Chereads / THE SECRET AGENT! / Chapter 26 - Bukan Hal yang Pantas untuk di Bahas Sekarang

Chapter 26 - Bukan Hal yang Pantas untuk di Bahas Sekarang

Kepala Alexander sedikit terangkat ketika mendengar suara pintu yang terbuka. Terry dan Emma baru kembali ke rumah sakit, setelah tadi pagi Alexander meminta waktu untuk sendiri. Emma berjalan mendekati putranya sambil terseyum, sementara Terry masuk ke kamar mandi.

"Sudah lebih baik?" tanya Emma dengan telapak tangan yang diusapkan pada kepala serta pipi Alexander. Bekas-bekas memar di wajah putranya mulai menghilang.

"Belum."

Napas berat Emma terdengar jelas, ia merasa sedih. Akan tetapi selang beberapa detik, seutas senyum kembali menghiasi wajahnya. "Sampai kapan kau akan tinggal di sini, Sayang? Apa tidak bosan?"

Alexander jelas bosan. Satu minggu tanpa berita baik. Ia bahkan sudah bertekad, jika dalam satu minggu ke depan masih tetap seperti ini, Alexander akan meminta untuk pulang paksa.

"Jika terus diam, kami tidak akan pernah tahu apa yang saat ini kau rasakan. Datang dan pergi itu hal biasa, setiap orang mengalaminya. Beberapa memang menyakitkan, tetapi bukankah hal bagus ketika sesuatu yang buruk menjauh dari hidupmu?"

"Mom, sudah berapa kali aku mendengar kalimat ini?" keluhnya seraya memutar bola mata.

Emma tertawa pelan. "Pulanglah, Parta. Kami merindukanmu, bahkan Nicholla. Dia ingin sekali datang namun takut jika kehadirannya akan mengganggu. Sudah tiga hari Nicholla tidur di kamarmu."

Mendengar tingkah Nicholla membuat hati Alexander menghangat. Adiknya memang sulit untuk ditebak. Nicholla punya gengsi yang tinggi. Lihat saja saat dirinya pulang nanti. Gadis itu pasti tidak akan mengaku jika sudah tidur di kamarnya.

"Emma. Tolong ambilkan," Terry menghentikan kalimatnya karena tidak melihat kehadiran Emma. Pria ini baru keluar dari kamar mandi dengan pakaiannya yang basah di bagian lengan.

"Dokter memintanya untuk bertemu," sahut Alexander yang peka terhadap ekspresi Terry.

Terry menarik kursi kosong dan meletakkannya di sisi ranjang. Alexander memandang ke arah yang berlawanan—menatap jendela. Dalam beberapa menit, hanya ada situasi hening. Sampai Terry mulai lelah dan mencairkan ketegangan ini dengan berdeham.

"Seseorang tidak bisa memilih dari siapa dia dilahirkan dan bagaimana keluarganya. Peterson. Pernah pada masanya aku membenci nama itu—"

Alexander menyela sebab merasa kurang cocok dengan perkataan Terry. "Dad, aku tidak pernah membenci apa yang mutlak menjadi milikku."

"Tidak ada satu pun dari kalimatku yang terdengar seperti itu. Berhenti menyela, Alex," tegurnya. "Realistis saja, nama itu punya pengaruh besar. Bahkan bisa lebih besar dari yang kau bayangkan. Anggap saja ini kelebihan atau bonus. Ketika kau mendapatkan sesuatu dengan mudah, maka akan selalu ada orang yang menganggapmu rendah. Sekarang semua tergantung padamu, kau bisa menggunakan atau melupakan kelebihan itu."

"Apa ini maksudnya aku boleh mengganti identitasku? Alexander Walter?"

"Memangnya siapa yang bisa menahanmu? Hanya saja setiap pilihan punya risiko. Peterson, Walter, atau bukan keduanya, anggapan buruk tentangmu akan selalu ada."

"Tentu saja. Tetapi siapa yang peduli dengan anggapan buruk? Persetan. Ini diriku, hidupku. Mereka tidak selalu tahu apa yang pernah kulakukan, apa yang membuatku sedih, bahagia, bahkan apa yang pernah aku perjuangkan hingga—"

Terry hanya melipat lengan ketika Alexander berhenti berbicara. Laki-laki itu berhasil dibuat sadar oleh pernyataannya sendiri. Alexander mengalihkan pandangan, tidak berani menatap Terry karena terlanjur malu.

