Chereads / THE SECRET AGENT! / Chapter 22 - Izinkan Aku Memelukmu

Chapter 22 - Izinkan Aku Memelukmu

Kedengarannya sepele, akan tetapi Alexander terlalu senang ketika tahu jika buku yang dilihatnya tempo hari bukanlah milik Hailexa. Seluruh pertanyaan dan hal-hal yang membuatnya bingung sekarang sudah hilang. Perkara siapa teman laki-laki Hailexa bukan sesuatu yang penting. Dirinya memang sempat cemburu, namun sekarang tidak lagi.

Setelah sentuhan manis semalam, Hailexa belum juga bangun meski jam sudah melewati pukul sepuluh. Alexander sengaja membiarkannya karena tahu dia pasti lelah. Setidaknya menunggu sampai sarapan yang dibuatnya siap.

Jujur saja, Alexander nyaris meminta Hailexa untuk menjadi kekasihnya. Akan tetapi setelah dipikirkan ulang, ada beberapa alasan yang membuatnya memilih untuk mengurungkan niat. Mereka memang saling menyukai, Alexander pun merasa jika mulai mencintai Hailexa. Namun bagaimana dengan gadis itu?

Pertemuan mereka bisa dikata singkat. Dulu Alexander butuh waktu minimal enam bulan baru bisa meminta seorang gadis untuk jadi kekasihnya. Pengalaman terakhir yang membuatnya ragu dengan semua ini. Alexander tidak ingin kejadian yang sama terulang. Di mana hatinya sudah jatuh terlalu dalam, namun tiba-tiba disingkirkan dengan alasan yang menyakitkan.

Jika butuh waktu lama masih bisa tersakiti, bagaimana dengan yang singkat?

"Aku tahu kau di belakang," celetuk Alexander menyadari kehadiran Hailexa. "Kemari, aku buatkan sarapan untukmu."

Punggung Alexander berubah tegak ketika Hailexa memeluknya dari belakang.

"Bukankah ini sudah terlambat untuk sarapan?" tanya Hailexa dengan suara khas bangun tidur.

"Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Duduklah."

"Apa yang kau buat? Baunya enak."

Sebelum menjawab, Alexander menyempatkan dirinya untuk terkekeh. "Bisakah kau cukup bertanya saja? Tanganmu tidak perlu masuk ke dalam pakaianku," katanya tanpa menahan atau menyingkirkan kedua tangan Hailexa. "Kami menyebutnya frittata. Ini telur yang dicampur dengan sayur, daging, dan keju."

"Bahan-bahannya tidak jauh berbeda dengan omelette."

"Sebut saja omelette dan frittata punya konsep yang sama. Menurutku, akan lebih enak jika frittata dipanggang dengan oven. Berhubung tempat ini tidak punya oven, dimasak di atas kompor saja sudah cukup. Jika tidak suka telur, kau bisa makan yogurt dan blueberry dulu. Aku akan siapkan roti."

Hailexa menggeleng. Alexander bisa rasakan itu sebab wajah Hailexa menempel tepat di punggungnya. Tangan gadis itu juga masih berada di tempat yang sama. "Aku akan makan ini saja. Alex," panggilnya.

Alexander menjawab dengan gumaman pelan.

"Mantan kekasihmu Leanore. Kenapa kalian berpisah? Kau boleh tidak menjawabnya jika merasa tidak nyaman."

Leanore. Tidak ada alasan spesifik yang bisa menjelaskan kenapa hubungan mereka berakhir. Alexander sendiri tidak bisa menjelaskan bagaimana detailnya. Leanore pun sama. Hubungan itu seperti harus berakhir saja.

"Hubungan yang dimulai saat usia remaja, sering kali tidak berakhir di tingkatan yang lebih serius. Cukup mengesankan karena bisa bertahan beberapa tahun, mengingat ini pertama kalinya bagi kami. Untuk alasan kenapa berakhir, sungguh aku tidak bisa menjelaskannya. Mungkin karena sudah merasa tidak cocok sebagai pasangan."

"Kalian tidak bertengkar sebelum memutuskan untuk berpisah?"

Alexander menggeleng. "Aku dengannya sepakat jika lebih baik menjadi teman saja. Maka dari itu, setelah berakhir kami masih sering pergi bersama. Leanore memang sedikit menyebalkan. Dia masih suka menggodaku. Namun aku tahu, dia tidak punya niatan lebih untuk kembali menjalin hubungan."

"Dia teman sekolahmu?"

"Kami bahkan pernah berada di kelas yang sama. Tidak ada yang terlalu spesial dari hubungan itu. Apa yang terjadi hampir sama dengan pasangan remaja pada umumnya."

"Bagaimana dengan Teresa?"

Pisau yang sebelumnya digunakan untuk memotong frittata, kini terlepas begitu saja. Alexander tidak langsung bicara, melainkan mengamati tangannya yang terasa lemas. Dadanya terasa sakit. Tidak bisa dimungkiri, jika Hailexa merasakan ada yang berbeda dari Alexander.

