Chereads / Musafir & Sang Penggoda / Chapter 9 - Wanita Tarim

Chapter 9 - Wanita Tarim

{Permata Paling Indah adalah Wanita Sholehah}

* * *

* *

*

"Tujuan kita nanti ibu kota, Gus? "

"Iya, Ndrun. Gimana?"

"Bukan apa-apa, besok sudah puasa. Nanti kita sempat terawih gak ya?"

"Insya Alloh kita sudah sampai. Cari masjid atau musholla yang dekat stasiun."

"Tadi saat di perjalanan, saya melihat banyak orang membawa bunga tujuh rupa, Gus."

"Mereka mau ke makam, Ndrun. Kirim doa ke leluhur mereka. Setiap mau puasa, memang begitu. Biasanya nanti malam ada tradisi megengan. Di daerahmu masak gak ada?''

Megengan tradisi masyarakat jawa pada umumnya khususnya di jawa tengah, jawa timur, dan yogyakarta dalam menyambut bulan Ramadhan, megengan diambil dari bahasa Jawa yang artinya menahan.

"Kalau di daerah saya ada, Gus. Tapi kalau ke makam. Biasanya kalau mau hari raya."

"Rasulullah juga tidak melarang dan menganjurkan ziarah kubur menjelang Ramadan, seusai Idul Fitri, atau waktu-waktu tertentu. Nabi hanya memerintahkan ziarah kubur kepada umatnya untuk mengingat mati. "Maka kapan pun kita ziarah kubur, pagi, siang, sore, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat itu sah-sah saja. Tergantung tradisi di masing-masing daerah atau perorangan aja."

"Kalau nyadren itu gimana, Gus? Sudah menjadi tradisi."

"Nyadran adalah serangkaian upacara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, terutama Jawa Tengah. ... Dalam bahasa Jawa, Nyadran berasal dari kata sadran yang artiya ruwah syakban. Nyadran adalah suatu rangkaian budaya yang berupa pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan puncaknya berupa kenduri selamatan di makam leluhur." Jawab Dharma.

"Sah-sah saja, yang terpenting niatnya adalah illahi,kalau jaman sekarang Alhamdulillah nyadren sudah cukup aman. Kalau jaman dulu, masih nyamari, sebab di kehendaki adalah memuja roh-roh, dan itu musyrik."

"Saya pernah baca, jika nyadren itu aslinya yang bawa malah agama Hindu-Budha. Beneran, Gus?"

Dharma mengangguk.

"Awalnya memang begitu, tapi sejak awal abad ke 15 Walisongo menggabungkan tradisi tersebut dengan dakwahnya, agar agama Islam dapat dengan mudah diterima. Pada awalnya para wali berusaha meluruskan kepercayaan yang ada pada masyarakat Jawa saat itu tentang pemujaan roh yang dalam agam Islam dinilai musrik. Agar tidak berbenturan dengan tradisi Jawa saat itu, maka para wali tidak menghapuskan adat tersebut, melainkan menyelasraskan dan mengisinya dengan ajaran Islam, yaitu dengan pembacaan ayat Al-Quran, tahlil, dan doa. Nyadran dipahami sebagai bentuk hubungan antara leluhur dengan sesama manusia dan dengan Tuhan."

"Masya Alloh, Jenengan kados kitab berjalan nggeh Gus," celetuk Badrun.

Kabar tentang luasnya wawasan gus-nya memang sudah ia dengar. Tidak diragukan lagi. Tapi, saat ini setelah melihat dan mendengarkannya sendiri. Badrun semakin kagum dengan putra dari kyainya tersebut.

Terlebih saat dia di minta secara pribadi untuk menjadi teman seperjalanannya.

"Aku masih melempem, Ndrun. Saudara sepupuku malah lebih pintar-pintar. Mereka sudah ke negri Yaman, sedang aku masih di sini saja."

"Jenengan di sini saja Masya Alloh sampun, Gus. Apalagi nanti jika ke Tarim."

"Hehehe... Tetap saja, Tarim adalah tujuanku nantinya, Ndrun."

"Andai Gus, saya juga bisa ke sana. Tapi rasanya tidak mungkin. Jadi, semoga saya nantinya bisa banyak umur bisa belajar ilmu Tarim dari jenengan nantinya."

"Amin amin amin... Kata siapa gak mungkin, kalau ada niat Insyaallah bakal terwujud. Di niatkan aja dulu, biar Alloh yang menentukan."

"Ngoten, Gus?''

"Iya...Semoga kita bisa ke kota itu nantinya."

