Chereads / THE SECRET AGENT! / Chapter 39 - Ini Memalukan!

Chapter 39 - Ini Memalukan!

"Hailexa," panggil Alexander dengan suara yang sedikit tertahan.

Hailexa tidak merespons, gadis itu masih mengintip melalui jendela rumah, memastikan kembali apakah ada orang di dalam. Sudah empat puluh lima menit mereka terjebak dalam situasi ini. Hailexa tidak ingin menyerah. Dia terus mengetuk pintu, meneriakkan panggilan, bahkan menghubungi melalui ponsel namun tak ada satu pun usaha yang berhasil.

Alexander yang berdiri beberapa meter di belakang Hailexa hanya bisa melempar tatapan sedih. Hari ini, pagi-pagi sekali ketika matahari belum terbit, ia membawa Hailexa pergi ke Kota Orta San Giulio untuk mengunjungi neneknya. Gadis itu sengaja tak memberi kabar sebab ingin membuat kejutan. Alexander pikir ini bukan masalah dan semuanya akan berjalan lancar mengingat ini kunjungan keluarga seperti pada umumnya. Sayang sekali kenyataan tidak bisa disamakan dengan ekspekstasi.

Rumah di hadapannya sekarang terlihat baik-baik saja, bahkan begitu bersih. Beberapa perabotan juga masih tertata rapi tetapi seperti tidak berpenghuni. Keanehan ini semakin menambah rasa penasaran Alexander soal latar belakang Hailexa. Setelah perpustakaan, kini neneknya tiba-tiba menghilang.

Alexander pernah mencoba mencari informasi soal Hailexa melalui sosial media, namun tidak ada satu akun pun yang berhasil ditemukan. Kasus seperti ini memang bisa terjadi, mengingat Alexander juga melakukan hal yang sama. Ia menutup semua akun sosial medianya beberapa bulan setelah hubungannya dengan Teresa berakhir, dan belum pernah mengaktifkannya kembali sampai detik ini. Alexander punya alasan khusus, namun Hailexa? Bukankah kebanyakan gadis Amerika seumurannya aktif dalam menggunakan sosial media? Beberapa dari mereka bahkan memanfaatkannya untuk mendapatkan uang.

Dari semua hal yang Alexander pikirkan, ia memilih untuk mengabaikannya saat ini karena waktunya sedang kurang tepat.

"Kemari." Alexander melebarkan kedua lengan, membawa Hailexa dalam pelukannya. Telapak tangan Alexander bergerak naik turun mengusap punggungnya. "It's okay."

"Hei, sedang apa kalian di sana? Ingin membeli rumah itu?"

Alexander menoleh ke samping dan mendapati seorang pria yang sedang duduk di atas motor. "Rumah ini kosong? Ke mana pemilik sebelumnya, kami ingin bertemu."

"Sudah kosong sejak dua atau tiga minggu lalu. Wanita itu tidak mengatakan akan pergi ke mana. Dia menjualnya dengan harga rendah lalu buru-buru pindah. Kalian berniat untuk membeli rumah ini? Aku bisa beri harga yang sesuai untuk pasangan muda seperti kalian."

"Tidak, terima kasih. Kami hanya ingin bertemu dengan pemilik sebelumnya."

"Ah, aku tidak bisa membantumu untuk itu. Jika kalian berubah pikiran soal rumahnya, aku tinggal di ujung jalan ini," ujar pria itu sebelum pergi dengan motornya.

Air mata Hailexa yang sebelumnya hanya menetes, kini sudah mengalir deras. Tangis pecah di pelukan Alexander.

"Apa aku melakukan kesalahan? Sampai-sampai Grandma pergi tanpa memberi kabar."

"Kau tidak melakukan kesalahan. Grandma mungkin pergi dengan alasan tertentu, mungkin ada masalah dan tidak ingin membuatmu sedih. Nanti jika sudah waktunya, beliau pasti menghubungimu. Percaya padaku."

