Chereads / THE SECRET AGENT! / Chapter 12 - Permainan Berakhir

Chapter 12 - Permainan Berakhir

"Grazie."

Dari balik dinding, Graclyn mengamati setiap interaksi yang dilakukan Alexander bersama pengunjung kafe. Tiga hari yang lalu laki-laki itu memutuskan untuk bekerja di sini. Kaus putih berlengan pendek dan dibalut dengan apron, terlihat sangat pas untuk Alexander.

Hailexa tidak bisa berbohong. Sejak awal matanya memandang Alexander, hati Hailexa mengatakan jika dia laki-laki yang tampan. Sekarang melihat Alexander yang melayani pengunjung dengan cekatan, membuat kadar ketampanannya semakin bertambah. Senyum manis yang selalu ditampilkan, rambut cokelat gelapnya, serta dua lengan yang kokoh. Tangan Hailexa gatal, ingin sekali merasakan betapa kerasnya lengan itu.

"Grace. Sedang apa kau di sini?"

Hailexa tersentak karena dikejutkan dengan suara salah satu pegawai kafe. Hari ini bukan jadwal Hailexa untuk bekerja. Jadi wajar saja dia bertanya seperti itu.

"Mampir saja."

Tidak ingin semakin ditanya-tanya, Hailexa memutuskan keluar dari tempat persembunyiannya dan segera menghampiri Alexander. Laki-laki itu tidak terkjeut atas kehadiran Hailexa di sebelahnya. Tadi, ketika Hailexa baru memasuki kafe, Alexander sudah menyapanya dengan melempar senyum.

"Kuliahmu lancar? Kenapa sudah pulang?" tanya Alexander.

Sebagai tutor, tidak heran jika Alexander cukup hafal dengan jadwal milik Hailexa. Gadis itu sendiri yang mengatakannya sejak awal, untuk menyesuaikan kapan waktu yang tepat untuk belajar.

"Hari ini kelas sedang libur. Rencanya juga ada perubahan jadwal. Aku akan segera mengatakannya jika sudah pasti," dalih Hailexa yang terlihat natural.

Terpaksa. Mau bagaimana lagi. Bodoh namanya jika mengatakan langsung pada Alexander alasannya pulang lebih awal. Selain itu Alesya pasti akan mengamuk apabila tahu Hailexa berkata jujur. Lagi pula mana mungkin Alexander percaya, jika mata Hailexa sempat memandang tubuh manusia yang tewas mengenaskan.

"Kau terlihat lelah. Sebaiknya pulang saja. Libur belajar dalam satu hari bukan masalah besar."

"Tidak perlu. Aku baik-baik saja. Kemari, biar kubantu."

Alexander memandangi Hailexa dari atas hingga bawah. Baru setelahnya menyerahkan sebuah nampan yang berisi secangkir minuman hangat.

"Antarkan pada perempuan di meja paling ujung. Katakan maaf karena sudah membuatnya menunggu."

Matahari terbenam tiga puluh menit lalu. Saat ini kafe dalam keadaan ramai. Alexander baru akan mengakhiri shiftnya sebab pekerja lain sudah datang. Hailexa membuang napas kasar. Kondisi kafe yang sedang ramai membuatnya tidak punya meja kosong untuk belajar.

"Keberatan jika pindah di apartemenku?"

"Tidak," jawab Alexander yang sedang sibuk mengaduk minuman di dalam cup.

"Oh ya, bagaimana kabar bocah laki-laki di sebelah apartemenmu? Kapan akan mengajaknya kemari?"

"Entahlah. Aku selalu pulang ke rumah akhir-akhir ini. Jika kau ingin tahu kabarnya, datanglah ke tempatku."

Hailexa tersenyum ragu. "Memangnya boleh?"

"Tentu saja. Ingin datang malam ini? Aku akan menraktirmu makan malam."

Entah mengapa Hailexa merasakan jantungnya berdebar saat mendengar ajakan Alexander. Tidak. Ini salah. Hailexa tidak boleh seperti ini. Tujuannya berada di Turin hanya untuk bekerja lalu pulang ke Amerika. Jangan ada yang lain.

Sayangnya Hailexa sama sekali tidak punya kekuatan untuk menolak ajakan itu. Seperti ada sesuatu yang meyakinkan dan memaksanya untuk setuju.

"Ambil barangmu, Hailexa. Aku akan menyusul setelah ini."

Hailexa berdiri menatap cermin yang menempel pada dinding. Ruangan ini adalah tempat para pekerja meletakkan barang-barangnya seperti tas, jaket, ponsel, sekaligus tempat untuk beristirahat. Tidak ada seorang pun di sini. Mereka sibuk dengan tugas masing-masing.