"Amin amin amin Ya Rabb... Ke sana saja Alhamdulillah, tapi kalau nambah dapat jodoh di sana ya Masya Alloh."

"Hahaha... Kamu mau sama wanita Tarim?''

"Kenapa memangnya, Gus? Jika kotanya saja suci, apalagi penghuninya. Wanitanya pasti para calon penghuni surga."

Dharma tersenyum. Apa yang di katakan Badrun memang benar.

"Kamu mau aku ceritakan soal wanita Tarim?'' tanya Dharma.

"Lah, kalau tidak keberatan Gus. Kalau saya, ya seneng aja."

Perjalan kurang satu jam lagi. Senja mulai menyingsing. Deru kereta terdengar nyaring. Di luar jendela terlintas ilalang dengan pemandangan sesawahan. Burung-burung di angkasa mulai menari-nari menghiasi langit senja.

Dharma mulai menceritakan tentang wanita tarim pada Badrun. Di sendiri belum faham, tapi sepupunya sudah sering menceritakan.

Perempuan Tarim sudah terbiasa sejak kecil dibesarkan dalam lingkungan beragama yang dekat dengan ulama, majlis ilmu, maulid dan sebagainya. Sejak kecil mereka dididik untuk membaca Alquran oleh orang tua mereka. Terdidik dengan akhlak yang mulia.

Pergaulan mereka terjaga. Begiu juga aurat mereka. Bagi mereka setelah mencapai umur baligh, tempat mereka adalah di dalam rumah. Mereka tidak pernah melihat lelaki asing selain dari saudara-saudara lelaki dan orang tua mereka saja.

Mereka dibesarkan dengan tidak mengenal musik, tidak mengenal kebiadaban dan tidak kenal wajah orang fasiq. Perbincangan mereka adalah perbincangan tentang majlis-majlis ilmu, Alquran, adab, akhlak, tasawwuf dan seumpamanya. Begitulah keadaan mereka dibesarkan.

"Kok saya jadi minder, Masya Alloh sekali wanita di sana." Komentar Badrun setelah mendengar cerita dari Dharma.

"Tarim juga di juluki sebagai buminya para wanita yang di rahmati Alloh. Sebab terjaganya aurat mereka."

"Sulit kayak e Gus kalau dapat istri orang Tarim," kata Badrun pesimis.

"Hehehe, Ya harus lebih-lebih, Drun. Gak bisa jadi biasa saja. Kerena mereka istimewa."

"Di sana tidak seperti di sini. Kalau di sana wanita Tarim amat sangat di hormati. Yang aku pernah baca, ya... Aku juga belum pernah tahu secara nyata. Jika di sana, mereka tidak pernah menyusahkan suami mereka. Begitu juga dengan para suaminya, tidak menyusahkan isteri mereka. Apabila barang kebutuhan rumah seperti beras susu dan sebagainya kehabisan, mereka tidak langsung memberitahu suami karena khawatir suami mereka tidak mempunyai uang atau sedang sibuk. Maka yang mereka lakukan adalah meletakkan bungkusan-bungkusan kosong pada tempat yang mudah dilihat suaminya." Cerita Dharma

"Begitu juga para suami, seluruh hajat dan keperluan dapur seperti sayur dan sebagainya suami yang membelikan. Keadaan ini tidak pula menghalangi para isteri untuk keluar membeli ke pasar seperti membeli baju atau barang keperluan wanita. Namun urusan dapur seperti membeli sayur, beras dan lain-lainnya itu merupakan tugas suami atau pembantu." Tambah Dharma.

"Haduh-haduh... Mundur Alon aku, Gus. Gak jadi," Ujar Badrun menyesal.

Dia tahu diri, jika dirinya adalah hamba biasa. Orang biasa, tidak punya apa-apa. Ilmu saja belum bisa ia banggakan sama sekali.

"Gak apa-apa, Drun. Boleh bermimpi, boleh berharap yang terpenting itu adalah menyiapkan hati. Andaikan jika harapan itu tidak terjadi sesuai keinginan kita."

"Hehehe, nggeh Gus. Saya tahu diri."

"Aku sendiri jika kalau ada pilihan wanita Tarim, aku bakal nolak, kok. Pilih yang biasa saja, asal bisa saling menjaga dan di ajak bareng-bareng masuk surga."

"Hehehe, biayanya pasti juga mahal, ya gus.''

"Hahaha... Kalau itu iya... Lumayan. hahahaha. Tapi aku lebih yang bisa dia ajak bersama-sama gitu, Lo drun."

"Nggeh-nggeh, faham. Lumrahe perempuan,"

"Iya..."