Seluruh tamu undangan bertepuk tangan, tepat usai Reiji Foley menyelesaikan pidato singkatnya. Ini merupakan malam yang penuh kebahagiaan. Semua orang tersenyum, tertawa, bernyanyi bahkan menari.
Pidato Reiji berhasil mengubah pikiran Alexander, bahwa seseorang bisa jatuh cinta lebih dari sekali dalam hidupnya. Demi menggapai sebuah kebahagiaan, terkadang ada proses yang disebut jatuh. Menyakitkan, namun ini hal biasa.
Setelah melalui drama serta persiapan yang panjang, hari ini Reiji melangsungkan pernikahan untuk kedua kalinya. Pagi hari dimanfaatkan bagi Reiji untuk mengucap janji suci, sedangkan pesta pernikahan diadakan pada malam hari.
Dulunya Austin sempat menolak pernikahan ini. Teman Alexander itu merasa sudah terlalu dewasa untuk memiliki sosok ibu tiri. Sejak proses perceraian orang tuanya bertahun-tahun lalu, Austin tinggal terpisah dengan ibu serta adik kandungnya. Mereka berada di New York, namun terkadang kembali ke Osaka saat libur musim panas. Sama seperti Reiji, ibu Austin—Maria Yusa juga terlahir berdarah Jepang-Amerika, namun wajah Asianya sangat mendominasi. Nyaris seperti orang Jepang pada umumnya. Maka dari itu Allard menekankan jika Austin memiliki tiga per empat darah Asia.
Berbagai macam cara sudah dilakukan untuk meluluhkan hati Austin, Alexander dan Allard bahkan ikut turun tangan. Meski sedikit berat hati, pada akhirnya Austin setuju dengan catatan mengajukan beberapa persyaratan. Salah satunya konsep pernikahan.
"Come on, Austin! Jangan membuatku malu," teriak Allard menghebohkan seluruh ruangan.
"Kau seperti tidak pernah melihat Austin bernyanyi saja," timpat Alexander.
Galeri seni adalah konsep pernikahan yang Austin inginkan. Reiji menyetujui hal itu dan memilih Milan sebagai tempat menggelar hari bahagianya. Ruangan ini dihias seperti pesta pernikahan pada umumnya, namun pada beberapa sisi dibiarkan polos. Di sanalah hasil karya berupa lukisan serta foto-foto indah dipamerkan dilengkapi dengan lampu sorot kecil. Entah dari mana Reiji mendapatkan semua ini. Namun Alexander berhasil menyumbangkan salah satu hasil fotonya untuk dicetak dan dipamerkan.
"Teruslah bersorak, Allard. Seperti kau mengerti apa yang Austin nyanyikan."
Allard tertawa kencang sambil menepuk bahu Alexander. "Kau benar. Aku hanya memahami penggalan lirik yang berbahasa inggris, sisanya tidak. Tapi aku yakin artinya bagus," kata Allard penuh percaya diri.
"Sebelum malam ini berakhir, aku ingin mengucapkan terima kasih Aunty Emma dan Aunty Lorraine yang sudah menyayangiku seperti putranya sendiri. Mungkin aku putra kebanggaan mereka."
Pada awalnya Alexander dan Allard tersenyum. Namun setelah kalimat terakhir diucapkan, senyum mereka luntur dan siap untuk menghajar Austin dengan tangan kosong.
"Alex dan Allard, mungkin hidupku akan berbeda tanpa kalian. Terima kasih," sambungnya sebelum kembali menekan tuts piano dan bernyanyi.
"Akan kutendang kepalanya setelah kembali ke Turin. Lihat saja, aku tidak akan menghibur bocah itu ketika klub bolanya kalah," geram Allard yang tentunya hanya sebataan candaan.
"Tidak adakah dari kalian yang berniat menemani kami berdansa?"
Baik Alexander maupun Allard menoleh bersamaan. Tak jauh dari mereka sudah ada dua gadis dengan gaun yang begitu indah sedang memamerkan senyumnya. Alexander hanya berhasil mengingat jika salah satu dari mereka adalah teman semasa middle school. Untuk urusan nama, Alexander benar-benar lupa.
"Tidak bisa, maaf. Lenganku masih cedera setelah bermain sepak bola," tolak Allard halus. "Mungkin temanku yang satu ini bisa."
Alexander mencubit pelan lengan Allard. Dasar, pelempar masalah. "Dengan berat hati harus kutolak. Kau lihat ibuku di sana, beliau sedang sendirian. Aku harus pergi, selamat malam."
"Aku juga. Mungkin kita bisa melakukannya lain waktu. Kalian cantik malam ini."
