Chereads / THE SECRET AGENT! / Chapter 8 - Kita Bisa Melakukannya Bersama

Chapter 8 - Kita Bisa Melakukannya Bersama

"Maaf membuatmu menunggu."

"Alex, kau hanya pergi sepuluh menit untuk menelepon, sementara aku sibuk dengan tugas ini."

Alexander menggaruk tengkuknya dan kembali duduk di hadapan Hailexa. "Merasa kesulitan?"

"Tidak." Hailexa menggeser bukunya ke depan. Membiarkan Alexander itu memeriksa jawabannya. "Semoga semua jawabanku benar," harapnya.

"Kau hebat," puji Alexander tak lama setelah membaca jawaban Hailexa. "Kita baru bertemu empat kali dan kemampuanmu berkembang pesat. Jika aku memintamu mengarang cerita sederhana, mungkin kau bisa menyelesaikannya dalam waktu kurang dari tiga jam."

"Sudah kubilang, aku bisa belajar dengan cepat."

Alexander terkekeh melihat tingkah Hailexa yang memuji dirinya sendiri. Gadis ini unik. Hailexa tidak ragu untuk menunjukkan kepribadian aslinya di pertemuan pertama mereka. Hari-hari sebelumnya juga sama. Jika sedang kesal, maka Hailexa bersikap selayaknya orang kesal. Saat bahagia dia akan bertepuk tangan riang.

"Aku tahu. Ini, ada hadiah kecil untukmu."

"Alex, kau memberiku buku cerita anak-anak?"

"Ya. Itu bagus untuk membantumu belajar. Kata-katanya mudah dipahami. Begini," Alexander mengeluarkan beberapa buah novel yang dibeli bersamaan dengan hadiah Hailexa, "atau kau lebih suka novel?"

Hailexa menggembungkan pipinya. Senyuman masam sengaja ditampilkan guna menanggapi kalimat Alexander. "Aku menyukai novel, tapi terima kasih. Kurasa buku bergambar lebih menarik. Mungkin aku akan meminjamnya suatu hari nanti," balasnya yang membuat alis Alexander terangkat.

Pandangan Alexander jatuh pada wajah Hailexa. Tidak peduli berapa lama Alexander menatap wajah itu, rasanya ia tidak akan pernah bosan. Hailexa punya mata bulat dengan manik biru cenderung pucat. Pada bagian hidungnya, dihiasi bintik-bintik cokelat—freckles yang membuat Hailexa terlihat manis. Bibir merah mudanya juga tak kalah indah, sampai-sampai Alexander merasa... ah tidak seharusnya berpikir seperti ini.

"Jika tidak keberatan, boleh ceritakan sedikit tentang keluargamu? Aku penasaran dari mana aksen british itu berasal."

"Seingatku seorang gadis berkata jika tidak peduli tentang dari mana aku berasal." Wajah Hailexa yang berubah tegang dan mulai kesal, membuat Alexander mengurungkan niatnya untuk kembali bercanda. "Ayahku berdarah Italia dan Inggris. Lalu Ibuku, Amerika dan Italia. Kau bisa menebak untuk kelanjutannya," imbuh Alexander.

"Jadi dirimu bisa dikatakan lima puluh persen berdarah Italia, dua puluh lima persen Inggris, dan dua puluh lima persen lagi Amerika."

"Kira-kira seperti itu. Aku tidak pernah bertanya apakah Kakek Nenekku adalah orang Italia, Inggris, atau Amerika asli."

"Kau masih tinggal dengan kedua orang tuamu?" tanya Hailexa lagi.

"Ya. Rumahku bisa dikatakan jauh dari pusat kota. Karena itu aku memutuskan untuk membeli apartemen yang lokasinya tidak jauh dari universitas." Alexander balik bertanya, "Kau sendiri bagaimana? Keluargamu masih menetap di Amerika?"

Hailexa menggeleng pelan. "Orang tuaku sudah tidak ada. Sebelum memutuskan untuk kuliah, aku datang ke Italia untuk bertemu dengan Grandma dan putranya. Bukan keluarga kandung, hanya tetangga yang dulu merawatku setelah orang tuaku tiada. Saat aku masuk high school, mereka pindah ke Italia," jelas Hailexa yang tampak begitu tegar.

"Hailexa, maaf. Tidak perlu dilanjutkan."

"Bukan masalah besar, Alex. Santai saja. Kita akan jadi teman dekat dan kurasa kau berhak tahu."

Meskipun Hailexa berkata ini bukan masalah, namun membuka masa lalu adalah hal yang berat. Mungkin kesedihannya tidak terlihat, tapi bisa saja perasaannya sedikit terluka saat menceritakan hal ini.

"Apa kau punya keluhan selama belajar? Misal cara mengajarku yang buruk. Sampaikan saja sebelum semakin jauh," kata Alexander mengganti topik pembicaraan.

"Tidak ada. Aku sangat suka cara mengajarmu. Terima kasih untuk bukunya."

"Lain kali aku akan membawamu untuk menonton film tanpa subtitle."

"Ide bagus. Aku tidak sabar untuk itu," gumamnya penuh antusias

"Hailexa. Pekerja di kafe ini, apa mereka semua paruh waktu sepertimu?"