"Berhasil masuk ke sekolah dan universitas favorit tanpa bantuan pihak lain, sudah membuktikan jika kau pernah berjuang. Berhenti merendahkan dirimu sendiri. Satu lagi. Ada yang bisa memaafkan semua kesalahan, namun tidak dengan pengkhianatan. Sekali saja seseorang mencoba berselingkuh, maka kemungkinan besar dia akan melakukan hal yang sama di masa depan. Jadi jangan pernah coba-coba."

Senyum Alexander mengembang. Mendengar kalimat-kalimat yang diucapkan Terry membuat perasaannya berubah lebih baik. Alexander tahu Terry bukan tipe yang suka mengucapkan kata-kata manis secara frontal. Namun semua kalimatnya hari ini menyiratkan satu hal.

Terry sangat menyayangi putranya.

Beruntung rasa gengsi Alexander tidak setinggi Nicholla. Ia belum pernah ragu untuk mengucapkan terima kasih untuk hal-hal sederhana seperti ini. Ketika Alexander akan memanggil Terry, tiba-tiba saja Emma masuk dengan ekspresi masamnya.

"Putramu kembali memuntahkan makanannya pagi ini," keluhnya disertai lirikan tajam pada Alexander. "Tunggu, apa yang baru kalian bicarakan? Seseorang seperti baru menyadari kesalahannya."

"Kami tidak bicara apa pun." Alexander buru-buru menguap sebelum Emma menggali topik ini lebih dalam. "Mom, Dad, bisa tinggalkan aku sendiri? Sungguh aku baik-baik saja, hanya ingin tidur."

Emma bersiap untuk buka suara, namun tertahan karena Terry yang mendesis terlebih dahulu.

"Kau tidak dengar? Dia ingin tidur. Bicaranya nanti saja, Emma," ujarnya lembut seraya merangkul tubuh Emma agar lebih mudah dibawa ke luar.

Sebelum Terry benar-benar meninggalkan ruangan, ia menyempatkan diri untuk menepuk pundak putranya pelan. Alexander membalas hal itu dengan menggumamkan kata terima kasih namun tanpa suara.

***

"Kenapa sepi sekali? Kalian sudah pastikan dia ada di rumah?"

"Ya, agent. Kami sudah melakukan pengecekan sebelum kemari," jawab salah satu agent muda atas pertanyaan Alasia.

Alasia mengikat rambut panjangnya tinggi-tinggi, kemudian berucap memberikan perintah, "Rencana satu. Berdric kau yang memimpin. Sekarang!"

Dalam penyelidikan hari ini, tim dipecah menjadi tiga bagian. Dua di antranya mengikuti Berdric untuk memeriksa keadaan rumah. Satu yang lain tinggal di mobil bersama Alesya, menunggu rencana berikutnya.

Seperti biasa, Hailexa akan ikut bersama Berdric. Saat ini mereka sedang berdiri di depan rumah berlantai dua, yang jika dilihat sekilas seperti tak berpenghuni. Barvo. Munoz—tukang daging sekaligus sang pemilik rumah. Dia adalah pria di foto yang diberikan oleh Eterie beberapa hari lalu. Menurut informasi, Barvo. merupakan pria lajang yang sudah menetap di Turin selama kurang lebih enam tahun.

Seharusnya tim datang ke tempat ini kemarin lusa. Akan tetapi terdapat sedikit kendala yang membuat mereka harus menunda kegiatan. Ini pagi menjelang siang. Di jam seperti ini Barvo. biasanya berada di toko daging. Namun entah mengapa hari ini tokonya tutup.

"Selamat pagi. Kami dari Dipartimento Federale dei Crimini Nazionali. Namaku Berdric Alcaide." Berdric memperkenalkan diri tak lama setelah pintu dibuka. Laki-laki itu menunjukkan tanda pengenal resminya. "Maaf jika kedatangan kami dirasa cukup mengganggu. Sesuai surat tugas, kami diminta untuk melakukan penyelidikan terhadap tempat tinggal Anda atas kasus kematian dua orang wanita. Barvo. Munoz, kau orangnya 'kan?"

Pria itu terdiam selama beberapa saat, baru mengangguk setelah Berdric berdeham. "Benar. Aku Barvo. Munoz. Kematian siapa? Dari mana kau dapatkan informasi tentangku?"

"Emily dan Micole. Dari mana kami mendapatkan informasi ini, rasanya bukan hal yang pantas untuk dibahas sekarang. Hal yang kami butuhkan adalah izin untuk memeriksa tempat ini dan sedikit waktu untuk bicara denganmu."

"Ya tentu. Beri aku waktu untuk memindahkan anjing-anjingku," pintanya yang langsung disetujui namun satu orang tetap ikut masuk.