Di depan cermin, Hailexa tidak bisa berhenti untuk memperbaiki penampilannya. Jemarinya terus bergerak merapikan rambut serta pakaian yang dikenakan. Hal ini berlangsung lebih dari lima belas menit, padahal biasanya Hailexa selalu bisa berdandan dengan cepat.
Entah mengapa Hailexa merasa tidak percaya diri. Mendadak ia sedikit menyesal meminta Alexander datang ke apartemennya. Hailexa bingung bagaimana harus tampil dengan gaya rumahan di depan laki-laki itu. Bagaimana jika nanti Alexander memandangnya aneh?
"Grace, sejak kapan kau memikirkan perkataan orang lain? Lagi pula apa yang bisa diharapkan dari Alex? Dia tidak mungkin tertarik padamu apa pun caranya," ujar Hailexa bermonolog.
Tunggu. Apa barusan Hailexa berharap jika Alexander akan tertarik padanya?
Alexander. Saat bertemu di kafe, Hailexa langsung membatin iri karena melihat alis Alexander yang tebal dan nyaris rapi. Setelah hari berakhir, Hailexa tidak bisa berhenti untuk tidak memegangi alisnya.
Kaki Hailexa melangkah cepat ketika telinganya menangkap suara bel yang ditekan. Di balik pintu, Alexander memiringkan kepalanya seraya tersenyum lebar. Masing-masing tangannya menggenggam sekotak pizza dan satu buket bunga mawar.
"Alex, kau tidak sedang bercanda 'kan?" tanya Hailexa yang membuat Alexander tertahan di luar.
Alexander tidak menjawab, jutru kembali bertanya. "Kau tidak akan membiarkanku masuk?"
Dua benda itu kini sudah berpindah tangan, sampai-sampai Hailexa harus menutup pintu dengan kakinya. Hailexa menatap Alexander tajam, menanti laki-laki itu berkata jika bunga ataupun pizza ini bukan untuknya. Namun semakin lama ditunggu semakin tida ada respons. Yang dilakukan Alexander hanya berkacak pinggang sembari memperhatikan sekiling.
"Behenti menatapku, Hailexa. Lebih baik jika kau makan pizzanya sebelum dingin."
"Ini untukku?"
"Aku tidak melihat orang lain di sini. Binatang peliharaan pun tidak ada," ujar Alexander santai. "Anggap saja sebagai ucapan terima kasih karena sudah mengundangku. Itu pizza terbaik yang ada di Turin. Jika kau suka, aku bisa mengantarmu suatu hari nanti."
Empat potong pizza dengan lelehan keju di atasnya. Penampakannya sama seperti pizza pada umumnya. Namun ketika dikunyah, rasanya seperti ada ledakan kecil di dalam mulutnya. Dua puluh tahun lebih Hailexa hidup, ini menjadi pizza terenak yang pernah ia rasakan.
"Dari ekspresimu, sepertinya aku tahu apa yang saat ini dirasakan," duga Alexander.
"Sungguh aku sangat ingin menghabiskan semuanya sekarang. Tapi jika kulakukan, perutku tidak punya ruang kosong untuk lasagna."
"Tidak apa-apa. Kita bisa melakukannya lain waktu. Simpan saja bahannya."
Bibir Hailexa melengkung ke bawah. "Mana bisa seperti itu," sosornya dengan kepala yang terus menggeleng. "Aku tidak ingin kau pulang dalam keadaan lapar. Sebaiknya kita lakukan sekarang. Sebentar lagi masuk jam makan siang."
Hailexa memperhatikan setiap pergerakan tangan Alexander dari samping. Mulai dari menata peralatan sampai menyiapkan bahan-bahan. Gerakannya terlihat begitu terampil tanpa kendala. Alexander seperti sudah terbiasa dengan hal ini.
"Kenapa kita menggunakan saus instan?" Hailexa bertanya ketika Alexander menuangkan saus yang dicampur dengan daging cincang ke dalam mangkuk. "Bukankah lebih enak jika membuatnya sendiri?" tambah Hailexa di akhir.
"Memang baiknya seperti itu. Akan tetapi membuat saus seperti ini memakan waktu cukup lama. Satu sampai dua jam." Alexander menyalakan kompor dan meletakkan pan di atasnya. "Kau potong ini, aku perlu menghangatkan sausnya," perrintah Alexander sembari menunjuk pada butter yang masih utuh.
"Beberapa hari setelah tiba di Turin, aku selalu ingin mencoba memasak makanan Italia sendiri. Sayangnya sampai detik ini aku belum pernah melakukannya."
"Jika ingin mencoba, kusarankan dimulai dari pasta. Cukup mudah."
Setiap kali Alexander bicara tentang langkah-langkah, takaran bahan, serta tips dalam memasak, Hailexa selalu mendengarkannya dengan baik. Cara Alexander menjelaskan pun seperti koki profesional yang sering tampil di televisi.
