Hailexa melipat bibir ke dalam guna menghentikan senyum bodohnya. Setiap kali ia akan mengerjakan sesuatu, sosok Alexander langsung terlintas di kepalanya. Hailexa tidak bisa berhenti meningat-ingat peristiwa semalam. Gara-gara ucapan Alexander saja ia jadi tidak fokus seharian.
Setelah sekian lama, hati Hailexa akhirnya berhasil diketuk oleh seseorang. Setelah kepergian orang tuanya, Hailexa tidak pernah peduli dengan perasaan semacam ini. Pikirannya hanya terpusat untuk belajar, mendapatkan uang, lalu lulus dengan nilai baik. Beberapa teman laki-lakinya sempat mengutarakan perasaan mereka. Sayangnya Hailexa selalu menolak hal itu.
Alexander Maverick. Entah mengapa Hailexa suka mengucapkan nama itu. Membayangkan Alexander ada di sebelahnya saat ini—tersenyum, melempar gurauan atau mungkin memberikan sebuah pelukan hangat, akan jadi saat-saat yang menyenangkan. Hailexa sadar, jika dirinya sedang jatuh cinta. Hanya jatuh cinta.
Bagi Hailexa, jatuh cinta dan mencintai adalah dua hal yang berbeda. Alexander belum mengenal siapa dirinya. Begitu juga Hailexa yang belum mengenal sosok asli Alexander. Mereka yang belum saling mengenal, maka mustahil untuk saling mencintai.
"Apa sesuatu sedang terjadi sekarang? Kau tidak bisa berhenti tersenyum sejak tadi."
Hailexa terperanjat ketika Alesya tiba-tiba berada di sampingnya. Bibir Hailexa memberikan senyuman tipis. Gadis ini kembali fokus pada pekerjaannya karena tidak ingin Alesya semakin marah.
"Biar kutebak. Kau pasti sedang menyukai seseorang, sampai-sampai kepalamu hanya dipenuhi olehnya."
"Tidak juga," bantah Hailexa di awal. "Iya. Maksudku mungkin iya."
Alesya terkekeh lalu menarik kursi kosong di depannya. "Orang yang kau sukai itu, sudah tahu siapa dirimu sebenarnya?"
Hailexa menggeleng. "Dia tutorku. Kami belum lama mengenal, tetapi—" Kalimat Hailexa terputus. "Tunggu. Untuk apa aku menceritakannya padamu?" gumamnya heran.
"Kau yang memulai. Aku hanya bertanya apakah dia sudah tahu atau tidak."
"Alesya. Kau tahu wanita itu?" Jari Hailexa menunjuk pada wanita yang berdiri di depan pintu sambil memeriksa ponselnya. "Aku tidak pernah melihatnya."
"Dia memang jarang kemari. Dulunya seorang agent RFI di New York. Ada kesalahan di masa lalu yang membuat posisinya sebagai agent harus dilepas. Kehadirannya di sini lebih untuk membantu memecahkan masalah, memberi solusi, dan menyusun strategi jika kami menemukan jalan buntu. Beberapa tahun lalu juga sempat mengajar di akademi."
Kesalahan? Hailexa sangat ingin tahu masalah apa yang membuatnya harus lepas dari posisi agent. Namun dirinya memilih bungkam. Bertanya hal seperti ini pada Alesya bukanlah tindakan bagus.
Russell Federation of Investigation. Hailexa sudah pelajari semuanya. Badan intelijen swasta yang hebat. Pertama kali didirikan di Italia kemudian memperluasnya di beberapa negara. Sejak lima belas tahun lalu, RFI tidak lagi berdiri sendiri, melainkan bergabung bersama negara.
Nama RFI sudah hilang. Dicari melalui internet pun hanya sedikit informasi yang akan didapat. Markas mereka tetap berdiri tegak. Akademi yang berjalan juga akan terus berjalan. Tugasnya masih sama, hanya saja namanya sudah berganti. Dipartimento Federale delle Indagini. Dalam bahasa inggris disebut Federal Departemen of Investigation.
Setelah membaca sejarah yang terjadi, Hailexa sedikit menyayangkan perubahan ini. Sebenarnya banyak sisi positif yang bisa didapatkan, seperti para agent lebih terlindungi dan mereka punya hak lebih banyak daripada sebelumnya. Akan tetapi jika nama negara tercoreng di mata dunia, otomatis badan ini akan ikut dicap buruk.
Di bawah naungan Dipartimento delle Informazioni per la Sicurezza, mereka menangani permasalahan baik di dalam atau di luar Italia. Agent-agent serta anggota penting lainnya diambil dari lulusan akademi yang ada. Di sinilah Hailexa bekerja, dengan alasan dan tujuan yang belum ia ketahui.
