Chereads / Musafir & Sang Penggoda / Chapter 11 - Tangisan Seorang Gadis

Chapter 11 - Tangisan Seorang Gadis

{Ada yang lebih menyakiti daripada terusir. Misal ada tapi tidak memiliki siapa-siapa}

* * *

* *

*

Suara tangisan itu semakin dekat. Badrun menggigil ketakutan. Dia menoleh ke kanan ke kiri dan belakang, di malam yang mulai sunyi tidak ada seorang pun yang terlihat. Seakan tempat itu berubah menjadi asing. Padahal masih di area stasiun.

Tangisan anak kecil itu menyayat hati. Membuat Dharma semakin ingin mendekati. Ada getaran dari tangisan tersebut, rasa takut dan permintaan tolong.

Tepat di balik tembok, di balik kamar kosong tersebut.

"Huaaa! Astaghfirullah.... Astaghfirullah... Astaghfirullah...!" Badrun terjingkat-jingkat. Menutup matanya rapat-rapat. Ingin segera berlari namun tangannya ditahan oleh Dharma.

Ada sebuah keranda lengkap dengan penutupnya.

"Adik, kamu kenapa di situ?" tanya Dharma. Dia melihat anak kecil, duduk berjongkok, berpakaian lusuh dan muka acak-acakan di samping keranda tersebut. Duduk di pojokan tembok.

"Gus... Astaghfirullah... Itu anak beneran atau anak-anak, Gus... Ayo pergi," rengek Badrun ketakutan.

"Ustt... Dia manusia. Lihatlah," perintah Dharma.

"Tidak! Saya gak kuat lihat yang gitu-gituan, Gus." Tolak Badrun dengan masih menutup matanya rapat-rapat.

Dharma menggeleng-gelengkan kepala. Lalu melepas pergelangan tangan Badrun. Melangkah menghampiri anak kecil tersebut.

"Hai, adik... Kenapa kamu menangis? Di mana keluargamu?" tanya Dharma dia sudah berjongkok di depan anak kecil tersebut.

Gadis itu berhenti menangis. Dia menatap ke arah Dharma.

"Siapa kakak?'' anak kecil itu malah bertanya.

"Aku? Namaku Dharma, siapa nama adik?'' tanya Dharma lembut. Dia berusaha tidak membuat anak kecil tersebut ketakutan.

"Aku Noura." Jawabnya.

"Kenapa di sini, di mana keluargamu?" tanya Dharma lagi.

"Menunggu ibu, katanya ibu mau pulang. Tapi aku tunggu tidak kunjung datang. Aku pernah melihat ibu masuk ke dalam sini, setelah itu dia tidak kembali lagi. Karena itulah aku menunggu di sini, barang kali ini bisa membawaku bertemu dengan ibuku." Jelas Noura dengan menunjuk ke arah keranda yang ada di sampingnya.

Dharma tertegun. Dia mengerti sekarang. Barangkali anak kecil ini tidak mengerti jika ibunya sudah tidak ada. Kasihan sekali, gadis ini sendirian tanpa siapapun juga.

"Selain ibu, di mana keluargamu?" tanya Dharma.

"Kak Maria. Dia sedang bekerja, hanya kak Maria yang aku punya dan ibu." Jawab Naura.

"Dia tahu kamu di sini?" tanya Dharma.

"Tidak. Aku ke sini sendirian."

"Kamu tahu, jalan pulang?" tanya Dharma lagi.

Naura mengangguk.

Dharma lega.

"Drun, ambil barang-barang kita. Kita antar anak ini pulang." Pinta Dharma sambil menjawil Badrun. Dia masih tidak percaya jika anak kecil yang bersama mereka adalah manusia.

"Janganlah, Gus. Nanti kalau alamatnya salah gimana? Nyasar ke kuburan. Hua!!''

"Kamu ini, udah sana! Ambil barang-barang kita."

Mau tidak mau Badrun menuruti gus-nya tersebut. Dia lari ke depan mushola. Lalu lekas kembali lagi menemui Dharma.

"Ayo, kakak antar pulang." Ajak Dharma sambil mengambil tas ranselnya dari Badrun.

"Jauh... Kakak kuat jalan kaki?'' tanya Noura.

Dharma tertegun. Bagaimana anak sekecil itu bertanya, seolah jalan yang ia tempuh adalah jarak yang tidak biasa orang lain lakukan.

"Insya Alloh, kuat."

Noura bangkit lalu di berjalan mendahului.

"Katakan jika nanti capek, ya... Biar bisa istirahat." Kata Naura.

