"Mendadak sekali. Seharusnya kau bilang sejak kemarin. Beruntung kelasku sudah berakhir." Hailexa berdiri tepat di samping pintu mobil Alexander dengan kedua lengan yang terlipat, ia berceloteh. Laki-laki itu sudah memarkirkan mobilnya di depan minimarket dekat gedung apartemen. Entah berapa lama dia berdiam diri. Ketika Alexander mengirim pesan, Hailexa sedang bermalas-malasan di atas ranjang. Mau tidak mau Alexander harus menunggunya untuk bersiap. "Kau juga tidak memberi tahu jika membawa mobil yang berbeda. Mataku lelah mencari."
"Ada alasan kenapa aku harus mengganti mobil. Kau terlalu banyak bicara. Masuklah!"
Hailexa mengentakkan kaki lalu berjalan memutar. Sebelum masuk ke mobil, ia menyempatkan diri untuk menendang ban depan dari mobil Jeep Wrangler milik Alexander.
"Hailexa!" pekik lelaki itu. "Berhenti memandangku seolah baru saja membuat kesalahan besar. Coba ini. Kau pasti belum makan siang," ujar Alexander sambil mematahkan wafer cokelat lalu menyuapkannya pada Hailexa. "Sudah cukup marahnya."
"Mobil siapa yang kau pinjam?"
Alexander terkekeh bersamaan dengan mobilnya yang mulai melaju. "Milikku, sudah lama tidak dipakai. Mungkin setelah ini aku akan terus menggunakannya. Alasan lain aku membawanya, karena..." Dia bersiul lalu memanggil satu nama, "Cedar!"
Tubuh Hailexa sedikit tersentak ketika mendengar suara gonggongan anjing dari bagian belakang. Ia memutar tubuh dan mendapati anjing berwarna cokelat menatap tepat pada matanya. Gelengan kepala serta suara tawa menjadi respons yang diberikan Hailexa atas kejutan kecil ini. Lelaki itu benar-benar mengerti cara untuk membangkitkan suasana hatinya.
Jika tidak salah dengar, Alexander menyebut nama tempat yang akan mereka tuju dengan Parco della Pellerina. Apa yang sempat Hailexa bayangkan, tidak jauh berbeda dengan apa yang kini dilihatnya. Sebuah taman dengan hamparan rumput hijau dengan pohon-pohon di sekitarnya.
"Sebenarnya ada taman lain yang lebih bagus. Hanya saja Cedar bisa lebih leluasa jika bermain di sini. Kau tidak masalah 'kan?"
Jawabannya jelas tidak. Sekalipun Alexander membawanya ke kafe lain, kemudian duduk dan berbincang sampai malam Hailexa akan tetap senang.
"Maaf karena ini terlalu mendadak. Kau tahu, aku sangat gugup tadi. Ini pertama kalinya kita menghabiskan waktu selain di kafe dan apartemen. Apa istilahnya, berkencan?"
Hailexa berusaha menahan senyumnya karena tahu Alexander sedang malu-malu. Laki-laki di sampingnya ini langsung menekuk leher dan menghindari kontak mata. Sikapnya seperti remaja yang baru pertama kali berkencan.
"Lupakan," timpal Alexander. "Tolong kau bawa dulu kotak makannya. Aku akan menurunkan Cedar."
Suhu di Turin bisa dikatakan cukup hangat sore ini. Sinar matahari yang tidak menyengat, menjadi alasan utama kenapa beberapa orang datang ke taman. Alexander berdiam diri, duduk di atas alas kain dengan kedua lengan sebagai bantuan untuk menopang tubuh.
"Sadar tidak, pakaian kita hampir sama. Baju putih dan sepatu putih. Kau pasti sengaja meniruku," celetuk Hailexa demi menghentikan suasana yang terlalu sunyi.
"Jelas-jelas aku yang pertama datang." Alexander mengeluarkan bola kasti dari saku jaketnya, kemudian melempar benda itu agar dicari oleh Cedar. "Makanlah. Aku sendiri yang membuatnya. Hanya sedikit. Jika masih kurang, banyak kedai makanan di dekat sini."
