"Jadi ini alasan kenapa kau bekerja selama satu minggu penuh?"
Hailexa menatap punggung Alexander dari tempatnya duduk sekarang. Sambil mengiris daging yang baru keluar dari pemanggang, Alexander menganggukkan kepalanya. Hailexa membuang napas. Laki-laki itu belum pergi namun ia sudah seperti akan merindukannya.
Berhenti bersikap menyedihkan, Hailexa. Dia hanya pergi tiga hari.
"Kau yakin tidak ingin ikut?" tanya Alexander kesekian kalinya untuk memastikan.
Ingin, tapi aku tidak bisa. "Tidak," tolak Hailexa cepat. "Aku punya ujian."
"Jarak dari Turin ke Milan tidak jauh. Kita bisa pergi lain waktu."
Alexander meletakkan sepiring daging dengan tingkat kematangan medium ke atas meja counter. Aromanya begitu menggiurkan, membuat siapa pun ingin segera mencobanya. Bukan hanya daging yang tersaji di sana, sayuran seperti asparagus diberikan sebagai pelengkap.
Tangan Hailexa buru-buru meraih garpu yang disalurkan oleh Alexander.
"Hati-hati, Hailexa. Kau bisa jatuh ke belakang," peringatnya sekaligus menahan punggung Hailexa sebab gadis itu duduk tepat di pinggir meja counter. "Lebih baik kau turun."
"Di sini saja. Aku sudah malas pindah."
Ketika Hailexa mulai makan, Alexander berinisiatif mengambil ikat rambut yang tergeletak begitu saja. Ia mengumpulkan rambut Hailexa yang terurai menajadi satu, lalu mengikatnya tinggi-tinggi.
"Kau suka?"
Hailexa langsung menoleh dan mengangguk dengan semangat. Sayangnya aksi Hailexa yang seperti nyaris membuatnya terjatuh. Alexander menggeram pelan. Beruntung ia sedang berdiri tepat di belakangnya.
"Apartemenmu masih punya banyak tempat untuk makan dengan aman. Jangan lakukan ini jika kau sedang sendiri. Jatuh ke belakang punya risiko besar, terlebih jika jatuh dengan posisi duduk."
"Dari mana kau belajar memasak? Sungguh, ini rasanya seperti sedang makan di restoran berbintang. Kenapa kau tidak membuka restoran saja?" tanya Hailexa guna mengalihkan topik pembicaraan.
Alexander sadar akan hal itu, namun juga mengabaikannya. Ia memilih mendekatkan tubuhnya, mengurung Hailexa di antara kedua lengan sehingga kecil kemungkinan untuk jatuh.
"Kau memujiku berlebihan."
"Tidak Alex, aku serius. Kau bilang punya keluarga di Washington. Jika kau membuka restoran di sana, aku akan datang setiap hari."
"Jadi kesimpulannya kau akan kembali ke Washington setelah lulus?"
Hailexa mengangguk. Memang seperti itu rencananya sejak awal. Namun bukan lulus dari kuliah, melainkan ketika kontraknya berakhir. "Kecuali jika aku mendapat pekerjaan bagus di sini," pungkasnya agar tidak membuat suasana berubah buruk.
"Aku yakin kau bisa mendapatkan pekerjaan yang bagus. Tidak peduli di mana tempatnya."
"Kau belum menjawab pertanyaanku. Dari mana kau belajar memasak? Mustahil jika hanya belajar di rumah."
Entah mengapa tiba-tiba Hailexa merasakan Alexander sedang menyandarkan kepalanya di bahu sebelah kiri. Jika sebelumnya lengan laki-laki itu hanya mengapit tubuhnya, kini justru sudah melingkar sempurna. Alexander mengetikkan sesuatu pada ponselnya. Hailexa tidak bisa melihat dengan jelas sebab jantungnya sedang berdegup kencang, membuatnya tidak fokus.
"Pernah melihat restoran ini?" Alexander menunjukkan sebuah foto dari hasil pencarian di internet. "Aku belajar di sana. Diawasi langsung oleh koki utamanya."
Hailexa pernah melihatnya saat sedang berkeliling Turin di awal kedatangannya. Ini restoran besar dengan gaya bangunan Eropa yang begitu khas. Lokasinya tepat di sisi jalan raya. Kendaraan yang berhenti di depan sana, selalu didominasi dengan mobil-mobil mewah. Beberapa pengunjung yang datang bahkan mengenakan setelan yang bisa disebut formal.
"Kau beruntung. Untuk skala restoran seperti itu, kurasa akan sangat sulit agar bisa belajar langsung dari koki utamanya."
Alexander terkekeh, pelukannya pada Hailexa semakin mengerat. "Tidak sulit, tapi ya aku memang beruntung."
"Aku belum melihatmu makan. Kau tidak ingin mencoba masakanmu sendiri?"
"Sudah kenyang. Aku akan makan asparagus dan kentangnya saja. Berat badanku naik drastis akhir-akhir ini dan sudah jarang olahraga. Saat di Milan nanti, aku sudah berencana untuk makan banyak. Jadi kurasa aku harus mengurangi porsi makanku sekarang."
"Alex," pekik Hailexa panjang karena begitu terhibur. "Lucu sekali. Baiklah, lakukan itu asal tidak menyakiti dirimu sendiri."
"Tenang saja, aku tahu aturannya. Kau pikir dari mana aku bisa mendapatkan tubuhku yang seperti ini jika makan asal-asalan?"
