Chereads / THE SECRET AGENT! / Chapter 13 - Awal Baik yang Belum Tentu Berakhir Baik

Chapter 13 - Awal Baik yang Belum Tentu Berakhir Baik

Seluruh wajah Alexander ditutup menggunakan telapak tangan. Kadua bahunya bergerak naik turun, napasnya tidak teratur. Sesekali terdengar suara geraman halus dari bibirnya. Allard, yang duduk di sebelah Alexander tiada henti memberikan dukungan dengan menepuk pelan punggung laki-laki itu.

Dalam diam Alexander terus merutuki kebodohannya karena mencium Hailexa. Semalam semua terjadi tanpa diprediksi. Alexander terlalu terbawa arus. Sekarang rasa bersalah begitu menyelimuti hatinya. Alexander takut Hailexa merasa tidak nyaman dan tidak dihargai. Alexander juga takut jika Hailexa membencinya.

"Alex, ketakutanmu berlebihan. Gadis itu tidak mungkin membencimu. Jika memang, seharusnya dia memakimu semalam," kata Austin meyakinkan.

"Austin benar. Jika kau merasa tidak tenang, sebaiknya minta maaf saja," tambah Allard. "Lagi pula kau belum mencoba untuk bicara dengannya."

Saat ini mereka bertiga sedang duduk di kafe tempat Alexander bekerja. Austin dan Allard sengaja datang karena tahu kondisi Alexander tidak baik-baik saja. Kebetulan saat Austin dan Allard datang, shift Alexander sudah berakhir. Mereka jadi bisa duduk dan mengobrol selama yang diinginkan.

"Itu karena aku ingin memberinya waktu."

Alexander tahu alasan sebenarnya ketika Hailexa mendadak harus pulang dari apartemennya. Ia sangat yakin, tidak ada seorang pun yang akan menemui Hailexa. Gadis itu hanya merasa canggung. Alexander pun sama. Maka dari itu ia membiarkan Hailexa yang memaksa untuk pulang sendirian.

"Memberi waktu? Ingat yang terjadi dengan hubunganmu sebelumnya? Kau mencoba untuk mengenal dan memahimnya dalam waktu yang lama. Lalu apakah berakhir baik? Tidak. Saranku cobalah untuk bergerak cepat. Bagus jika dia juga menginginkanmu. Jika menolak, maka berhenti. Setidaknya kau belum jatuh terlalu dalam," tutur Allard tegas.

"Oh, Grace. Hai," sapa Austin ketika Hailexa melintas di sebelah mereka. "Kau akan pergi ke mana?"

"Hai Austin," sapa Hailexa balik sembari merapikan rambutnya yang diikat menjadi satu. "Aku akan pulang. Pekerjaanku sudah selesai."

"Hailexa? Dua temanku ini mengenalmu, jadi kurasa kita juga harus saling mengenal. Aku Allard. All atau Allard, terserah kau saja."

"Grace atau Hailexa. Senang bertemu denganmu. Maaf tidak bisa bicara terlalu lama, aku harus segera pulang. Sampai jumpa."

Melalui ekor matanya, Alexander melirik Hailexa yang melangkah semakin jauh. Ada bisikan di hatinya yang mengatakan untuk mengantarkan Hailexa pulang. Namun lidah Alexander terlalu kelu saat ingin mengucapkannya.

"Ck!" Allard berdecak kencang. "Kau payah Alex. Lihat, dia baik-baik saja."

"Berhenti mengejekku, Allard. Seperti kau tidak pernah dalam posisi yang sama saja."

"Berbeda. Saat itu aku sudah tidur dengannya. Kalian hanya berciuman," bela Allard untuk dirinya sendiri. "Hailexa. Dia manis, bukan? Jika kau terus diam, maka aku akan mengajaknya berkencan."

Alexander tidak menjawab, melainkan memutar kedua bola matanya. Allard. Playboy satu ini memang suka membuat resah.

"Alex. Kau melihat Hailexa?" tanya Vanya yang keluar dari arah dapur.

"Dia sudah pulang. Baru saja. Ada apa?"

"Ah ya sudah. Jaketnya tertinggal. Aku akan menyimpannya."

"Vanya," panggil Alexander dengan suara beratnya. "Berikan padaku. Aku akan pergi ke apartemennya."

Vanya mengangguk lalu memberikan jaket denim Hailexa pada Alexander. Selepas Vanya pergi, senyum jail sekaligus kemenangan menghiasi bibir Allard dan Austin.

"Dia selalu punya cara terbaik, Austin," kekeh Allard lalu menepuk telapak tangan Austin dengan semangat.

Alexander berulang kali menarik serta membuang napas melalui mulutnya. Beberapa langkah lagi kakinya akan berhenti di depan pintu apartemen Hailexa. Jantung Alexander berdebar kencang, mengingat kedatangannya kali ini tanpa diundang. Berbagai pikiran negatif menghantui kepalanya. Mulai dari Hailexa yang tidak berada di sini, sampai Hailexa yang akan membanting pintu karena melihat wajahnya.

Setelah bel ditekan, Alexander terus memanjatkan doa dalam hatinya. Laki-laki ini cemas. Apa sebaiknya Alexander lari sekarang? Namun terlambat. Hailexa sekarang berdiri di hadapannya dengan ekspresi kebingungan.