Hailexa menoleh ke samping. Dagunya mengarah pada perempuan yang berdiri di belakang kasir. "Tentu tidak. Namanya Vanya. Dia salah satu pekerja yang harus berjaga di kafe seharian penuh." Hailexa kembali memusatkan pandangannya pada Alexander. Dia tersenyum dan kepalanya sedikit dimiringkan. "Kau tertarik untuk bekerja di sini? Aku bisa membantumu bicara pada Nyonya Marni. Kebetulan kami sedang butuh bantuan."

"Aku tidak berkata seperti itu," bantah Alexander cepat.

"Ayolah, kau akan suka. Pikirkan saja dulu. Kau tinggal menghubungiku jika tertarik."

"Hm, baiklah. Kurasa cukup untuk hari ini. Sudah terlalu malam juga. Kau akan langsung pulang?"

"Ini bukan jadwalku menjaga kafe. Jadi akan langsung pulang."

"Kalau begitu," Alexander menghentikan kalimatnya sejenak. "Bagaimana jika aku mengantarmu pulang? Kurasa kita searah karena aku akan menginap di apartemen Austin," tawar Alexander takut-takut. Setelah sekian lama akhirnya Alexander kembali menawarkan tumpangan pada seorang gadis. Selama ini ia hanya berkutat pada Austin atau Allard.

"Jika tidak merepotkan, maka boleh saja."

Mobil Alexander berhenti tepat di depan lobi apartemen. Hailexa melepaskan sabuk pengamannya, bersiap untuk keluar setelah mengucap kata terima kasih. Akan tetapi gadis itu tiba-tiba mengurungkan niatnya untuk membuka pintu.

"Aku hampir lupa. Kita belum pernah membahas soal bayaran. Kau ingin dibayar—"

"Kita bahas ini di akhir. Setelah kau benar-benar bisa," potong Alexander. Jujur saja, sejak awal ia memang tidak pernah berharap pada bayaran. Alexander senang bisa membagikan ilmunya pada orang yang membutuhkan. Ditambah setelah mendengar kisah Hailexa, ia semakin tidak tega untuk menarik bayaran. Gadis ini berjuang keras untuk hidup dan Alexander tidak ingin jadi orang yang tidak tahu diri.

"Begitu ya. Lain kali katakan saja jika kau membutuhkan uangnya. Sebagai ganti, maukah kau datang ke apartemen? Aku akan memasak untukmu. Selain itu, kurasa kita butuh suasana baru untuk belajar." Hailexa menarik napas panjang. Dia berbicara terlalu cepat sampai kehabisan udara. Alexander tahu jika itu reaksi ketika sedang gugup. "Tidak perlu dijawab sekarang. Pikirkan baik-baik. Selamat malam, Alexander."

Alexander tertawa geli mengetahui Hailexa yang buru-buru keluar dari mobilnya. Wajar saja gadis itu gugup. Tawarannya terdengar seperti mengajak seseorang berkencan.

"Datang juga akhirnya. Aku sudah ingin tidur." Terdengar menyebalkan memang, namun ini cara Austin menyapa tamu di apartemennya. "Tidur denganku saja. Kamar sebelah terlalu berdebu. Aku baru akan membersihkannya besok."

Alexander meraih satu dari tiga buah gitar yang diletakkan di sudut kamar Austin. Gitar ini adalah miliknya yang sengaja ditinggalkan di sini. "Kapan Allard tiba di Prancis?" Alexander bertanya sebab ia belum mendapat kabar baru setelah keberangkatan Allard.

"Penerbangannya diundur dua jam. Jika tidak ada tambahan waktu, seharusnya dia sudah berangkat tiga puluh menit lalu."

Jari-jari Alexander memetik senar gitar dengan terampil. Sebuah lagu pengantar tidur sengaja dimainkan untuk menemani keheningan malam.

"Austin. Kau ingat dengan gadis yang memintaku menjadi tutor?"

Austin mengangguk. "Kenapa? Aku rasa ada cerita menarik setelah ini."

"Benar. Dia mengundangku untuk makan di apartemennya. Ini sebagai ganti karena aku menolak membahas soal bayaran. Tentu saja tidak hanya makan, kita akan tetap belajar."

"Alex dengar. Aku tahu hubungan terakhirmu berakhir buruk dan menyedihkan. Yang perlu kau lakukan adalah melawan rasa takut. Cobalah untuk menerima kenyataan dan mulai membuka diri. Jika kau memang tertarik dengan gadis itu, maka lakukan hal yang sama ketika kau tertarik pada mantan-mantan kekasihmu."

Perkataan Austin ada benarnya. Setelah patah hati, Alexander tidak pernah terpikir untuk mendekati perempuan lain. Ketakutannya akan kejadian sebelumnya menjadi alasan terkuat Alexander memilih untuk sendiri. Hatinya benar-benar hancur kala itu.

Saat Austin terlelap, Alexander meletakkan kembali gitarnya. Ia menarik selimut sampai sebatas pinggang. Matanya belum terpejam, melainkan menatap pada layar ponsel yang menyala.

Alexander Maverick : Hailexa. Katakan kapan aku bisa datang ke apartemenmu? Tidak perlu memasak sendiri. Kita bisa melakukannya bersama.