"Maaf sudah merepotkanmu Alex. Jika aku menghubungi Grandma sejak awal—"

"Hentikan," sela Alexander. "Kita masih bisa menikmati tempat ini. Cari hotel lalu jalan-jalan, bagaimana?"

Hailexa mengusap sisa air matanya lalu mengangguk.

"Kau ingin kita pesan dua kamar atau tiga? Bagaimana dengan satu kamar namun ranjang terpisah? Ini akan menghemat biaya," imbuh Alexander dan diakhiri dengan kekehan geli.

Suara tawa Hailexa menyusul setelahnya. Dia mengepalkan tangan dan meninju lengan kiri Alexander. "Tawaranmu gila. Aku takut nantinya bosmu jadi ikut gila."

Keputusan final tentu tidak berasal dari tawaran Alexander. Bukan hanya sekali dua kali mereka tidur bersama. Satu kamar satu ranjang maka sudah cukup. Selesai dengan urusan hotel, mereka langsung pergi untuk berkeliling sebentar, sebelum akhirnya memutuskan untuk makan siang.

Alexander memilih salah satu restoran yang berlokasi di tepi Danau Orta. Restoran ini memiliki fasilitas area makan yang terbuka, sehingga pengunjung bisa melihat langsung keindahan danau serta pulau kecil—Pulau San Giulio di seberangnya.

"Jadi setelah ini kita akan jarang bertemu?" celetuk Hailexa di tengah-tengah keheningan.

"Kenapa? Kau pasti takut merindukanku," goda Alexander sembari menyenggol bahu Hailexa.

"Dasar menyebalkan!"

Alexander terkekeh. Ia dan Hailexa akan punya kesibukan baru dalam waktu dekat. Keputusannya untuk menjadi asisten Terry sudah diterima dan disepakati dengan kontrak yang resmi. Alexander masih bekerja di kafe dalam beberapa kali shift guna memenuhi tanggung jawabnya, baru setelah itu akan benar-benar lepas. Ketika kontraknya sebagai asisten berakhir, Alexander akan diberikan kontrak baru di mana dirinya harus bekerja secara penuh dengan tanggung jawab yang besar. Persis seperti yang Terry inginkan sejak awal.

"Aku hanya asisten paruh waktu. Tenang saja, masih ada waktu untuk bertemu. Jangan pikirkan soal ini, fokus saja pada kuliahmu. Berusahalah sehingga kau bisa mendapat beasiswa dengan skala yang lebih besar. Aku senang karena kau memilih untuk fokus pada satu hal saja." Alexander menyapukan jari telunjuknya pada pipi Hailexa. "Kau pasti bisa mendapatkannya, aku percaya itu. Namun jika tidak, jangan larut dalam kesedihan. Aku pasti akan membantumu."

Akal dan hati nurani Alexander sedang beradu saat ini. Satu sisi ia berasumsi jika Hailexa sedang menyembunyikan sesuatu. Bukan kesibukan kuliah atau persaingan memperoleh beasiswa yang membuat gadis itu memutuskan untuk berhenti dari PrimAlesyara. Pasti ada hal lain. Namun pada sisi yang berbeda, Alexander berusaha menepis jauh pemikiran gilanya. Hailexa tidak mungkin membohonginya.

"Sering-sering berkunjung ke apartemen meski hanya sebentar."

"Aku akan menginap jika kau meminta. Kita juga masih bisa bertemu di akhir pekan. Kau punya janji lari pagi denganku."

"Ah," Hailexa mendesah kesal, "lari pagi. Aku benci itu."

"Jika kau berhasil lari pagi sebanyak lima kali berturut-turut sesuai jadwal, aku menerima tantanganmu untuk bermain sepatu roda. Bagaimana?"

Hailexa menganggukkan kepalanya dengan cepat. "Ide bagus. Aku setuju," ujarnya senang. "Ayo jalan lagi! Jika perlu yang jauh. Kita tidak punya banyak waktu Alex."