"Jika sudah seperti ini, kecilkan apinya. Matikan dalam dua menit."
Hailexa menatap cairan kental yang terdiri antara campuran tepung, butter, serta susu. Saat semuanya siap, mereka mulai menyusun lapisan demi lapisan untut lasagna ke dalam wadah. Di akhir, Hailexa menaburkan banyak parutan keju sampai menutupi seluruh permukaan, sebelum akhirnya dimasukkan ke dalam oven.
Alexander memotong lasagna yang sudah matang menjadi beberapa bagian, lalu meletakkannya di atas piring. Pada suapan pertama, laki-laki itu terdiam dan menatap Hailexa lekat.
"Apa rasanya buruk? Jika benar, ini pasti ulahku," lirih Hailexa.
"Cobalah."
Kepala Hailexa bergerak mundur ketika dihadapkan pada sendok yang berisi lasagna. Baunya memang menggugah selera, namun rasanya belum tentu. Alexander terus mendekatkan sendok itu pada Hailexa, tampak sedang ingin menyuapinya.
"Kau harus mencobanya. Setelah itu baru bisa berkomentar," imbuh Alexander.
Meskipun ragu, Hailexa tetap saja menerima suapan itu. "Bagiku ini tidak buruk. Maksudku masih layak untuk dimakan," komentarnya setelah suapan pertama.
"Masih layak katamu? Ini sangat layak. Kau tidak suka?"
"Oh, benarkah? Aku suka, sangat suka. Hanya saja ini pertama kalinya aku memakan lasagna langsung dari Italia. Sebelumnya hanya kedai-kedai kecil. Jadi aku tidak tahu rasa aslinya."
Diiringi oleh tawa riang, Alexander menyugar rambut yang menutupi dahi. Kini wajahnya terlihat jelas, membuat Hailexa kembali memperhatikan bentuk alis yang sangat diinginkan.
"Alex. Kau terlihat begitu mahir di dapur. Apa kau pernah ikut kelas memasak?"
Alexander tampak berpikir sejenak. "Bukan kelas masak resmi. Aku hanya memperhatikan seseorang saat bekerja di dapur. Terkadang juga mencoba bereksperimen sendiri."
Hailexa mengangguk pelan. Tidak ada niatan untuk bertanya lebih dalam sebab mereka baru saling mengenal. Menurut Hailexa itu kurang sopan. Ada kemungkinan jika seseorang yang dimaksud Alexander adalah ibunya. Nanti, jika sudah dirasa lebih dekat, Hailexa akan mencoba untuk kembali bertanya.
Usai makan siang, kegiatan dilanjut dengan belajar bahasa italia. Seperti biasa, Alexander akan memberikan ratusan kosa kata serta susunan kalimat-kalimat baru. Sebenarnya Hailexa mulai bosan dengan rutinitas ini. Tetapi mau bagaimana lagi, berhenti di tengah jalan justru akan mempersulit dirinya. Selain itu kontrak kerjanya juga masih lama. Hailexa tidak bisa terus-terusan mengandalkan bahasa inggris dalam berkomunikasi.
"Aku suka apartemenmu. Sangat damai. Cocok sebagai tempat jika ingin menyendiri."
Dagu Hailexa terangkat. Tangannya yang semula sedang menulis kiri berhenti karena mendengar pujian dari Alexander. "Memangnya apartemenmu tidak?" tanya Hailexa hati-hati.
"Tiga bulan terakhir ini tetangga apartemenku sering kali bertengkar. Pasangan suami istri. Pernah suatu hari aku mendapati putra mereka duduk lemas di sisi pintu sambil menutup telinga." Alexander berucap dengan suaranya yang serak. Laki-laki itu terlihat sedang iba. "Usianya baru sepuluh atau sebelas tahun," jelasnya untuk melengkapi.
"Kuharap pertengkaran itu akan berakhir. Tidak bagus bertengkar di hadapan anak-anak. Lalu, apa yang kau lakukan?"
"Jika punya waktu luang, aku biasa membawanya ke restoran cepat saji. Mungkin lain kali aku bisa mengajaknya ke Primavera."
Primavera. Tiba-tiba saja Hailexa teringat sesuatu. "Alex," panggilnya. "Aku sudah bicara pada Nyonya Marni. Kau bisa bekerja di kafe. Begini, coba saja selama satu bulan. Jika cocok, kau terus bekerja. Jika tidak, kau punya hak untuk berhenti."
"Aku masih memikirkannya, Hailexa."
"Dengar. Kau punya bakat di dapur. Bukan hal yang sulit untuk bekerja di kafe."
Alexander menggaruk tengkuk dibarengi bibirnya yang melengkung—tersenyum manis. "Kenapa seakan-akan kau ingin aku bekerja di sana?" tanyanya dengan tujuan menggoda Hailexa. "Aku hanya bercanda. Nanti. Aku akan segera memberi kabar soal keputusanku," tambah Alexander dikarenakan melihat wajah Hailexa yang berubah tegang.