Alexander hanya bisa terkekeh pelan mendengar Allard menolak tawaran gadis cantik. Laki-laki itu berbohong. Allard saja tidak pernah menyentuh lapangan sepak bola dalam satu bulan terakhir. Kemampuannya bermain sepak bola juga buruk. Allard lebih suka menonton pertandingan dibandingkan memainkannya.
Kaki-kaki Alexander terus melangkah mendekati Emma. Ibunya itu sedang sendirian, mengamati hasil karya yang dipajang pada dinding.
"Maaf jika mengganggu malammu, Nona. Kau terlihat kesepian. Izinkan aku untuk menemanimu."
"Oh, kau baik sekali. Siapa namamu?"
Alexander meraih punggung tangan Emma, memberinya kecupan selayaknya seorang pangeran yang sedang menyambut kedatangan putri. "Raja Alexander MAlesyarick Peterson. Kau bisa memanggilku Parta. Senang bertemu denganmu, Emma Walter," ujarnya semakin dibuat-buat.
"Kau tahu Parta, aku akan dengan senang hati mengubah namaku menjadi Emma Peterson." Emma tertawa geli. "Hentikan hentikan. Ini galeri seni, bukan panggung drama."
"Di mana Daddy?" Pandangan Alexander mengedar, meneliti ke setiap sudut untuk mencari keberadaan Terry. "Oh, sedang merayu wanita lain."
"Alex. Mereka hanya bicara."
"Uncle Reiji mengatakan, seseorang bisa jatuh cinta lebih dari satu kali."
Emma mengangguk, menyetujui. "Dia tidak salah. Aku yakin kau juga mengalaminya."
"Jika hal itu terjadi pada Daddy, maka dengan senang hati aku akan membawa Mommy kembali ke Seattle."
Emma hanya bisa menggeleng untuk menanggapi pikiran Alexander yang sudah di luar nalar. "Daripada mencurigai Daddymu, akan jauh lebih baik jika kau mengenalkan gadis itu pada kami. Jangan menunggu lebih lama. Kapan Alex, kapan?" tanyanya sedikit memaksa.
Alexander menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia bingung harus menjawab seperti apa di saat perasaan ini belum memiliki kejelasan. "Nanti saja. Setelah bicara serius dengannya, pasti akan segera kubawa ke rumah. Tentu dengan catatan jika dia menerimaku."
Sudah lima belas menit Alexander dan Emma sibuk mengagumi karya-karya yang ada, akan tetapi Terry tak kunjung menghampiri. Entah ke mana pria itu pergi, mata Alexander sudah tidak lagi melihatnya sebab rasa kantuk yang mulai datang.
"Mom, aku mengantuk. Butuh hiburan." Tiba-tiba saja ide yang dianggap jenius merasuki pikirannya. "Daddy terlalu banyak bicara dengan wanita malam ini. Kenapa Mommy tidak lakukan hal yang sama?"
"Kau ingin bercermin? Melihat Daddymu cemburu sama saja dengan melihat dirimu sendiri. Kalian berdua, atau mungkin bertiga mudah cemburu dengan hal sepele. Idemu bagus, tidak ada salahnya mencoba." Emma memutar tubuh Alexander untuk menghadap ke samping. "Kau lihat di sana, nama pria itu Amore. Dia duda dengan satu putra seumuran Nicholla."
Alexander tersenyum penuh kemenangan ketika Emma berjalan dengan elegan mendekati Amore. Gaun dengan perpaduan warna emas dan abu-abu yang menyesuaikan bentuk tubuh, membuat Emma terlihat jauh lebih muda. Bagian dadanya tertutup, namun terdapat belahan tinggi sebatas paha di salah satu sisinya. Kaki jenjangnya terlihat begitu menawan terlebih saat dipadukan dengan heels berwarna perak. Jangan lupakan bagian punggung yang hanya ditutupi dengan tali tipis alias begitu terbuka.
"Amore, kau datang? Lama sekali rasanya sejak terakhir aku menyapamu."
"Emma." Amore tersenyum sambil menjabat tangan Emma. "Ya, sudah cukup lama. Kau tidak berubah, masih cantik seperti saat pertama kali aku melihatmu."
Alexander suka rayuan ini. Terry Peterson, aku benar-benar menunggumu.
"Kau masih ingat, dia putraku, Alexander."
"Panggil saja Parta untuk satu jam ke depan. Setelahnya cukup Alexander atau Alex."
"Parta. Terdengar spesial," balas Amore. "Aku juga punya seorang putra, lebih muda darimu."
"Mommy sudah mengatakannya. Seumuran dengan adikku. Jika ada kesempatan untuk bertemu, maka aku akan melakukannya dengan senang hati. Mungkin kita bisa jadi dekat seperti saudara."