Langkah kaki Alexander dibuat selebar mungkin sejak mobilnya terparkir di halaman depan. Tepat di belakangnya, Hailexa bersusah payah menyamakan langkah. Napasnya sedikit tersenggal dikarenakan harus berlari kecil.
Ada satu hal yang tidak Hailexa mengerti. Tadi Alexander mengajaknya pergi ke studio untuk melakukan pemotretan, laki-laki itu fotografernya. Namun entah mengapa sekarang mereka justru berakhir di lapangan golf yang cukup sepi.
Tidak butuh waktu lama bagi Hailexa untuk mengetahui jawaban atas rasa herannya. Ketika Alexander berteriak memanggil nama salah satu temannya, saat itulah Hailexa mulai mengerti.
"Kau duduk dulu sebentar, aku perlu bicara dengan Allard," pinta Alexander seraya menarikkan kursi untuknya.
Meskipun sudah dipanggil berulang kali, Allard tetap saja tidak menoleh. Austin yang sedang berkacak pinggang di sebelahnya saja diabaikan. Hailexa tidak tahu apa yang sedang mereka perdebatkan sekarang, tampaknya begitu serius dengan bonus emosi yang meluap. Hal ini dibuktikan dari perilaku Allard yang tiba-tiba melempar stik golfnya.
Gila. Stik golf bukan benda dengan harga murah.
Austin sepertinya putus asa. Laki-laki itu mengentakkan kaki, berbalik, dan menjauhi Alexander serta Allard.
"Hei. Lama tidak melihatmu," sapanya sebelum duduk di sebelah Hailexa.
"Aku sudah dengar soal Ayahmu dari Alex. Selamat."
"Terima kasih. Aku sudah katakan pada Alex jika kau boleh ikut, tetapi rupanya sedang ada ujian."
"Maaf Austin. Kenapa kalian tiba-tiba berkumpul, ada masalah?"
Austin mengangguk pelan. "Sedikit. Allard memang seperti itu. Dia butuh waktu lebih agar bisa berpikir jernih. Aku akan membeli minum, kau ingin sesuatu?"
"Tidak, terima kasih."
Selepas Austin pergi, Alexander ganti menghampiri Hailexa. Allard masih berdiri di tempatnya, kembali melanjutkan permainan golfnya.
"Sepi sekali. Ini memang tempat golf baru atau orang-orang Italia tidak tertarik dengan golf?"
Tawa kencang Alexander sukses membuat Hailexa sedikit tersentak. Ia merasa tidak ada sesuatu yang lucu namun mengapa lelaki ini tertawa begitu nyaring? Allard saja sampai menoleh ke arah mereka.
"Tidak ada satu pun dari tebakanmu yang benar. Tempat ini sepi karena Allard sudah menyewa lapangan golfnya. Dia memang suka bertindak sebelum berpikir. Satu-satunya jalan keluar adalah membiarkannya meluapkan emosi sampai pikirannya kembali jernih."
Hailexa hanya bisa menganga sambil berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya. Pantas Allard merasa tidak berdosa saat melempar stik golf dengan kasar. Untuk ukuran lapangan saja dia memilih untuk menyewa seorang diri, dibanding menggunakannya bersama-sama. Stik golf tidak ada apa-apanya.
"Ada masalah apa?"
"Sedikit rumit, ceritanya juga panjang. Intinya Allard kesal karena gadis yang dia cintai akan melakukan sesi pemotretan dengan kekasih barunya."
"Dan kau fotografernya?"
"Secara tidak sengaja. Studio fotonya milik temanku. Fotografer yang seharusnya bertugas sedang sakit. Jadi dia memintaku untuk menggantikannya. Allard memang terkenal player, tapi dia mencintai gadis ini sejak lama dan perasaannya tidak pernah berubah. Aku bisa menceritakan kisah lengkapnya lain waktu."
Hailexa mengangkat bahu. Masalah hati memang selalu sulit. Ia bahkan mengalami hal yang sama saat ini. Perasaannya selalu maju mundur setiap kali bicara soal mencintai Alexander.
"Biarkan dia. Setelah emosinya terkuras, aku yakin Allard akan beristirahat. Pemotretannya jam berapa?"
