Puluhan ribu orang berjalan memadati pintu keluar Allianz Stadium—dikenal juga sebagai Juventus Stadium, yang merupakan stadion sekaligus markas bagi klub sepak bola ternama asal Italia. Pertandingan hari ini begitu menegangkan, terlebih ketika memasuki menit-menit terakhir. Selisih dari waktu gol yang dicetak berhasil membuat penonton tercengang, padahal sebelumnya seperti tidak ada harapan untuk menang.
Allard bersorak kencang, melompat, serta mengepalkan tangan. Laki-laki ini terlalu senang karena klub sepak bola favoritnya unggul sebanyak tiga poin dalam pertandingan. Akan tetapi suasana hati Allard berbanding terbalik dengan Austin. Setelah pertandingan berakhir, dia hanya cemberut dan jadi irit bicara. Alexander yang bersikap netral hanya bisa geleng-geleng kepala, tidak tahu harus berkomentar apa.
"Ayolah Austin," Allard melebarkan kedua lengannya lalu memeluk bahu Austin erat-erat, "seperti klub favoritmu tidak pernah menang saja."
Austin masih diam, enggan menanggapi Allard namun tidak mendorong laki-laki itu menjauh seperti sebelumnya.
"Kau manis sekali saat merajuk," imbuh Allard sengaja menggoda. "Katakan, ingin kukenalkan pada gadis seperti apa?"
"Diamlah Allard!"
Alexander melangkah maju, mengambil posisi di tengah-tengah. Ia merangkul Austin dan Allard secara bersamaan. "Sudah sudah. Kita pergi makan, aku yang traktir," ujar Alexander hingga membuat Austin menepuk-nepuk punggungnya.
"Seharusnya ini bagian Allard." Austin kembali buka suara, mungkin suasana hatinya sudah membaik. "Kemenangan perlu dirayakan."
"Mentraktirmu makan setelah kau mengabaikanku? Tentu tidak semudah itu, Austin. Biar Alex saja. Kita akan makan di mana?"
"Di mana lagi, seperti biasa tentunya."
Kompak. Allard dan Austin langsung menarik diri menjauh dari rangkulan Alexander. Mereka berdua berhenti sejenak dan saling menatap. Ekspresi wajahnya berubah kesal, geram, serta menahan marah.
"Dua orang temanku berubah menjadi sangat menyebalkan hari ini."
"Sialan kau Alex! Pikirkan kembali penggunaan kata traktir."
Tawa Alexander tidak bisa dihentikan meski saat ini mereka tengah duduk sambil menunggu makanan datang. Ia sesekali memegangi perutnya yang terasa sakit karena terlalu lama tertawa. Allard menutup telinga, sedangkan Austin sudah memasang airpods di telinganya.
Alexander sadar jika dua temannya ini kesal. Mereka sudah berpikir jika akan diajak ke restoran cepat saji atau semacamnya. Namun harapan itu runtuh karena tempat yang dimaksud Alexander adalah restoran milik keluarganya. Ini sama seperti makan di rumah sendiri.
Jangan ada kata traktir Alex! Kau saja tidak keluar uang sedikit pun.
"Beruntung kita bisa gunakan private room. Kalau tidak, kau pasti sudah jadi pusat perhatian," cibir Allard yang sedang bertopang dagu. "Alex, kau tidak ada jadwal di kafe hari ini?"
"Tidak. Aku mengambil jatah liburku. Kenapa?"
"Bagaimana Hailexa? Aku tidak pernah mendengar kau bercerita tentangnya."
Samar-samar Alexander kembali mengingat apa yang mereka lakukan terakhir kali. Ia menggigit bibir dan mulai kebingungan. "Dia tahu soal Teresa. Ini karena Judith datang ke kafe dan tanpa sengaja membicarakannya."
Austin yang menyadari jika topik mulai serius langsung melepas airpods dan mencondongkan tubuh. "Lalu apa yang kau katakan?" tanyanya penasaran. Allard yang masih menyimak ikut menggeser posisi duduknya.
"Tidak ada. Sesuatu terjadi dan menahanku untuk mengatakannya."
"Apa dia marah? Merasa cemburu?"
"Kurasa tidak."
Kedua alis Allard saling bertautan karena dahinya mengernyit. Laki-laki itu merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Alexander dan Hailexa, mereka seperti tidak ada perkembangan. "Alex, jika kau tidak benar-benar tertarik pada Hailexa, maka jangan buat dia berharap lebih."
"Hebat juga player sepertimu bicara soal tidak memberi harapan pada gadis," ledek Austin terang-terangan.
"Aku menyukainya. Apa kalian pernah menangkap basah diriku mempermainkan perasaan orang lain?"
Keduanya bungkam. Alexander memang bukan jenis laki-laki seperti itu. Berpikir untuk sekadar bercinta dalam satu malam saja tidak pernah. Jadi mustahil jika dia hanya ingin main-main dengan Hailexa.
"Apa kau sudah pernah mengajaknya berkencan?"
