Chereads / THE SECRET AGENT! / Chapter 35 - Berusaha Memecahkan Teka-Teki

Chapter 35 - Berusaha Memecahkan Teka-Teki

Emma menepuk lengan Amore pelan. Wajahnya sengaja didekatkan agar lebih mudah untuk berbisik. "Kupikir sudah saatnya mencari pendamping baru. Tipemu yang seperti apa? Mungkin aku bisa membantu."

"Aku sudah memikirkan itu, Emma. Belum ada yang cocok. Bicara soal tipe, mungkin aku akan suka yang sepertimu."

"Sayangnya Emma hanya ada satu dan seseorang sudah memilikinya, Amore. Jika kau ingin yang mirip dengannya, hanya ada Morgan."

Alexander menggigit bibir kuat-kuat saat suara maskulin mengetuk pendengarannya. Dalam hati ia bersorak senang, mendapati Terry bicara dengan nada penuh peringatan. Bagaimana cara membuat agar situasinya semakin panas?

"Apa yang kalian bicarakan? Terdengar menarik," sambung Terry dengan tangan yang melingkupi pinggang Emma. Jasnya hitamnya bahkan sudah dilepas guna menutupi area punggung yang terbuka.

"Bukan sesuatu yang penting. Amore punya seorang putra, mungkin kami bisa dekat selayaknya saudara," ujar Alexander menimpali sekaligus membuat Terry semakin terbakar.

"Oh Parta, dia pasti senang bertemu denganmu."

Terry menatap Alexander lekat. "Satu-satunya cara adalah kau bisa menjadi kakak iparnya, tapi kurasa itu mustahil. Nicholla punya pilihan sendiri. Aku juga tidak akan langsung setuju." Sekarang tatapannya beralih pada Amore. "Lalu tadi kau bilang apa, Parta?"

"Ya, putramu yang memintaku memanggilnya Parta. Ada masalah, Peterson?"

Terry tertawa, lebih tepatnya mengisyaratkan ketidaksukaan. "Peterson mana yang kau maksud? Ada tiga orang yang sedang berdiri di dekatmu."

Seolah tak rela memberikan waktu bagi Amore untuk menjawab, Terry langsung menyela, "Waktunya pulang. Aku sudah berpamitan pada tuan rumah. Senang bisa bicara denganmu, Amore. Selamat malam."

"Sampai jumpa lain waktu, Amore," pamit Emma sebelum berjalan menjauh.

"Seharusnya kau ucapkan selamat tinggal, Emma. Well, aku meminta penjelasan. Ini ide dari kalian atau Amore yang menghampiri terlebih dahulu?"

Alexander mengedikkan bahu, mengabaikan ucapan Terry kemudian melangkah lebih cepat. Emma sendiri juga melakukan hal yang serupa. Jas milik Terry sengaja dilepas kemudian meminta Alexander untuk menggenggam tangannya. Mereka berdua segera meninggalkan Terry yang sedang menatap heran sekaligus memaki dalam hati.

***

Masih terletak di region yang sama dengan Turin yaitu Piedmont, Verbania menjadi kota yang keberadaannya tidak bisa dilewatkan begitu saja. Jika Turin memiliki posisi yang dekat dengan Prancis, maka Verbania berdekatan dengan Swiss. Ada banyak destinasi menarik yang bisa dikunjungi, danau menjadi salah satunya. Sayang, kehadiran Hailexa di kota ini bukanlah untuk berlibur.

Ketika Alexander mengatakan sedang dalam perjalanan menuju Milan, keesokan paginya Hailexa ikut pergi meninggalkan Turin. Ini adalah hari keduanya berada di Verbania. Kemarin Hailexa lebih banyak menghabiskan waktu di kamar hotel atau berbincang dengan Bedric. Untuk hari ini situasinya jelas berbeda. Usai sarapan, anggota tim yang ikut diminta untuk segera tiba di lokasi karena ada banyak pekerjaan yang menunggu.

Hailexa memeluk lengan selepas keluar dari mobil. Langit sedang cerah, tidak tampak tanda-tanda akan hujan namun hawanya terasa dingin.

"Bukankah aku sudah mengatakan padamu untuk mengenakan jaket atau mantel."

Bibir Hailexa menipis bersamaan dengan Bedric yang memakaikan jaket pada pundaknya. "Ini masih jauh dari musim dingin. Cuacanya juga sedang bagus, jadi kupikir akan hangat."

"Apa yang bisa kau harapkan dari kota ini? Letaknya berdekatan dengan Swiss dan pegunungan. Sudah, kita masuk saja."