Alexander memandang arloji pada pergelangan tangannya. "Satu jam dari sekarang," kata Alexander dibarengi dengan senyum geli.
Siapa yang menduga jika hal ini akan terjadi. Allard yang tadinya sedang kesal, tiba-tiba memutuskan untuk ikut Alexander pergi ke studio pada detik-detik terakhir. Namun tetap saja bukan berarti semuanya berlangsung mudah.
Allard bersandar pada badan mobil Austin, menolak keras untuk ikut masuk ke studio. Mungkin hatinya belum siap. Hailexa memaklumi itu dan ia menawarkan diri untuk menemani Allard sementara Alexander dan Austin masuk. Ia akan berusaha membuat perasaan Allard mejadi lebih baik.
"Ingin pergi ke suatu tempat? Alex meninggalkan kunci mobilnya untukku," ujar Hailexa memberikan penawaran sederhana.
"Kau tidak ikut masuk?"
"Jangan mengalihkan pembicaraan. Ayo, kau pasti hafal jalanan Turin."
"Kau pikir aku baru tinggal satu bulan di sini? Tunggu sebentar, aku ingin beli minum. Kau pilih bir kalengan atau soda?" Allard mendesis pelan, menyadari jawaban Hailexa walau gadis itu belum mengatakan apa pun. "Aku akan kembali dalam lima menit."
Sambil memegang kaleng bir, Allard membawa Hailexa berkeliling tanpa rute yang jelas. Awal-awal menit mereka diisi dengan keheningan. Hailexa yang merasa tidak betah memutuskan untuk membuka pembicaraan.
"Kenapa tidak katakan jika kau mencintainya?"
"Aku tidak ingin merusak pertemanan. Jika aku jujur dan perasaan kami berbeda, aku tidak hanya kehilangan orang yang kucintai, namun juga teman baikku."
"Rasa suka antar teman itu wajar. Ketika kita sudah sama-sama dewasa, saat satu pihak memiliki perasaan lebih, kurasa itu tidak langsung merusak pertemanan. Mungkin pada awalnya akan canggung. Namun ketika mengingat tujuan awal kenapa kalian berteman, mungkin ceritanya akan berbeda."
Bibir Allard mengerucut, ia mulai terhibur dengan ucapan Hailexa.
"Dicoba saja tidak ada salahnya. Jika dia menolakmu, maka pasti ada gadis lain yang sedang menunggu di luar sana. Kau percaya dengan keberadaan Tuhan?"
"Tentu saja," sahut Allard cepat.
"Terkadang, apa yang terlihat baik di matamu, belum tentu baik di mata Tuhan. Maka dari itu selalu ada opsi dan rencana cadangan. Saat satu tidak membuatmu puas, akan ada hal lain yang menggantikan."
"Hailexa," panggilnya. "Terima kasih. Aku memang belum bisa memutuskan akan mengaku atau tidak, tapi setelah mendengar kalimatmu rasanya jadi lebih baik. Kau sendiri bagaimana? Apa Alex memperlakukanmu dengan baik? Katakan dengan jujur, aku akan merahasiakannya."
"Kami masih mencoba." Sial, Hailexa tidak tahu harus bicara seperti apa. Satu-satunya hal yang membuatnya terus terpikir hanya Teresa. "Ada banyak hal yang belum kami ketahui satu sama lain," imbuhnya tanpa mengikutsertakan Teresa dalam pembicaraan.
"Sudah kuduga ini akan jadi sulit. Bersabarlah sedikit. Alex sedang bertarung dengan dirinya sendiri, tetapi aku yakin akan segera berakhir. Dia hanya butuh waktu."
Kenapa ini terdengar begitu berat?
Hailexa menggigit bibir, menimbang-nimbang apakah ia perlu menanyakan soal Teresa pada Allard. "Allard—" Kalimatnya terputus ketika mobil yang mereka kendarai berhenti dan Allard memutuskan untuk keluar.
"Parkirnya penuh. Kita berjalan sedikit," ucapnya lalu menutup pintu.
