"Merasa pusing?"
Hailexa menoleh dan mendapati Bedric sudah berdiri di sisi mejanya. Satu tangan Bedric digunakan sebagai tumpuan pada meja, sisanya berkacak pinggang. Alis laki-laki itu bergerak naik turun, seolah paham dengan yang Hailexa rasakan.
"Lumayan. Aku takut membuat kesalahan. Maaf jika pekerjaanku lambat."
"Santai saja. Kami tidak terburu-buru. Sudah kau dapatkan koordinatnya? Jika sudah, kirimkan padaku."
Mata Hailexa kembali fokus pada komputer. Dalam lima detik, terdengar suara denting dari ponsel yang digenggam Bedric.
"Bagus. Kau dapatkan lokasi mereka," puji Bedric bangga. "Karena ini kerja kerasmu, apa kau berkenan jika ikut kami pergi ke lokasi?"
"Memangnya boleh? Aku masih baru di sini."
"Baru atau lama bukan masalah. Ini juga bagian dari pekerjaanmu."
Tidak perlu diperintah dua kali, Hailexa langsung mengikuti Bedric dengan berjalan di belakangnya. Mereka keluar meninggalakan gedung menuju area parkir. Mobil yang dikendarai Bedric melaju dengan kecepatan sedang, mengikuti dua mobil lain di depannya.
"Buka dashboard. Pegang benda itu setelah turun nanti."
Hailexa tidak lagi terkejut ketika dashboard yang ia buka berisi dua buah pistol. Tangannya gemetar ketika menyentuh permukaan pistol. Hailexa sudah beberapa kali menggunakannya dalam sesi latihan, namun tetap saja belum terbiasa. Pistol yang kemarin pun hanya disimpan begitu saja di apartemen.
Sedikit bergeser dari pusat kota, Bedric menghentikan mobilnya di pinggir jalan raya. Kini mereka semua masuk ke sebuah jalanan kecil, di mana terdapat rumah-rumah bertingkat di setiap sisinya. Bedric menarik lengan Hailexa agar berhenti berjalan. Dibuatlah jarak sekitar dua sampai tiga meter dari kerumunan, menunggu tim yang bertugas untuk memperoleh izin dari pemilik rumah.
"Bedric. Tiga lantai. Tiga ruangan di lantai dua. Dua ruangan di lantai tiga."
"Apa maksudnya itu?" tanya Hailexa tidak mengerti.
"Hanya deskripsi bagian dalam rumah. Kau tahu. Rumah-rumah di sini kebanyakan memiliki fungsi seperti apartemen. Biasanya lantai satu diperuntukkan bagi pemilik rumah. Sisanya disewakan."
Bersama Bedric, Hailexa ikut masuk menjelajahi setiap sudut rumah. Tidak ada yang aneh dari tempat ini, terlihat seperti rumah yang penuh kehangatan. Saat naik ke lantai dua, beberapa orang sudah berdiri di depan ruangan mereka, kebingungan akan hal yang sedang terjadi saat ini.
"Aku melihat pemiliknya dua hari lalu. Kami hanya diam. Dia lewat begitu saja," ungkap seorang pria tua yang merupakan pemilik rumah.
Satu tangan Bedric terangkat, mengarahkan pistol tepat pada salah satu pintu ruangan di lantai dua. "Buka sekarang," desisnya.
Kosong. Tidak ada seorang pun yang berdiri di balik pintu. Hailexa yang berada di belakang Bedric, ikut melangkah masuk bersama laki-laki itu ke dalam. Bibir Hailexa terbuka lebar, ketika menemukan seorang wanita tergeletak di atas lantai. Posisinya telungkup. Rambut wanita itu berwarna pirang, membuat bekas rembesan darah pada bagian belakang kepalanya terlihat jelas.
"Tidak ada denyut pada nadi."
Tubuhnya kaku dan pucat. Hailexa menduga, jika wanita ini tewas karena kepalanya dihantam oleh sesuatu yang keras. Namun saat diperhatikan di sekeliling, belum tampak benda yang berpontensi menyebabkan luka parah pada kepala. Apa mungkin pelakunya kabur dengan membawa senjata?
"Balok es," celetuk Bedric.
"Apa?"
"Balok es. Ada kemungkinan jika kepalanya dihantam dengan balok es dengan ukuran besar."
"Bagaimana bisa kau menyimpulkan seperti itu?"
Jari telunjuk Bedric menunjuk ke arah jasad di atas lantai. Mata Hailexa mengikuti arah yang dimaksud Bedric. Pada awalnya Hailexa masih belum menemukan sesuatu yang akan menjawab kebingungannya. Namun setelah melihat lantai yang basah, Hailexa baru mengerti apa yang dipikirkan Bedric.