Ini memang bukan pertama kalinya Alexander datang ke Orta San Giulio. Akan tetapi hal tersebut tak lantas membuatnya memahami seluruh isi kota. Hailexa terus menariknya berjalan tanpa arah, menikmati kebahagiaan kecil di setiap sudut yang ada.

"Hailexa." Alexander menelan suapan terakhir dari es krimnya. "Kurasa kita berjalan terlalu jauh. Cari taksi saja bagaimana?"

"Ck!" Hailexa berdecak. "Selain menyebalkan, kau juga pemalas," ejeknya terang-terangan.

Satu alis Alexander terangkat. Bibirnya setengah terbuka. Ia kurang setuju akan penilaian Hailexa. "Bicaramu sembarangan." Alexander menoleh ke belakang, menatap pancuran air yang jatuh ke dalam kolam. Saat ini mereka sedang duduk di pinggiran air mancur sembari menikmati enam cup es krim dengan rasa yang berbeda-beda. "Bukan malas, tetapi menghemat waktu dan tenaga," debatnya yang belum ingin mengalah.

"Banyak alasan."

Alexander berdiri kemudian mengambil cup es krim yang tersisa dan membuangnya ke tempat sampah. "Berdiri. Aku ingin kembali ke hotel. Melihat air mancur membuatku ingin mandi."

Hailexa mengikuti ucapan Alexander dengan berdiri pada tepian kolam. Akan tetapi dia tak langsung turun, justru mengulur waktu dengan melingkarkan kedua lengannya pada leher Alexander.

Kepala Alexander sedikit mendongak karena Hailexa jadi lebih tinggi darinya. "Berhenti main-main. Aku lelah dan tidak akan menggendongmu." Sayangnya Hailexa akan selalu jadi Hailexa yang hobi menggodanya. "Hailexa," tekan Alexander ketika gadis itu mulai mendekatkan tubuh dan mencoba melingkarkan kedua kakinya. Ia hanya bisa pasrah dengan memeluk tubuh Hailexa agar tidak terjatuh.

Tiga kecupan kilat mendarat pada kening dan pipi Alexander. "Anggap saja ini hadiah karena kau bersikap manis."

"Aku minta hadiah lebih, oke?"

"Mana bisa seperti itu. Turunkan aku," pintanya sedikit memaksa. "Jangan sampai terjadi keributan karena kau tiba-tiba pingsan."

Alexander mendesis kesal sekaligus gemas. Ia mengusap wajahnya kasar kemudian memerangkap Hailexa dengan pelukan yang kelewat erat. "Kau pandai membuatku kesal. Belajar dari mana?"

Alih-alih mendengarkan jawaban dari Hailexa, Alexander memilih mengecupi setiap inci dari wajah gadis dalam dekapannya. Hailexa tertawa lepas, suasana hatinya sedang baik. Sangat berbeda dengan tadi pagi dan Alexander ikut senang dengan hal ini.

"Sepertinya aku bisa hidup hanya dengan melihatmu tertawa. Jangan pergi jauh dariku," bisik Alexander tepat pada telinga. "Katakan semua yang kau inginkan, maka aku akan berusaha untuk mewujudkannya."

"Kau ini pandai merayu juga ya?"

Alexander menangkup wajah Hailexa dengan kedua tangannya. Setiap dari mata hazel miliknya memancarkan tatapan hangat. "Hm. Itu bakat terpendam." Ibu jari Alexander bergerak di atas bibir Hailexa, mengusapnya dengan lembut. "Kau ini sebenarnya siapa? Sampai membuatku terus memikirkanmu dua puluh empat jam penuh," lanjutnya.

Gadis ini berhasil membuatku sakit kepala. Bukan hanya soal perasaan yang sudah jatuh, namun juga seluruh misterinya.

"Alex, bagaimana jika aku ini malaikat kematian yang sengaja dikirim untukmu?"

"Apa peduliku? Kau pikir aku takut? Siapa pun dirimu, aku akan mencoba menerimanya."

