Alexander mengerang panjang dikala cahaya terang mengenai wajahnya. Tubuh Alexander bergantu tengkurap, berusaha menghindari cahaya. Saat matanya akan kembali tidur, ada sebuah tangan yang menarik pergelangan kakinya kuat-kuat.
"Alexander!"
"Lima menit. Matikan lampunya."
"Satu jam lalu kau juga berkata hal yang sama. Bangun. Sekarang."
Diabaikan.
Emma berkacak pinggang, memandang Alexander geram. "Mau sampai kapan? Setelah sarapan kau terus tidur dan melewatkan makan siang. Ini sudah menjelang sore. Bangun Alex. Keluar dari kamar," omelnya.
Napas Alexander berembus kasar. Percuma saja melanjutkan tidurnya. Emma tidak akan pernah keluar kamar sampai Alexander benar-benar bangkit dari ranjang.
Satu tangan Alexander bergerak mencari ponsel di bawah bantal. Tidak ada pesan masuk. Hanya ada delapan panggilan tidak terjawab dari Nicholla yang jelas-jelas bukan hal penting. Alexander duduk seraya meregangkan tubuhnya. Mulutnya terbuka lebar, menguap yang akhirnya mendapat tatapan tajam dari Emma.
"Aku sudah bangun, Mom. Tidak akan tidur lagi."
"Keluar dari kamar. Lakukan sesuatu."
Alexander berpikir keras untuk mencari alasan yang tepat. Sebenarnya ia masih mengantuk dan ingin tidur lagi. Ketika pandangannya jatuh pada MacBook di atas meja, ide cemerlangnya mendadak muncul.
"Hm. Aku akan turun. Nicholla memintaku membantu mengerjakan tugas kuliah. Love you, Mom," ujarnya genit.
Setibanya di anak tangga paling akhir, kepala Alexander menoleh ke belakang. Hal ini dilakukan untuk memastikan jika keadaan sudah aman. Sebelum melancarkan aksi berikutnya, Alexander memilih untuk pergi ke dapur dan mengambil beberapa makanan.
"Kau ini sedang audisi menjadi model atau bagaimana?" Langkah kaki Alexander terhenti. Laki-laki ini memutar tubuhnya ke samping sampai menemukan seorang gadis sedang berbaring santai di atas sofa. "Berkeliaran tanpa pakaian," imbuhnya untuk mengejek.
"Sydney!" sentak Alexander setelah memandang tubuhnya yang tak tertutup apa pun kecuali celana pendek. "Sedang apa kau di rumahku? Pulang. Aku sedang tidak ingin mengajar matematika."
Sydney Walter. Bocah ingusan ini merupakan putri dari Morgan Walter. Dengan pakaian olahraga sekolah yang masih melekat di tubuhnya, Sydney bangkit dari sofa. Kedua tangannya dilipat di depan dada, sedangkan matanya melempar tatapan permusuhan dengan Alexander.
"Kau pikir hidupku hanya untuk belajar matematika? Lagi pula aku kemari karena mengembalikan sesuatu yang jadi milikmu."
"Alasan," sanggah Alexander. "Setelah ini aku pasti mendengar kau mengadu karena aku menolak membantu mengerjakan tugas. Pulang sana. Datang besok saja. Jangan lupa mandi. Pakaianmu pasti penuh keringat."
"Alex! Kupatahkan lehermu!"
Tidak lagi ingin beradu mulut dengan Sydney, Alexander kembali melanjutkan tujuannya menuju dapur. Laki-laki ini sudah tidak terkejut saat mendengar suara tawa dari Morgan Walter yang memenuhi rumah. Sydney tidak mungkin datang sendiri.
"Kau sudah bertemu temanmu?"
Alis Alexander terangkat. "Teman?" tanyanya.
"Cedar," Morgan bersiul, "Cedar!"
Bibir Alexander menganga bersamaan dengan anjing golden retriever yang berlari kecil ke arahnya. Setelah beberpa bulan berada di tempat lain untuk dikawinkan, hari ini Cedar kembali pulang. Alexander mengadopsi anjing ini di hari ulang tahunnya yang ke delapan belas. Kala itu Cedar hanyalah bayi anjing yang hobi berlari sampai-sampai membuat Terry resah.
"Bagaimana? Pasti berhasil?"
Morgan mengangguk. "Temanku bilang berhasil. Saat anaknya lahir, dia akan kirim foto. Jika kau ingin minta sebagai teman bermain Cedar juga boleh," jelasnya.
"Tidak boleh," tolak Terry cepat. "Jangan macam-macam, Morgan."
"Aku tidak bicara denganmu, Terry," balas Morgan. "Nah, sekarang bawa Cedar jalan-jalan."
Alexander yang baru mengambil sekotak blueberry dari dalam kulkas, langsung menatap Cedan dan Morgan secara bergantian. "Tidak bisa. Nicholla butuh bantuanku," dalihnya dengan harapan bisa kembali tidur.
"Bohong," celetuk Sydney yang tiba-tiba muncul dibarengi Emma. "Nicholla memang mencarimu tadi. Sekarang sudah tidak. Lagi pun Nicholla sedang pergi ke Vancouver."