Dilihat dari bekas darah pada kepala, wanita ini sudah cukup lama meregang nyawa. Bekas darah pada kepala serta pakaiannya sudah mengering. Sayangnya sisa-sisa dari balok es yang mencair masih menggenang di sekitar tubuhnya.
Siapa pun pelakunya, dia benar-benar pintar. Balok es yang mencair tidak mungkin meninggalkan jejak berupa sidik jari.
"Ini hanya dugaanku saja. Kita butuh hasil autopsi untuk mengetahui sesuatu yang lebih pasti."
"Bedric," panggil suara yang lain dari tempat yang berbeda.
Penasaran dengan apa yang terjadi, Hailexa kembali mengekori ke mana Bedric melangkah. Kamar mandi. Hailexa kira tim akan menemukan barang bukti milik pelaku. Sialnya apa yang ditemukan jauh dari perkiraan.
Detik ini juga Hailexa ingin muntah. Selain karena bau busuk dan anyir, pemandangan di depan matanya lah yang memaksa sesuatu untuk keluar melalui mulutnya. Seorang pria terbaring di dalam bathtub yang dipenuhi dengan bekas darah. Pria ini dibantai tepat di bagian leher. Buruknya lagi, satu bola matanya hilang.
"Grace, are you okay?"
Hailexa tidak bisa berbohong pada Bedric. Ekspresi di wajahnya sangat menunjukkan jika dalam keadaan tidak baik-baik saja.
"Lakukan seperti biasa," perintah Bedric pada pria yang tadi memanggilnya. "Kita pergi dari sini, Grace."
Bedric mengantarkan Hailexa menuju kamar mandi yang terletak di lantai dasar. Di sana, Hailexa diminta untuk mengeluarkan semua isi perutnya. Akan tetapi yang keluar hanya cairan putih dan jumlahnya tidak banyak.
"Pertama kali adalah saat-saat yang berat. Dulu aku juga seperti itu."
"Maaf aku jadi merepotkanmu," sesal Hailexa.
"Tidak apa-apa. Aku juga sudah menduga jika akan seperti ini. Kita kembali sekarang karena kau harus makan siang. Wajahmu mulai pucat."
Makanan di hadapan Hailexa sudah tersisa setengah. Entah karena Bedric yang hebat atau berpengalaman, menu yang dipilih mampu menghilangkan rasa mual yang sempat melilit perutnya. Saat makan pun tidak ada bayangan soal darah dan mayat di kepalanya. Kata-kata yang diucapkan Bedric selama perjalanan berhasil mengubah pola pikir Hailexa. Sekarang semuanya baik-baik saja.
"Memangnya tidak apa-apa kita kembali lebih awal?"
Bedric mengangguk. "Jangan remehkan mereka. Lihat saja, tugasnya akan selesai dengan rapi," ujar Bedric bangga.
"Bedric. Apa kau mengenal salah satu dari korban?"
"Hm. Pria yang di kamar mandi. Dulunya dia seorang penjual senjata api ilegal dan perakit bom. Mungkin karena usianya tidak muda lagi, dia berhenti dan membuka usaha perbaikan alat-alat elektronik. Sayangnya dia sedikit liar. Hobinya tidur dengan wanita yang berbeda setiap malam."
Hailexa menipiskan bibirnya, berusaha untuk mencerna cerita yang disampaikan oleh Bedric. Tubuh Hailexa sedikit membungkuk, lalu berbisik, "Wanita tadi, teman tidurnya?"
"Mungkin. Kau tahu. Tadi pagi aku pergi ke tempatnya bekerja. Pegawainya berkata jika dia tidak datang sejak kemarin. Beruntung kau berhasil menemukan koordinat lokasinya. Sayang sekali, padahal dia punya banyak informasi penting. Kesempatan memang belum berpihak padaku."
"Menurutmu, apa yang membuatnya dibunuh? Apa karena dia menyimpan banyak informasi penting."
"Dugaan terkuat hanya itu. Dia mengetahui sesuatu yang bisa mengancam kehidupan orang lain jika sampai tersebar. Sebelum hal itu terjadi, dia harus dimusnahkan. Aku mengira, saat pelaku membunuhnya, wanita itu datang. Kau pasti bisa menebak kelanjutannya."
"Siapa pun yang punya rencana di balik semua ini, dia pasti jenius," komentar Hailexa.
Bedric tidak menjawab, hanya kepalanya yang kembali mengangguk disertai senyum kecil di sudut bibirnya.