Ketika Hailexa memasangkan jaket di tubuhnya, Alexander datang memasuki ruangan dan melakukan hal yang sama.

"Alex. Tinggi cermin ini kalau tidak salah dua meter. Dan kau," pandangan Hailexa menyapu pada tubuh Alexander, "tingginya hampir sama dengan cermin."

Alexander menahan tawanya. "Memang kenyataannya seperti itu. Kenapa, kau ingin bertukar tubuh?" guraunya.

"Ish. Pasti menyenangkan punya tubuh tinggi."

Tanpa aba-aba, Hailexa merasakan tubuhnya ditarik mendekat. Kini punggungnya bertabrakan dengan dada milik Alexander. Hailexa menahan napas, apalagi saat tahu telapak tangan Alexander mencengkeram bahunya erat.

"Dengar. Tinggi atau rendah, semuanya sama saja. Tergantung bagaimana caramu memanfaatkan apa yang sudah dimiliki. Lagi pula menurutku tubuhmu cukup tinggi."

"Benarkah? Dulu sekali aku pernah iri pada perempuan yang punya tubuh lebih tinggi dariku. Mereka terlihat cantik dengan tubuh tingginya."

"Berhenti berpkir seperti itu. Terlalu kuno. Belajarlah untuk mencintai diri sendiri. Lihat Hailexa, kau ini cantik."

Bibir Hailexa terkatup rapat. Tidak ada kata-kata yang mampu keluar untuk menanggapi kalimat Alexander. Sial sial sial. Cantik katanya? Laki-laki ini sedang jujur atau hanya ingin membuatnya senang?

Usai makan malam di restoran cepat saji, Alexander segera melajukan mobilnya ke arah apartemen. Saat tiba di sana, bocah laki-laki yang mereka cari tidak terlihat sama sekali. Apartemennya pun hening. Suara teriakan pertengkaran tidak lagi terdengar. Mungkin malam ini mereka sudah berbaikan.

Semoga saja.

Hailexa melangkah masuk ke dalam apartemen Alexander. Tas yang tadi menggantung di pundaknya, kini tergeletak di atas sofa. Mata Hailexa meneliti setiap sudut apartemen Alexander. Bersih, rapi, dan nyaman. Benar-benar jauh dari bayangan Hailexa akan apartemen laki-laki yang berusia kurang dari dua puluh lima.

"Aku tidak menyimpan banyak makanan atau minuman. Ini the hijau. Austin memberikannya untukku. Dia berkata jika minuman ini bagus untuk kesehatan. Tadi wajahmu pucat, kuharap kau tidak sedang sakit. Rasanya memang sedikit pahit, tetapi masih bisa ditoleransi," jelas Alexander sembari meletakkan dua cangkir teh ke atas meja.

"Santai saja. Aku sudah pernah minum sebelumnya. Beberapa restoran Jepang menyajikan minuman semacam itu tanpa gula. Terima kasih."

"Anytime."

"Aku suka tempat ini," puji Hailexa setelah menyesap teh hijaunya. "Kau menatanya dengan baik."

Kening Alexander berkerut. "Biasa saja," bantahnya. "Tidak ada bedanya dengan milikmu."

Tatapan Hailexa jatuh pada bingkai foto yang dipajang di atas piano. Rasa penasaran itu membawa kakinya melangkah lebih dekat. Hailexa tidak tahu siapa saja yang ada di dalam foto, namun sepertinya teman dekat Alexander.

"Foto ini diambil di acara perkemahan saat high school. Aku, Austin dan yang satu lagi Allard."

"Kalian membentuk sebuah band?" Hailexa bertanya ketika melihat foto lain di mana Alexander, Austin, Allard, dan satu orang lain berdiri di atas panggung. Mereka terlihat saling merangkul. Pada bahu Alexander terselip sebuah strap yang terhubung pada gitar.

"Tidak resmi, hanya tampil saat acara sekolah. Sekarang sudah berhenti. Teman kami yang satu lagi pindah ke Australia."

Foto-foto yang tepasang didominasi oleh wajah Alexander, Austin, dan Allard. Namun dari sekian banyak foto, ada dua foto yang berhasil membuat Hailexa kagum. Di foto itu, Alexander mengenakan pakaian yang sama dengan anak-anak di sekitarnya.

"Kau pernah menjadi tim paduan suara di gereja?"

Alexander tidak menjawab, melainkan tersenyum malu-malu.