Hailexa tidak tahu harus berkomentar apa karena kagum. Sandwich dan roti almond, belum lagi sekotak blueberry yang Alexander bawa. "Ini cukup. Pasti butuh waktu yang lama untuk menyiapkan semua ini. Terima kasih. Aku suka," pujinya.
Hailexa menggeser posisi duduknya agar berdekatan dengan Alexander. Sambil menikmati potongan roti almond, ia sengaja menyandarkan kepalanya pada bahu laki-laki itu.
"Kau cantik padahal tadi sedang terburu-buru," puji Alexander balik seraya mencium puncak kepala Hailexa. "Aku suka bau parfumnya. Kuberi tahu satu hal. Aku belum mandi sejak kemarin."
"Menjijikkan. Beruntung hidungku sedang tersumbat," ejek Hailexa dengan sengaja. Ia tahu Alexander sedang bercanda, maka dari itu posisinya tidak berpindah. Saat bicara lewat telepon kemarin malam, laki-laki itu sendiri yang berkata jika baru selesai mandi. Hidung Hailexa juga tidak tersumbat. Wangi tubuh Alexander sudah menyapanya sejak ia masuk ke mobil.
Cedar kembali dengan bola kasti di mulutnya. Seperti biasa, sebagai hadiah Alexander memberikan beberapa buah blueberry.
Hailexa tidak habis pikir. Sepanjang hidup ia mengenal anjing, ini pertama kalinya ia tahu ada anjing yang suka makan blueberry.
"Dia lucu sekali." Hailexa ikut memberikan blueberry lalu mengecup Cedar cepat.
"Jangan lakukan itu. Dia tidak akan suka."
"Oh ya? Sorry, Buddy."
"Cedar tidak suka jika hanya dia yang kau cium. Cedar akan senang jika kau menciumku juga."
Hailexa kembali tertawa, namun kali ini dibarengi dengan sebuah tamparan pelan untuk Alexander. "Dasar gila," guraunya. "Bagaimana pertandingan sepak bola kemarin lusa?"
Dahi Alexander mengernyit, merasa aneh dengan pertanyaan itu. "Tunggu tunggu... sepak bola? Yang aku tahu orang-orang United States tidak tertarik dengan sepak bola."
"Ya olahraga itu tidak populer, tetapi bukan berarti aku tidak boleh bertanya 'kan?"
"Menegangkan. Austin sampai kesal karena klub favoritnya kalah."
Andai waktu bisa dihentikan, mungkin hidup Hailexa akan berakhir indah. Menikmati kesunyian dengan kepala yang bersandar pada bahu, serta pelukan di pinggangnya, ia bisa mati dengan damai. Jika seluruh hartanya bisa ditukar dengan kebahagiaan kecil ini, maka akan dilakukan tanpa berpikir dua kali.
Sayangnya langit Turin harus berubah gelap, menandakan jika waktu masih berjalan. Ketika burung-burung kembali ke rumah, maka dengan berat hati ia harus melakukan hal yang sama. Hailexa sadar, apa yang abadi tidak selalu membahagiakan. Namun apa salahnya bermimpi?
"Alex." Hailexa berhenti berjalan, padahal sedikit lagi mereka akan tiba di mobil. Alexander tidak menjawab, melainkan menaikkan alisnya. "Bau apa ini? Kenapa harum sekali?" tanya Hailexa ketika hidungnya mencium sesuatu yang membangkitkan selera makannya, begitu manis.
Alexander langsung mengerti dengan maksud Hailexa. Laki-laki itu menunjuk sebuah toko beberapa meter di depan mereka. "Sfogliatella riccia. Makanan asli Italia, tepatnya Campania."
"Hah?" Hailexa merasa asing sekaligus bingung. Kemampuannya dalam mendengar kata-kata baru masih perlu diasah lagi.
"Terdiri dari beberapa lapisan yang renyah dan diisi dengan ricotta yang manis. Kau ingin coba? Toko itu cukup terkenal. Biasanya sudah habis sebelum matahari terbenam. Aku kenal dengan pemiliknya, mungkin dia bisa memberikannya meski hanya satu. Sudah lama aku tidak datang ke sana."