Dharma tersenyum. Dia mengikuti langkah kecil anak tersebut. Rambutnya yang berantakan coba di rapikan. Dia seperti sudah hafal kawasan yang sedang kami lewati. Dia bahkan seperti orang dewasa yang mengawasi kanan dan kiri agar aku dan Badrun tidak kesulitan berjalan dan mengamankan kami.

"Kamu tinggal dengan kakakmu?"

"Iya."

"Sendirian?"

"Iya. Tapi kakak bilang, ibu juga akan bersama kami nanti. Mangkanya aku tadi menjemput ibu. Tapi, lagi-lagi ibu berbohong. Dia tidak pulang."

"Kenapa sendirian, kenapa tidak menunggu kakakmu datang. Jika tidak ada kami tadi, apa kamu tidak takut jika ada orang yang membawamu pergi." Ujar Dharma.

"Tidak. Tidak ada yang berani menculikku." Kata Naura yakin.

Anak seusia dia, tujuh tahun dia faham akan maksud perkataan Dharma. Dia bahkan faham apa itu penculikan. Tapi dia sama sekali tidak takut akan hal itu. Jika dia sudah mengerti dan tidak sensitif dengan hal tersebut. Kenapa, dia tidak faham jika ibunya tidak akan kembali, dia sudah pergi.

Apa kakaknya tidak memberikan pengertian pada anak kecil tersebut?

Sudah hampir setengah jam. Tapi anak kecil tersebut masih terus berjalan. Tidak ada tanda-tanda jika mereka akan sampai pada tujuan. Dharma tidak merasakan lelah sebab dia terus berbincang dengan anak tersebut. Tapi, Badrun dia merasakan rasa lelahnya.

Dia mengingat satu persatu jalan yang mereka lewati. Meneliti dan menandai. Masih was-was dan tidak percaya pada anak kecil tersebut. Belum lagi, sudah 1km mereka berjalan dan belum juga sampai pada tujuan.

Saat tiba-tiba mereka akan melewati TPU badan Badrun kembali bergidik. Bayangan tentang anak kecil asing di depannya terdapat seakan terpampang nyata. Seperti yang pernah ia lihat di film-film horor. Jika malam-malam ia menemukan gadis atau seseorang yang mencurigakan dia adalah jelmaan hantu. Yang ingin menarik perhatian manusia untuk ia bawa ke rumahnya yang ternyata adalah kuburan. .

"Gus... Gus... Itu kuburan, Gus... Astagfirullah... Dugaanku benar, kan. Dia bukan manusia." Kata Badrun terbata-bata.

"Usst... Dia manusia. Kenapa kamu tidak bisa melihatnya dengan jelas. Jangan parno!"

Saat dekat dengan TPU Badrun semakin ketakutan. Dan ternyata mereka hanya melewati TPU tersebut.

Ada rasa lega. Tapi juga sampai kapan mereka berjalan.

"Lapar, Gus..." Kata Badrun saat belum sampai-sampai juga.

Dharma melihat arlojinya. Sudah pukul setengah dua belas. Larut malam. Dan sejak tadi gadis ini belum mengeluh lelah karena berjalan.

"Kita istirahat, bisa. Temanku kelelahan, dia juga lapar." Pinta Dharma.

Naoura mengangguk.

Dia melihat sekeliling lagi.

"Ayo! Di sana makananannya enak." Kata Naoura.

Dharma melihat arah yang ia tuju. Sebuah warung pinggir jalan. Sambelan dan lalapan. Dharma mengikuti. Mereka melintasi jalan raya untuk sampai pada tempat tertentu.

"Pak tiga porsi, ya..." Kata Naura.

"Hai, Noura. Kamu bersama siapa?" tanya penjualan. Dia bahkan tidak terkejut melihat Naura sendiri seperti ini. Mereka sudah saling mengenal.

"Mereka, teman kakakku." Jawab Naura.

Dharma tidak tahu, kenapa Naura mengatakan jika mereka adalah teman kakaknya. Padahal mereka belum pernah mengenal kakaknya tersebut.

"Oh..." Setelah itu penjualan hanya melihat Dharma kemudian Badrun secara bergantian.

Makanan datang. Dengan segera mereka melahapnya.

"Kamu sudah makan pedas?" tanya Dharma. Saat mengetahui jika Naura juga memesan makanan yang sama. Sambel dengan lalapannya lengkap.

"Iya..."

Dharma semakin penasaran dengan Noura. Dia tidak sama dengan anak kecil pada umumnya. Dia terlalu dewasa dengan umurnya yang masih belia.

Badrun saat ini sudah mulai percaya jika anak kecil tersebut adalah manusia. Saat mereka makan, penjualan tersebut tidak lagi bersuara. Padahal kelihatan sekali saat pertama kali mereka datang, penjualan tersebut akrab sekali dengan Naura.