Tak ada kalimat bantahan yang bisa terucap. Hailexa mengikuti Bedric memasuki rumah yang struktur bangunannya ala rumah tradisional Italia. Ukurannya termasuk kecil, tidak memuat banyak ruang. Saat kakinya menginjak ruang tengah, Hailexa disuguhi pemandangan di mana Alesya baru selesai berbincang dengan wanita tua berambut putih.

"Wanita tadi ibu dari Simone. Beliau mengatakan jika Simone berada di rumah sekitar satu minggu. Entah apa alasan pria itu pulang ke Verbania. Tingkahnya juga sedikit aneh dan tiga hari lalu dia pergi, namun belum kembali hingga sekarang."

Simone Panza, salah satu pegawai yang bekerja di toko daging milik Barvo sekaligus pernah berurusan soal uang dengannya.

"Simone yang sebelumnya aktif berbicara, mendadak jadi pendiam dan mengurung diri. Dia juga tidak bisa memasak, tetapi saat pulang sering menghabiskan waktu di dapur."

"Sudah periksa dapurnya?" tanya Bedric.

Alesya mengangguk. "Tidak ditemukan apa pun. Terlihat seperti dapur yang normal. Aldrich sudah memastikan semuanya."

"Aldrich juga manusia yang bisa melewatkan hal penting. Aku akan memeriksanya sekali lagi."

Hailexa bergegas menyusul Bedric, mengabaikan Alesya yang masih terdiam tanpa sepatah kata. Sebenarnya ucapan Alesya tidak salah, dapur ini benar-benar terlihat normal. Terdapat meja makan dengan kapasitas empat orang yang diletakkan di tengah-tengah. Beberapa perabotannya terbuat dari kayu, dindingnya dicat putih dan kuning gelap sehingga menimbulkan efek hangat.

Bedric mulai membuka-buka laci serta lemari yang ada. Laki-laki itu mengamati setiap sudut dengan detail, sekaligus memotret beberapa sisi dengan kamera di genggamannya. Hailexa berjalan ke sisi lain, menjauhi jendela. Satu tangannya marik sebuah laci. Di sana tersimpan dua buah buku catatan, tiga buah pena, serta sebuah kaleng yang penuh dengan uang koin. Buku catatan tadi berisi berbagai resep masakan yang ditulis tangan. Satu bukunya sudah penuh, maka dari itu terdapat buku yang lain.

Buku catatan yang baru masih terisi sekitar lima belas lembar. Ketika memeriksa pada tiga halaman terakhir, Hailexa mendapati jika tulisan tangan sangat berbeda dari sebelumnya. Tiba-tiba saja ia teringat dengan ucapan Alesya mengenai keanehan tingkah laku Simone.

"Kau benar, tulisan tangannya berbeda," ucap Bedric menyetujui. "Tapi ada apa dengan buku resep?"

"Entahlah." Hailexa mengedikkan bahu sambil kembali mengamati resep yang tertulis. Kemampuannya dalam berbahasa italia memang belum sempurna, namun beruntungnya ia dapat memahami dengan jelas setiap kata yang ada pada buku. "Kurasa Simone benar-benar payah di dapur. Bagaimana bisa dia menuliskan tepung terigu dalam daftar bahan untuk membuat latte macchiato," komentar Hailexa. Sebagai orang yang sedang bekerja di kafe, tentu saja resep ini terasa aneh.

"Dia benar-benar menulis itu?" tanya Bedric kemudian merebut bukunya dengan cepat.

"Untuk apa aku mengarang—Bedric, ada apa?"

Hailexa dibingungkan dengan Bedric yang tiba-tiba bangkit dari kursi dan kembali mengacak-acak lemari serta laci. Laki-laki itu mengeluarkan tiga bungkus tepung terigu, dua di antaranya masih belum dibuka. Bedric mengamati setiap sisi kemasan sebelum akhirnya meraih mangkuk dengan ukuran sedang. Tepung yang tadinya sudah terbuka dituangkan ke dalam mangkuk, dan di saat itulah Hailexa membeo dalam beberapa detik.

Sebuah lembaran kertas yang dirobek secara asal, ditemukan di antara tepung yang sudah dituang. Bedric mengambil kertas itu dan saat dibuka, isinya berupa angka yang ditulis dengan warna tinta yang sama dengan resep.

"Jika angka ini adalah kode untuk huruf, pasti masih ada kertas-kertas yang lain. Kita harus temukan itu Grace."

"Biar kubantu."