Hailexa menimbang-nimbang tawaran Alexander. Mendengar deskripsi makanan itu membuatnya semakin tertarik untuk mencoba. Namun disisi lain ia merasa tidak enak karena terkesan memaksa. "Boleh. Tapi biarkan aku yang membayar," ujarnya sebagai bentuk kesepakatan.
Alexander mengikatkan tali milik Cedar pada pagar besi kemudian membawa Hailexa memasuki toko. Dia mengucap kalimat sapaan dengan nada sedikit keras disertai suara tawa gelinya.
"Oh Alexander! Apa kabar, Nak? Seingatku kau baru mengunjungiku kemarin," sarkas seorang pria paruh baya yang sangat tepat sasaran. Rambutnya mulai memutih. Kerutan-kerutan kecil juga terlihat di daerah pipi.
"Berhenti mengejekku, Luigi."
"Terakhir kali kau datang juga bersama kekasihmu. Halo Teresa, lama tidak bertemu membuatku lupa dengan wajahmu. Berubah dari yang terakhir kulihat."
Senyum di bibir Hailexa luntur seketika. Ia ingin sekali mengatakan jika dirinya bukanlah Teresa. Pria itu salah. Akan tetapi lidahnya terlalu kelu. Hailexa hanya mampu meremas ujung pakaiannya. Bersamaan dengan ini ia juga merasakan sakit di dadanya.
Kenapa semua orang membicarakan Alexander dan Teresa? Apa dulunya mereka terkenal?
Sial Hailexa, lagi-lagi kau cemburu.
"Tidak Luigi, bukan Teresa. Kami sudah lama berakhir. Gadis ini Hailexa," kata Alexander membenarkan.
"Astaga. Maafkan aku, Nak. Pria tua ini sudah mulai pikun. Namaku Luigi."
"Hailexa bukan orang asli Italia. Kami lebih sering bicara dengan bahasa inggris. Tapi kurasa dia mengerti apa yang kau katakan."
Hailexa mengangguk sopan. "Alexander benar. Senang bisa bertemu denganmu," sahutnya kaku.
"Kau masih punya sfogliatella riccia? Satu saja tidak apa-apa."
"Seingatku masih tersisa dua atau tiga di dapur. Sebentar aku akan melihatnya."
Hanya karena mendengar nama Teresa, selera makan Hailexa benar-benar hilang sekarang. Ia sebisa mungkin menyembunyikan ekspresi sedihnya dengan mengamati sekeliling toko. Namun tampaknya Alexander mengetahui jika suasana hatinya sedang tidak baik. Tanpa bicara laki-laki itu langsung menarik Hailexa ke dalam pelukannya.
"Maaf untuk ucapan Luigi," bisiknya lembut, tepat di telinga.
"Tidak masalah," balasnya serak. Mata Hailexa sudah berkaca-kaca sekarang. Beruntung wajahnya disembunyikan pada dada Fenando.
Alexander mengusap punggungnya naik turun. Lagi-lagi dia memberikan kecupan hangat pada puncak kepala Hailexa. "Aku dan Teresa sudah berakhir. Benar-benar berakhir, Hailexa. Kau tidak perlu cemaskan apa pun karena kami tidak akan pernah kembali."
Itu terdengar seperti sebuah janji yang begitu kuat. Hailexa bisa mendengar keseriusan Alexander saat mengatakannya. Akan tetapi tetap saja, ia merasakan dadanya ditekan begitu kuat. Jika memang mereka berakhir dan tidak mungkin kembali, kenapa Alexander tidak pernah menceritakan masa lalunya dengan Teresa?
Berbeda dengan cerita Leanore, Alexander begitu lancar menyebut soal gadis itu. Saat giliran Teresa, jangankan menyebut, mendengar namanya saja sudah membuat tubuh lelaki di dekat Hailexa ini kaku. Sejak kali terakhir ia menanyakan Teresa pada Alexander yang berujung belum terjawab, sampai detik ini masih tidak ada tanda-tanda jika dia akan menceritakan semuanya.
Kenapa Alex, kenapa? Kenapa kau menyembunyikan soal Teresa?
Semua orang tahu, Alex. Lalu kenapa aku tidak?