"Sejak di Turin aku juga jarang olahraga. Nyaris tidak pernah selama dua bulan ke belakang."
Tawa Alexander mengurai. "Kalau begitu kau harus lari pagi denganku suatu hari nanti."
Hailexa buru-buru memutar tubuh. Ia langsung mendekap tubuh Alexander erat. Kedua kakinya bahkan mengurung laki-laki itu sehingga mereka bisa jadi lebih dekat.
"Tentu. Aku yang akan atur jadwalnya." Telapak tangan Hailexa digunakan untuk menyusuri masing-masing lengan keras milik Alexander. "Kau sudah sampai seperti ini. Seharusnya mengontrol pola makan dan rajin olahraga bukan hal yang sulit."
"Aku suka makan, terlebih ketika sedang bahagia. Setelah bertemu denganmu," Alexander sengaja menggantung kalimatnya. Ia lebih memilih untuk mencium bibir serta kening gadis di hadapannya. "Simpulkan saja akhirnya."
"Jadi sebelum bertemu denganku, kau tidak bahagia?"
"Aku bahagia, tepatnya jauh lebih bahagia dari beberapa tahun sebelumnya. Setiap orang pasti punya masa suram, bukan?"
Sangat jelas jika yang Alexander maksud adalah bagian dari masa lalunya dengan Teresa. Hailexa benci ketika momen manis yang terjadi di antara mereka, selalu dirusak dengan kehadiran nama orang lain. Ini bukan salah Alexander, ini salahnya. Pikiran Hailexa selalu cepat setiap kali menghubungkan Alexander dengan Teresa. Hanya ada satu cara untuk menghentikannya, yaitu dengan kembali meminta penjelasan.
Jangan sekarang, Hailexa. Waktumu jelas tidak tepat.
"Aku suka alismu. Iri mungkin adalah kata yang tepat."
Alexander menaikkan satu alis tebalnya, seolah ingin mengatakan, kau serius? "Ini hanya alis. Lagi pula tidak benar-benar bagus." Alexander menekuk lutut, berusaha menyamakan tingginya dengan Hailexa. "Perhatikan. Ada yang tidak lurus."
Laki-laki ini benar. Jika diperhatikan lebih dekat, bentuk kedua alisnya tidak sama persis. "Kenapa bisa seperti ini?" tanya Hailexa seraya menyapukan ibu jarinya pada alis Alexander.
"Ingat saat aku mengatakan takut naik sepatu roda, ice skating, atau skateboard? Aku pernah jatuh dari sepatu roda hingga sudut alisku robek dan harus dijahit. Usiaku sedang menginjak empat belas tahun kala itu."
"Kau pasti masuk dalam kumpulan anak-anak nakal saat sekolah."
"Mana mungkin. Aku ini siswa yang taat dengan peraturan. Tanyakan saja pada Allard atau Austin." Alexander berdeham, kemudian menangkup wajah Hailexa dengan kedua tangannya. "Ini sudah malam. Kau ada jadwal kuliah besok pagi. Aku juga punya shift pagi. Setelah aku pulang, kau harus langsung tidur."
"Kau akan pulang ke apartemen atau ke rumah?"
"Apartemen agar besok pagi tidak terburu-buru. Jangan tunjukkan ekspresi yang membuatku ingin menginap. Jika itu terjadi, kita akan bicara sepanjang malam seperti beberapa hari lalu. Kau butuh tidur yang cukup, Hailexa."
Meski sudah diperingatkan, Hailexa tetap saja menunjukkan ekspresi sedihnya. Ia bahkan kembali memeluk tubuh Alexander erat-erat. "Ayolah, aku akan langsung tidur jika kau menginap. Tidak ada film, cerita lucu, horor atau semacamnya. Kumohon, Alex," pintanya.
"Sebenarnya perbuatan baik apa yang kau lakukan, hingga membuatmu jadi menggemaskan sekaligus mampu meluluhkanku."
Kedua bahu Hailexa terangkat bersamaan. "Aku ini spesial," pamernya.
"Baiklah baiklah. Tunggu di sini, aku harus bersihkan dapurnya."
Karena Alexander, Hailexa juga jadi bertanya-tanya. Perbuatan baik apa yang pernah ia lakukan? Kedatangannya di Turin membawa begitu banyak kabar bahagia. Walau sedikit berat dalam pekerjaan, namun Hailexa masih bisa mengatasinya.
Ia dipertemukan dengan orang-orang baik seperti Bedric, Alesya, Nyonya Marni, bahkan Vanya. Tak cukup sampai di situ, kehadiran Alexander jelas menjauhkannya dari mimpi buruk. Sebelumnya Hailexa begitu takut sebab harus tinggal seorang diri di Turin. Beruntung sekali laki-laki itu datang dan mengajarkannya banyak hal.
Namun dibalik ini semua, masih ada beban yang begitu mengganjal. Bagaimana cara untuk memberi tahu pada Alexander soal identitas aslinya? Mungkin laki-laki itu bisa menjaga rahasia, tetapi apakah setelahnya Alexander tetap bisa menerima dirinya sebagai Hailexa yang sama?
Tidak, jangan sekarang. Jangan juga dalam waktu dekat. Hailexa masih belum ingin melihat Alexander menjauh karena ia sudah tidak jujur sejak awal. Itu akan jadi mimpi buruk. Hailexa akan pikirkan jalannya. Selalu ada cara untuk mengatasi setiap masalah.