"V-Vanya mengatakan jika jaketmu tertinggal. Ja-jadi aku kemari untuk mengantarnya."

Bodoh sekali Alex. Kenapa bicaramu terbata-bata?

"Ah, aku bahkan tidak menyadarinya. Terima kasih."

Alexander berdeham, sebelum akhirnya memanggil Hailexa dengan suara yang sedikit bergetar. "Hailexa. Aku minta maaf," gumamnya terlampau cepat.

"Hah? Kau bilang apa?"

"Aku minta maaf untuk kejadiam semalam. Kau tahu, aku tidak bisa mengontrol diriku. Maaf."

"Tidak perlu minta maaf, Alex," balas Hailexa dengan mata birunya yang menatap lurus pada Alexander.

"Aku harus. Itu karena aku melakukannya tanpa izin darimu. Maksudku, kita belum lama mengenal dan aku sudah berbuat kurang ajar. Kau berhak marah padaku, memukulku, atau menamparku. Tapi tolong, jangan membenciku."

Hailexa membuang napas. Gadis ini memijat keningnya dan satu tangan yang lain berkacak pinggang. Beberapa menit berlangsung sepi. Alexander sendiri masih setia menunggu Hailexa untuk kembali buka suara.

"Alex kau berpikir terlalu jauh. Aku tahu kau yang memulai, tetapi aku juga melakukannya. Jangan minta maaf lagi. Minta izin atau tidak, kurasa tidak akan ada bedanya. Kita berdua terlalu larut dalam suasana. Begini," kalimat Hailexa terhenti. Gadis itu terlihat sedang mengamati sesuatu di sekitar mereka.

Alexander juga ikut menatap ke arah Hailexa memandang. Tidak ada apa pun di sini. Saat Alexander akan kembali menatap Hailexa, tanpa diduga gadis itu berjinjit dan menarik tengkuknya agar mendekat. Dalam satu kali gerakan, Hailexa berhasil membuat bibir mereka kembali bertemu.

Alexander tidak percaya ini. Hailexa menciumnya.

"Grace—"

"Diam! Jangan berkomentar!" perintahnya.

Ada hal lain yang tidak pernah Alexander duga. Hailexa tiba-tiba menyembunyikan wajahnya dengan bersandar pada dada Alexander. Dalam beberapa detik Alexander berusaha mencerna semua ini. Sampai kemudian ia menyadari jika jantungnya sudah berdetak terlalu kencang.

Tangan Hailexa meremas kuat ujung kaus Alexander. "Aku tidak akan membencimu hanya karena kejadian semalam. Tidak akan pernah," bisiknya serak, seperti ingin menangis. "Aku tidak ingin membuatmu merasa semakin bersalah. Anggap saja kita impas. Sekarang katakan, apa kau akan membenciku setelah ini?"

Alexander terdiam, memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaan Hailexa. Mungkin kedengarannya akan terlalu cepat. Namun sial, Alexander tidak bisa terus menahannya. Hati Alexander sudah terlalu yakin untuk ini.

"Jangan terlalu lama berpikir, Alex! Cukup katakan. Aku tahu kau pasti membenciku, menganggapku aneh. Katakan Alex. Katakan jika kau membenciku. Aku ingin dengar langsung."

"Hailexa. Aku menyukaimu."

Suara tawa rendah Hailexa menusuk pendengaran Alexander. Kepala Hailexa masih berada di posisi yang sama. Akan tetapi cengkeraman pada kausnya sudah mengendur.

"Jawaban apa itu?" tanyanya heran.

Satu tangan Alexander terangkat. Diusapnya kepala Hailexa dengan gerakan lembut, lalu berbisik, "Aku bersungguh-sungguh dalam setiap ucapanku. Kedengarannya memang terlalu cepat. Tapi aku menyukaimu, Hailexa. Andai kau tahu betapa gugupnya aku saat ini. Jantungku berdetak kencang. Telapak tanganku berkeringat."

"Alex, dengar. Kau belum benar mengenal siapa diriku."

"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin mengatakan apa yang kurasakan saat ini. Jika kau bersedia, kita punya banyak waktu untuk jadi lebih dekat. Apa pun yang terjadi di masa depan, maka biarlah terjadi. Namun jika kau tidak bersedia, aku akan menghormati keinginanmu. Ini belum terlambat, Hailexa."

Kedua lengan Hailexa memeluk erat tubuh Alexander. Kepalanya semakin dibenamkan. Napasnya juga berembus kasar. "Don't. Jangan pergi. Jangan menjauh," lirih Hailexa. "Kau benar, Alex. Kita perlu mengenal lebih dalam. Gunakan waktu yang ada sebaik mungkin. Kenali diriku. Aku juga akan melakukan hal yang sama, karena kurasa, aku juga menyukaimu."

Kalimat terakhir yang diucapkan Hailexa, memberikan rasa lega dan sedikit kecemasan pada hati Alexander. Dalam membangun sebuah hubungan, ini merupakan permulaan yang baik. Alexander sadar, awal yang baik belum tentu berakhir baik juga. Hidup tidak selamanya berjalan datar. Di balik awal yang mudah, pasti mengandung tantangan di dalamnya. Sekarang, Alexander sedang menanti tantangan itu untuk datang kepadanya.