Alexander menggeram halus. Bocah satu ini selalu suka mengagalkan rencanya. Meski terpaksa, pada akhirnya Alexander meletakkan kembali MacBook di tangannya dan segera berganti pakaian.
Sambil berjalan dan menggengam tali yang terhubung pada Cedar, Alexander tidak ingin semakin menyia-nyikan waktunya. Kotak blueberry yang sempat diambil, kini juga berada pada genggamannya. Beruntung Cedar cukup mengerti jika dirinya sedang tidak punya tenaga untuk berlari.
"Ya ya ya. Aku akan lepas talinya, tetapi berjanji untuk tetap tenang."
Cedar mengonggong, membuat Alexander memberikan beberapa buah blueberry miliknya. Ini terdengar aneh, namun pada kenyataannya Cedar memang suka makan blueberry.
"Anak pintar. Sekarang jalan."
Ketika Cedar dirasa mengerti akan ucapannya, fokus Alexander terlalih pada ponsel. Ia berniat mengirimkan fotonya pada Hailexa. Setelah semalam suntuk mereka bicara melalui telepon, belum ada percakapan baru lagi yang terjadi. Jika sesuai jadwal, seharusnya Hailexa sudah menyelesaikan kelasnya dan berada di kafe.
"Cedar. Buddy," panggil Alexander ketika anjingnya mengonggong keras.
"Kapan Cedar kembali?"
Alexander mendongak. Senyum kecil terbentuk di bibirnya. Amor, gadis itu berjongkok sembari mengusap-usap kepala Cedar.
"Baru hari ini. Amor, aku tidak tahu kau sedang lewat."
Amor menggeleng. "Tidak, Alex. Anjingmu tadi mengintip di pagar rumah. Dia mengejar hewan yang terbang. Kebetulan aku sedang menyiram bunga. Cedar tidak mungkin datang sendiri. Jadi aku keluar dan menemukanmu di sini. Kau mengabaikannya."
"Rasanya lama sekali tidak melihatmu. Ingin ikut jalan-jalan?" tawar Alexander. "Kami punya blueberry."
Amor memundurkan tubuhnya beberapa langkah. Dengan sedikit berjinjit, dia mengawasi rumahnya selama beberapa detik. Amor mengangguk, lalu meminta tali milik Cedar pada Alexander.
"Kau baik, Amor?"
"Tidak," jawabnya jujur. Pertemanan antara Amor dan Alexander yang sudah cukup lama, membuat gadis itu tak lagi menutupi luka yang dialaminya.
"Kali ini siapa?" tanya Alexander hati-hati.
"Keduanya. Dua hari lalu Ayah menjemputku paksa dari rumah Ibu. Salahku memang tidak izin terlebih dahulu. Lalu kemarin," Amor mengangkat sedikit pakaiannya yang menutupi lengan. "Dia mencengkeramnya terlalu kuat. Tetapi sudah tidak apa-apa."
Alexander menatap miris pada bekas biru kehitaman di lengan Amor. Tanpa disebut siapa pelakunya, Alexander sudah tahu akan hal itu.
"Jika dia terus berbuat kasar, apa tidak sebaiknya kau hentikan hubungan ini. Tunjukkan pada Ayahmu tentang perbuatan gilanya."
"Tidak, Alex. Mana mungkin Ayahku percaya. Tenanglah, dia melakukan ini karena sedang mabuk. Kami belum saling mencintai, tetapi aku mencoba untuk menerimanya. Selain itu, beberapa waktu sebelumnya dia mulai bersikap baik padaku."
Entah ucapan Amor benar atau tidak, Alexander memilih untuk tidak mendebatnya. Gadis ini sedang bingung, sampai tidah tahu di mana kakinya harus berpijak. Masalah-masalah yang datang, memaksa Amor untuk pasrah akan masa depan.
Perceraian orang tua, membuat Amor jadi sulit bertemu dengan Ibunya. Kematian kakak perempuannya satu tahun lalu. Ayahnya yang nyaris kehabisan harta. Sampai perjodohan gila demi melancarkan bisnis sang ayah.
Pernah suatu hari Alexander membayangkan jika hal seperti itu menimpa keluarganya. Apabila Nicholla sampai harus dijodohkan, Alexander akan membawanya pergi dari rumah. Persetan dengan ayahnya yang murka.
"Lain kali, hati-hati," kata Alexander menenangkan. "Jika dia menyakitimu lagi, hubungi aku."
Amor tertawa. "Lalu apa yang akan kau lakukan?"
"Aku dan Cedar akan datang lalu menghajarnya. Tidak, tidak. Hanya Cedar. Tanganku bisa kotor jika menyentuhnya."
"Alex!" pekik Amor sambil mencubit gemas Alexander. "Yang kau bicarakan itu kekasihku."
"Kau benar Amor. Dengar. Kau tahu temanku Allard? Meskipun playboy bajingan, aku jamin dia tidak akan berbuat kasar. Nanti malam aku kirim nomornya padamu. Kau juga sudah tahu akun Instagram Allard, 'kan?"
"Alexander! Berhenti menggodaku, sialan!" teriak Amor dengan pipinya yang berubah merah.