"Kau sudah akan pulang?"
"Ya. Ada apa?" Hailexa bertanya balik dengan alis yang terangkat. "Bantuan apa yang bisa kuberikan?"
"Kembalikan buku-buku ini ke perpustakaan. Turun saja dua lantai. Seray, dia nama penjaga perpustakaan."
Hailexa menatap tumpukan buku dengan perasaan bingung. The Fault in Our Stars. Novel itu berada di bagian paling atas. Satu buku tepat di bawahnya ditulis oleh penulis yang sama. John Green dengan judul Looking for Alaska. "Aku baru tahu jika perpustakaan menyimpan buku seperti ini. Perpustakaan di gedung Cosmos, tidak satu pun ada novel yang diletakkan di rak," ujarnya mengungkapkan kebingungan.
"Hei. Kau pikir hidup kami harus terus serius? Gedung Cosmos untuk pelajar. Tidak boleh membaca novel saat pelajaran. Kami yang sudah bekerja, perlu sedikit hiburan."
Tidak ingin mendebat Alesya lagi, Hailexa buru-buru mengambil tumpukan buku itu dan pergi keluar dari ruangan. Setibanya di depan perpustakaan, Hailexa mendorong pintu kaca seraya berucap pelan.
"Halo. Permisi. Seray?" Meskipun bahasa italianya sudah semakin lancar, Hailexa masih sering tidak percaya diri ketika menerapkannya di tempat umum. Hanya Alexander dan rekannya di kafe yang bisa mendengar Hailexa bicara dalam bahasa italia. "Ada orang di sini?"
"Oh, hai. Ada yang bisa kubantu?"
Hailexa tersenyum kaku, saat wanita yang dibicarakan bersama Alesya tadi menyapanya ramah. "Seray. Aku diminta untuk mengembalikan buku-buku ini. Atas nama Alesya Rigali."
"Seray mengambil cuti selama beberapa bulan. Dia akan melahirkan. Seseorang menggantikannya, tapi saat ini sedang pergi. Kau duduk saja dulu. Aku akan mencoba menghubunginya."
Hailexa duduk dan meletakkan buku-buku di atas meja. Perpustakaan ini cukup nyaman dan bersih. Hailexa yakin jika dirinya bisa betah untuk menetap di sini lebih dari tiga jam. Jika tahu mereka menyimpan kumpulan novel, Hailexa akan mendatangi tempat ini sejak awal.
"Maaf jika tidak sopan. Ini pertama kalinya aku melihatmu. Apa kau baru di sini?"
"Ya. Namaku Hailexa."
"Jadi ini Hailexa yang dibicarakan orang-orang di akademi. Kau tahu, mereka menyukaimu. Kau pintar, hebat, dan begitu cantik. Namaku Emma. Usia kita terpaut jauh, tetapi panggil saja Emma. Santai saja denganku."
Emma. Wanita ini punya mata cokelat yang menenangkan. Senyum ramah di bibirnya sempat mengingatkan Hailexa akan Alexander. Baik Emma atau Alexander, mereka sama-sama mudah tersenyum.
"Pujianmu berlebihan," balas Hailexa.
"Dari mana asalmu? Pasti bukan dari Italia."
"Washington State. Aku lahir di Bellevue lalu pindah ke Pullman. Maaf mungkin kau tidak tahu—"
"Aku tahu," potong Emma cepat. "Aku pernah tinggal di Seattle. Jika kita sama-sama berada di Washington, kau boleh mengajakku untuk bertemu."
Hailexa baru akan membalas kalimat Emma, namun batal karena ponselnya tiba-tiba bergetar.
Alexander Maverick : Aku pulang lebih awal. Malam ini ada acara penting. Tidak perlu datang ke kafe. Sebaiknya langsung pulang saja. See you.
"Emma. Maaf membuatmu menunggu. Kau bisa pulang."
Hailexa menoleh dan mendapati perempuan lain memasuki perpustakaan.
"Tidak masalah, Bella. Datanglah malam ini. Aku dan Morgan akan sangat senang." Pandangan Emma yang sebelumnya mengarah pada Bella, kini berganti pada Hailexa. "Grace. Kita lanjutkan pembicaraan ini lain waktu."
"Tentu saja. Hati-hati, Emma."
Lagi-lagi saat Emma terseyum, nama Alexander berhasil memasuki pikiran Hailexa. Ini kenapa? Apa karena tidak bisa bertemu membuat Hailexa sudah merindukan laki-laki itu, sampai-sampai senyum orang lain mengingatkannya pada senyum Alexander. Jatuh cinta memang membuatnya sedikit mabuk.