"Sejak kapan? Aku suka sekali mendengarkan paduan suara di gereja. Ingin rasanya aku bergabung, tetapi suaraku yang jelek ini tidak akan pernah bisa mengimbangi mereka."

"Pertama kali saat usiaku sepuluh tahun. Setelah masuk universitas, aku memutuskan untuk berhenti."

"Kalau begitu, bisakah kau bernyanyi sekarang?" pinta Hailexa.

Sayangnya Alexander menggeleng. "Aku sudah lama tidak bernyanyi. Mungkin hanya satu sampai dua bait untuk mengiringi Austin atau Allard. Terakhir kali aku menyanyikan satu lagu penuh ketika Natal dua tahun lalu. Itu juga karena terpaksa. Keluargaku di Seattle jarang melihatku benyanyi secara langsung," jelasnya untuk menolak halus permintaan Hailexa.

"Sayang sekali."

"Lain kali aku akan tunjukkan rekamannya padamu."

"Boleh saja, meski nantinya suaramu akan bercampur dengan yang lain. Jika tidak ingin benyanyi, bagaimana dengan bermain piano? Aku tahu benda ini bukan sebagai pajangan."

Kali ini Alexander tidak menolak. Telapak tangannya menepuk sisi kursi yang kosong, meminta Hailexa untuk duduk. Butuh waktu sekitar dua menit bagi Alexander sebelum mulai menekan tuts piano dan memainkannya dengan tenang.

Hailexa memperhatikan setiap kali jari-jari Alexander berpindah dengan lincah. Instrumental yang dimainkan membuat Hailexa larut dalam suasana. Rasanya seperti melihat pertunjukan piano di dalam opera.

Hailexa menoleh pada Alexander ketika permainan berakhir. Saat itu pula tanpa sengaja, mata mereka saling bertemu. Hailexa terdiam, mengamati manik hazel yang memandangnya hangat.

Semakin lama deru napas halus Alexander semakin terdengar. Wajahnya terus bergerak mendekat, sampai ujung hidungnya menyentuh milik Hailexa. Hening. Tidak ada kalimat protes atau komentar saat Alexander mengecup kilat bibir Hailexa. Hal itu dianggap sebagai sinyal baik untuk mendaratkan bibirnya, lagi.

Mata Hailexa terpejam, menikmati bibir Alexander yang bergerak terhadap miliknya. Tidak ingin tinggal diam dan pasrah, Hailexa turut membalas ciuman itu dengan lembut dan perlahan. Mereka saling menarik diri karena mulai kehabisan napas. Di saat jantung Hailexa masih berdebar, Alexander sudah kembali mendekatkan wajahnya. Bersiap untuk melakukan hal yang sama.

"A-aku harus buka pintunya." Alexander berucap dengan suaranya yang bergetar dan sedikit serak. Di luar sana sesorang baru saja menekan bel dan membuat Alexander menarik kepalanya menjauh.

Hailexa mengembuskan napasnya kuat-kuat setelah Alexander pergi. Apa-apaan ini tadi? Hailexa kini hilang akal. Kenapa semuanya terjadi begitu cepat tanpa ia sadari? Sial. Di mana Hailexa harus menaruh wajahnya sekarang?

Tidak ingin semakin membuat masalah, Hailexa buru-buru mengambil semua barang-barangnya dan bersiap untuk pulang. Ketika kakinya hampir mencapai pintu, Alexander masuk bersama laki-laki yang pernah terjatuh di pinggir jalan karena mabuk. Austin.

"Oh hai. Maaf menganggu waktu kalian. Aku datang untuk mengambil barang. Namaku Austin. Terima kasih atas bantuannya hari itu."

"Tidak masalah. Namaku Hailexa."

"Hailexa, kau sudah akan pulang?" tanya Alexander heran. Satu alisnya sampai terangkat.

"Ya. Teman sekelasku akan meminjam buku. Dia sudah dalam perjalanan," alibinya.

"Aku akan mengantarmu. Austin bisa ditinggal sendiri."

Kepala Hailexa menggeleng cepat. Gadis ini masih belum siap jika harus kembali berdua dengan Alexander. Kejadian tadi masih sangat membekas dan mengakibatkan dirinya gugup setengah mati.

"Tidak perlu. Aku akan pulang sendiri. Terima kasih. Selamat malam Alex, Austin," ujar Hailexa secepat kilat lalu berlari keluar sekencang mungkin. Jangan sampai Alexander berhasil menyusulnya.

Malam ini Hailexa berhasil selamat. Tapi bagaimana dengan esok hari? Sungguh, Hailexa tidak akan penah siap untuk kembali menatap wajah Alexander.