Kau sudah menarikku terlalu dalam, Hailexa. Mana mungkin bisa dilewatkan begitu saja.

Alexander merasakan tengkuknya ditarik dan bibirnya dicium perlahan. Sedikit lagi ia pasti bisa memenangkan hati Hailexa lalu mengungkapkan segala perasaannya yang sudah tertahan. Alexander hanya perlu bersabar. Memang masih banyak hal yang perlu untuk ditelusuri lebih dalam. Namun bukan berarti itu menjadi halangan untuk mengabaikan hal yang jelas mampu membuatnya bahagia.

"Kau malas berjalan 'kan? Aku punya solusi untuk itu."

Arah pandang Alexander mengikuti ke mana Hailexa menunjuk. Sebuah persewaan skuter elektrik yang cukup ramai didatangi pengunjung. Alexander menggeleng cepat. Benda itu seperti tidak ada bedanya dengan skateboard atau sepatu roda.

"Kita bisa menaikinya berdua. Aku pastikan tidak akan jatuh."

"Jalan kaki saja," bantah Alexander yang mulai mundur beberapa langkah.

"Alex. Apa yang kau khawatirkan? Aku di sini."

Bibir Alexander mengerucut. Ekspresinya semakin berubah tidak karuan ketika Hailexa menarik tangannya agar terus berjalan. Segala kemungkinan buruk mulai menguasai pikiran Alexander. Sudah cukup dengan luka robek dan jahitan. Ia masih belum ingin mendapatkannya lagi.

"Hailexa, aku peringatkan untuk segera melompat ketika akan jatuh."

"Ketakutanmu berlebihan." Hailexa mengambil posisi di antara kedua lengan Alexander. Ketika skuter itu mulai berjalan, senyum di bibirnya mengembang. "Ini tidak semengerikan yang kau kira."

Alexander mencengkeram erat setir, sekaligus berusaha fokus serta mengendalikannya agar tetap seimbang. Memasuki menit ke lima, ia sudah mulai merilekskan tubuhnya. Hailexa mungkin benar, ini tidak terlalu mengerikan.

"Hailexa, jangan bermain ponsel!" perintahnya sedikit cemas.

"Biar saja. Kau diam dan fokus. Momen ini belum tentu terulang dua kali. Aku harus mengabadikannya."

"Kau ini. Selalu punya alasan untuk membantahku."

Semakin lama kecepatannya semakin bertambah. Hal ini mengakibatkan rambut panjang Hailexa yang terurai bebas menjadi berterbangan. Dia kembali tertawa lepas, menikmati angin yang menerpa wajah cantiknya.

"Alex," panggil Hailexa setelah merasa cukup dengan ponselnya. "Aku bahagia. Terima kasih untuk hari ini."

"Baguslah. Jangan sedih lagi. Kau jelek saat menangis," ledeknya namun memberi kecupan singkat pada puncak kepala Hailexa.

"Kau berhasil mendapatkanku. Kau berhasil memiliki hatiku, Alexander MAlesyarick."

Dengan skuter yang masih terus melaju, Alexander bingung harus bersikap seperti apa atas pengakuan Hailexa. Ia menelan ludah, menyembunyikan senyum agar tidak dipandang sebagai orang bodoh. Wajahnya kini sudah memanas atau lebih buruknya memerah. Jantung Alexander benar-benar dibuat lemas.

Alexander mengaku kalah setiap kali Hailexa melontarkan kalimat manis, pujian, atau bahkan rayuannya. Ia tak sanggup berpikir sekarang. Seperti remaja yang baru pertama kali jatuh cinta. Alexander sampai harus menatap ke arah lain demi membiarkan bibirnya tersenyum walau sesaat.

"Alex Alex! Perhatikan jalannya! Arah mana yang kau lihat? Jangan melamun!" pekik Hailexa kencang ketika skuter yang mereka kendarai nyaris kehilangan keseimbangan.

Sial. Ini memalukan.