugas lobi agar memberikanku izin untuk naik?"
Tidak sembarang orang boleh masuk ke gedung apartemen yang ditempati Teresa. Paling jauh hanya sebatas lobi. Mereka yang tinggal, dibekali kartu akses yang digunakan untuk membuka pintu pembatas di lantai dasar. Berhubung Alexander tidak memilikinya, mau tidak mau ia harus menghubungi Teresa terlebih dahulu.
"Baiklah. Tunggu sebentar ya."
"Ah, tidak Teresa. Salah satu dari mereka bersedia untuk mengantarkanku. Siapkan saja gitarnya. Terima kasih," dalihnya.
Alexander langsung menutup panggilan. Satu alisnya terangkat, membuktikan pada Amber jika Teresa masih di apartemen.
"Kau dengar? Kekasihku masih di sini."
Amber mengangkat bahu, sementara Alexander mulai berjalan menuju tempat Teresa. Namun dalam sesaat langkahnya terhenti ketika seorang laki-laki keluar dari apartemen Teresa. Alexander mengerjap berulang-ulang. Tubuhnya berubah kaku.
"Kau?" tunjuk Alexander pada laki-laki dengan kemeja putih. "Apa yang kau lakukan di tempat Teresa? Dengan pakaian yang setengah terbuka?"
***
Ellard. Laki-laki berambut hitam itu merupakan tetangga apartemen Teresa. Mereka tinggal bersebelahan. Ellard berasal dari Yunani, dia menetap di Turin untuk bekerja.
Ellard tersenyum miring pada Alexander, seolah berniat untuk menantang.
"Amber, pergilah. Aku bisa menyelesaikannya sendiri. Terima kasih," pinta Alexander diimbuhi dengan senyum tipis di wajahnya.
"Teresa. Kekasihmu sudah tiba."
"Katakan padaku, apa yang kau lakukan di dalam sana?" Alexander bertanya tepat di hadapan Ellard. Tak lama kemudian Teresa datang menghampiri dengan ekspresinya yang tidak bisa dijelaskan. Cemas, bingung, takut.
"Kenapa tidak kau tanyakan saja padanya. Teresa, katakan apa yang sudah kita lakukan sejak awal."
Sejak awal? Apa Ellard sudah gila?
"Alex," suara Teresa terdengar samar-samar. "Kau sudah melihatnya, jadi aku tidak bisa berbohong."
Alexander meraih gitar dari genggaman Teresa. "Katakan Teresa. Katakan semuanya."
"Kami sudah bersama, bahkan sebelum kau memintaku untuk menjadi kekasihmu. Aku mencintai Ellard, sangat. Namun tidak denganmu. Aku tahu ini terdengar keterlaluan. Maaf sudah membuatmu dalam situasi buruk. Aku ingin kita berpisah."