"Berkencan dalam artian pergi ke suatu tempat, maka belum pernah. Kami lebih sering menghabiskan waktu di kafe, bermain scrabble word, menonton film di apartemen, atau belajar. Ya belajar. Dia masih sering ragu saat bicara bahasa italia."
Allard menggeram pelan. Kenapa Alexander mendadak kaku dalam mendekati seorang gadis? Ke mana perginya Alexander yang mampu membuat perempuan jatuh hati, walau hanya menceritakan kisah sederhana dengan bonus aksen british.
"Keterlaluan," Austin menimpali. "Kau semakin hari semakin payah. Cepat atau lambat dia pasti akan kembali bertanya soal Teresa. Aku tidak bermaksud membawanya ke dalam percakapan kita. Namun kurasa Hailexa berhak tahu soal masa lalumu."
"Dengar. Teresa sudah selesai. Bukan hal penting menceritakan siapa dia kepada Hailexa. Sepeti yang kau katakan, dia hanya masa lalu."
"Sikapmu yang seperti itu bisa membuatnya berpikir jika kisahmu dengan Teresa terlalu manis sampai tidak bisa dilupakan. Mungkin Hailexa terlihat biasa saja, namun yang sebenarnya dia mencoba menekan rasa cemburunya. Ceritakan sedikit bukan hal yang berat."
"Tidak. Aku bisa mengatakan padanya jika aku dan Teresa berakhir dengan cara buruk. Tidak perlu bercerita apa yang sebenarnya terjadi," tolak Alexander atas saran dari Allard.
Napas Austin berembus kasar. "Kalau begitu minimal kau ajak dia berkencan selain di apartemen atau kafe. Jika kau bergerak lambat, jangan heran jika ada laki-laki lain yang bisa menarik perhatiannya."
Mata Alexander berkedip beberapa kali. Ia mendadak teringat laki-laki yang mengantar Hailexa ke kafe dan sukses membuatnya cemburu buta. Efeknya tidak main-main. Alexander merasa sedikit menyesal atas hal itu. Dari sekian banyak cara, kenapa mereka justru berakhir di ranjang dengan cara yang kurang romantis.
Saran dari Austin boleh dipertimbangkan. "Baiklah. Aku suka saranmu."
"Alex. Apa kau sengaja tidak ingin membahas Teresa karena masih takut atau terbayang-bayang?"
Ya, Allard benar. Satu-satunya alasan Alexander tidak bisa membicarakan Teresa karena ia masih takut. Takut untuk kembali kecewa atau patah hati. Reaksi dari tubuhnya hari itu semakin memperkuat alasan. Alexander memilih bungkam. Baik Allard atau Austin pasti memahaminya.
"Sudah lupakan. Kau pasti tahu apa yang baik untukmu," tukas Allard guna mengalihkan topik. "Sadar tidak, kita bertiga tidak ada yang benar-benar sukses dalam urusan hati."
"Siapa yang paling menyedihkan?" tanya Alexander yang sudah menganggap pembicaraan ini sebagai sebuah ajang untuk bercanda sekaligus mengadu nasib.
"Kita semua. Tapi aku berada di satu tingkat lebih baik dari kalian." Austin membanggakan diri. "Jangan marah padaku. Ini fakta."
Untuk kesekian kalinya Alexander berhasil dibuat tertawa oleh teman-temannya. Allard dan Austin juga melakukan hal serupa hingga ruangan penuh dengan suara kekehan geli. Sayangnya momen itu berhenti ketika mendengar suara pintu yang dibuka dengan kasar. Bukan makanan mereka yang datang, melainkan Sydney dengan tas yang menggantung di pundaknya.
"Bisakah kau mengetuk pintu, Anak Manis," sarkas Alexander.
"Aku sedang ingin serius. Bantu aku mengerjakan tugas matematika. Tolong, kumohon," pinta Sydney dengan ekspresi memelasnya.
Alexander menipiskan bibir. Ia sudah menduga jika Sydney datang karena butuh bantuan. "Berhubung aku sedang malas, maka Austin saja. Aku dengar kebanyakan orang Asia pandai dalam matematika. Austin, aku serahkan Sydney padamu," ucapnya.
"Teori dari mana? Ingat, aku hanya punya setengah darah Asia."
Allard menyahut, "Tiga per empat kurasa. Wajah Asiamu terlalu mendominasi. Ah, tapi memang kemampuan matematikamu paling baik di antara kita bertiga."
Tidak bisa membantah ataupun menolak, Austin yang pasrah langsung meminta Sydney untuk duduk di sebelahnya. Sebelum mengeluarkan bukunya, gadis itu melemparkan senyumnya yang menawan pada Allard. Ada binar di matanya yang membuat satu alis Allard terangkat sebab bertanya-tanya.
Alexander paham situasi ini namun memilih bungkam sekaligus menahan tawa.
"Allard. Aku mengambil kelas bahasa prancis tahun ini. Bantu aku menulis karangan sederhana, ya? Kumohon," katanya yang sukses membuat mata Allard membulat serta melempar tatapan tajam.