Sebelum keluar Hailexa mencari tisu untuk mengeringkan ponselnya yang terkena tetesan embun dari kaleng soda. Ketika membuka dashboard, bukan hanya tisu yang ia temukan, terdapat tabung berukuran kecil dengan label putih yang melingkar. Hailexa mengedipkan matanya berulang kali, mencoba meyakinkan diri jika ia hanya salah lihat. Sayangnya tidak ada perubahan, ini benar-benar butiran pil.
"Hailexa, sedang apa?" panggil Allard dari luar.
Hailexa tidak bisa berpikir sekarang, bahkan sekadar menebak mengapa Alexander memiliki benda ini. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan hanyalah memotret tabung itu dan mengambil dua butir pil untuk dibawa pergi. Jika ada kesempatan ia akan mencoba mencari tahu obat ini melalui Nicholas.
Sial Alex! Apa lagi yang kau sembunyikan dariku?
Mungkin suatu hari nanti Hailexa akan mencoba untuk mengikuti casting film. Kemampuan beraktingnya tidak boleh diremehkan. Lihat, setelah kejadian mengejutkan itu ia masih bisa bercanda bersama Alexander, seolah tidak terjadi apa pun. Austin bahkan berhasil mengabadikan momen ketika dirinya dan Alexander sedang tertawa lepas.
Selama perjalanan pulang Hailexa memilih untuk diam. Bibirnya memang bungkam, namun pikirannya mengoceh keras. Ia begitu penasaran dan merasa gelisah, sampai-sampai tidak menyadari jika sudah tiba di area parkir apartemennya.
"Kau terlihat lelah. Maaf sudah membuatmu sibuk hari ini. Ingin kutemani?"
Bukannya menjawab, Hailexa justu melakukan aksi nekat. Ia mematikan satu-satunya penerangan pada mobil kemudian duduk di atas pangkuan Alexander. Menatap tepat ke arah matanya.
Kedua tangan Hailexa digunakan untuk menangkup wajah Alexander, sehingga mempermudah bibir mereka untuk bertemu. Mengetahui tiga kancing teratas pakaian Alexander yang dibiarkan terbuka, jemari Hailexa memberanikan diri untuk melepaskan seluruhnya.
Di sela-sela ciuman panas, bibir Hailexa sempat terbuka dan mendesah pelan. Ini akibat ulah Alexander yang meremas pinggangnya. Jemari Hailexa sudah berada pada pangkal celana jeans Alexander dan berniat untuk melakukan hal yang sama. Akan tetapi tiba-tiba lelaki itu menahan gerakannya, bahkan ciuman mereka ikut terhenti.
"Don't," larangnya. "Ini tempat umum, bukan berarti aku menolakmu."
"Tidak akan ada yang melihat."
"Selalu ada kemungkinan terburuk."
"Alex," rengeknya.
"Tidak Hailexa. Aku tahu ini bukan dirimu. Ada hal lain yang sedang menguasai. Katakan padaku apa yang sebenarnya terjadi."
Alexander benar. Hailexa kehilangan kontrol atas dirinya. Rasa penasaran membuatnya lelah dan ingin menyerah terhadap rahasia Alexander. Setelah Teresa, kini ditambah butiran pil. Seharusnya ia tak lakukan ini. Seharusnya Hailexa mengingat perkataan Allard. Alexander hanya sedang bertarung sebelum mengungkap semuanya.
"Bicara dengan Allard membuatku lelah. Untuk masalah seperti itu memang menguras emosi. Dia menanggung perasaannya seorang diri. Kurasa ini menyakitkan," kilahnya. Terpaksa.
Alexander menyalakan kembali lampunya, lalu sedikit memundurkan tubuh Hailexa agar bisa melihat wajah gadis itu dengan jelas. Satu jarinya menyelipkan helaian rambut ke belakang telinga. "Dan kau berhasil mengembalikan keceriaannya. Terima kasih."
"Aku hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Alex, kau jangan seperti itu. Jangan menahan semuanya sendiri. Jika kau punya masalah, maka berbagilah denganku."
Alexander memberikan kecupan singkat pada ujung hidung Hailexa. Ia tersenyum sambil mengangguk. "Pasti," ujarnya meyakinkan.