"Aku mendengarnya saat kau berbicara dengan teman perempuanmu yang datang ke kafe."

Dengan suaranya yang bergetar, Alexander mencoba untuk kembali menyebut nama yang sering mengacaukan pikirannya. "Teresa ya?"

"Jika tidak ingin mengatakannya, tidak apa-apa."

"Teresa. Dia mantan—" Kalimat Alexander terputus karena terdengar dering ponsel milik Hailexa. Gadis itu melepaskan pelukannya, mengambil ponsel yang diletakkan di atas meja.

"Grandma!" pekiknya. "Aku harus bicara sebentar."

Usai Hailexa meninggalkan dapur, Alexander buru-buru mengambil napas melalui mulut. Telapak tangannya mengeluarkan keringat dingin. Rasa mual pun turut menghampiri. Dengan langkah kaku, sambil memegangi dadanya Alexander meraih gelas kosong lalu mengisinya dengan air mineral.

Butuh waktu kurang dari satu menit baginya membuat gelas kembali kosong. Perasaannya kini sedikit lebih tenang, akan tetapi tubuhnya masih lemas. Alexander sudah menduga jika Hailexa akan menanyakan hal ini. Namun hal yang tak pernah diduga ialah reaksi dari tubuhnya. Alexander pikir seluruh bayangan mengenai Teresa mulai menyusut seiring kehadiran Hailexa. Nyatanya tidak semudah itu walau sudah hampir dua tahun berlalu.

Disela-sela waktu Alexander mengatur napas, tanpa sengaja lengannya mengenai gelas dan membuatnya jatuh lalu pecah. Alexander yang sedikit panik, langsung berjongkok dan mulai memunguti pecahan kaca yang berserakan di lantai.

"Alex. Aku mendengar ada sesuatu yang jatuh."

"Akh," ringis Alexander ketika pecahan itu menggores telapak tangannya.

"Membersihkan dengan cara seperti itu hanya akan melukai dirimu sendiri. Biarkan saja, lukamu lebih penting. Jangan sampai ada serpihan yang masuk. Di mana kau menyimpan kotak obatnya?"

"Ambil yang di kamar mandi. Isinya lebih lengkap."

Alexander mengamati darah yang terus menetes. Ia tak mampu berbuat apa-apa selain diam. Ini baru akan menjelang siang, namun harinya sudah terasa begitu kacau. Alexander sangat ingin menceritakan soal Teresa, namun tidak untuk saat ini. Nanti, saat dirinya benar-benar siap.

"Sedikit beruntung karena tidak begitu dalam," ujar Hailexa setelah membantu Alexander membersihkan lukanya.

"Kau suka frittatanya?"

Hailexa mengangguk tepat setelah melakukan suapan pertama.

"Bicara apa saja dengan Grandma?"

"Hanya percakapan biasa. Grandma merindukanku."

"Kenapa kau tidak mengunjunginya? Aku bisa mengantarmu," tawar Alexander.

Hailexa mengigit bibir. "Orta San Giulio. Di sana Grandma tinggal."

"Itu hanya butuh waktu sekitar dua jam dari Turin. Kau yang tentukan kapan kita pergi." Ada senyum bahagia sekaligus lega ketika melihat ekspresi Hailexa. Setidaknya sekarang ini gadis itu melupakan rasa penasarannya mengenai Teresa.

Tatapan Hailexa mengarah tepat pada Alexander—begitu hangat. Lelaki ini menyadarinya, namun hanya diam dengan eskpresi kosong. Diamnya bukan tanpa alasan, melainkan menanti Hailexa untuk buka suara.

"Bagaimana caraku berterima kasih kepadamu? Aku..." Wajah Hailexa diusap kasar. "Sejak bertemu kau terus membantuku. Sampai detik ini pun kau belum meminta bayaran untuk tutor. Aku, aku takut tidak bisa membalas kebaikan yang sudah diberikan."

Bibir Alexander mengerucut, merasa terhibur mendengar pernyataan Hailexa. "Kau tahu. Ketika kita memutuskan untuk membantu seseorang, jangan pernah mengharapkan imbalan atau berekspektasi terlalu tinggi. Lagi pula aku tidak sepenuhnya membantumu. Kita berbagi. Aku membagikan apa yang kumiliki. Sisanya terserah padamu," tuturnya tanpa mengalihkan pandangan sedikit pun.

"Mr. Maverick, izinkan aku untuk memelukmu."

Kekehan kecil Alexander bukan disebabkan karena Hailexa yang meminta izin, melainkan sebutan Mr. Maverick. Nyaris tidak ada orang yang ia kenal memanggilnya dengan nama itu, meskipun belum tahu jika nama belakangnya adalah Peterson. Salahnya memang memperkenalkan diri bukan sebagai Alexander Peterson, tetapi biar saja, ini hanya masalah susunan nama. Alexander tidak ingin mengatakan kebenarannya pada Hailexa sekarang. Gadis itu bisa malu karena salah dan berpotensi merusak suasana manis yang sedang terjadi.

"Kemari. Tidak perlu meminta izin, kau bisa memelukku kapan saja."