Chereads / Musafir & Sang Penggoda / Chapter 8 - Bab 8: Pergi Tanpa Kembali

Chapter 8 - Bab 8: Pergi Tanpa Kembali

{Pergi untuk kembali saja sudah menyakitkan hati. Apalagi pergi tanpa tahu apakah mereka bisa kembali}

* * *

* *

*

Badrun tersadar lagi. Kemudian melihat sakunya. Dia mengucap hamdalah setelah melihat surat yang tadi dia sempat bawa.

Surat dari seseorang yang telah menganggap Gusnya itu adalah takdirnya. Surat dari seseorang yang membuat seantero pesantren iri padanya. Sebab dia dipilih sendiri oleh orang tua Gus Birru sebagai calon menantunya.

Iya, Badrun mengetahui segalanya. Apa yang tidak dia ketahui tentang Gusnya tersebut? Sepertinya tidak ada. Dia tidak hanya seseorang khodimah alias pengikut saja. Tapi juga pengawas Gus Birru sejak beberapa tahun belakanganan ini.

Hal yang tidak disangka-sangka adalah saat mengetahui kenyataan jika perjodohan yang digadang-gadang akan menurunkan keturunan yang ahli ilmu itu ditolak mentah-mentah oleh Gusnya itu. Dan saat ini dia rela pergi dari pesantren, demi menghindari perjodohan tersebut.

"Gus, rasanya kepergian kita kali ini begitu hambar. Aku yang bukan siapa-siapa saja merasa ada yang kurang. Apalagi jenengan," ucap Badrun dalam hati.

Dia tidak ingin mengucapkan langsung, sebah dia tidak mau membuat hati Gusnya itu kian nelangsa.

Pada tahun-tahun yang lalu, kepergian Gus dharma dan Badrun menjadi ajang paling mengharukan. Dimana semua orang akan berkumpul untuk mengantar kepergian mereka.

Mereka membentuk barisan di kanan dan kiri untuk melepas kepergian Dharma dan Badrun.

Saat-saat seperti itu cukup mengharukan. Bagi mereka Gus Dharma adalah lentera, dan saat ini mereka harus kehilangan lentera mereka untuk beberapa waktu yang tidak bisa di tentukan.

Biasanya, dengan niat penuh Gus Dharma melangkah, menyunggingkan senyuman untuk sekedar memberikan isyarat bahwa nanti akan ada saatnya dia akan kembali kepada mereka. Bahwa dia pergi untuk pulang nantinya.

Santri dan santriwati sudah layaknya keluarga. Tanpa mereka mungkin hingga saat ini Gus Dharma bukan siapa-siapa. Tanpa mereka pula mungkin Dharma tak akan sejauh ini melangkah.

Gus Dharma juga mengatakan beberapa petuah, bahwasanya dia pergi untuk mencari ilmu kehidupan yang nantinya akan dia ajarkan pada mereka juga. Gus Dharma ingin mendapatkan banyak pengalaman hingga nanti dia bisa tenang saat ada badai menerpa.

Akan tetapi saat ini perjalanan mereka akan lebih sulit lagi. Sebab yang ingin Dharma lakukan adalah mengecek keimanan dalam jiwa. Apakah imannya akan tetap sama, jika nanti dia bertemu dengan banyak godaan di luar sana.

Seperti cerita seorang Salman Al Farisi dalam perjalanan mencari kebernaran Tuhan kepada yang lain. Sahabat Anas Bin Malik yang berkelana mencari nabinya. Maka Arya Dharma saat ini sedang berkelana untuk mengenal jati dirinya.

---

Teringat kembali pada beberapa waktu yang lalu, saat pertama kalinya Badrun memberanikan diri untuk menyinggung soal Kayla.

Saat itu sama seperti waktu ini. Bedanya saat itu, semua orang masih mengantar kepergian untuk melakukan kegiatan pondok Ramadhan mereka. Sedang sekarang, hanya surat dalam sakunya saja yang mengantar kepergian mereka.

"Assalamualaikum warahmatullahi wa Barokah," salah Dharma setelah sampai di luar gerbang pesantren.

Satu taxi sudah menunggu dirinya. Dan setelah semua menjawab salamnya dia dan Badrun masuk kedalam kendaraan mereka.

Deru tangis masih terdengar. Saat itu mereka masih melewati bagian dari pesantren. Dan tepat di bagian pondok putri. Mata Dharma menatap pada bangunan lantai dua. Di sana berdiri Kayla dengan memandang Taxi yang ia tumpangi. Matanya sayu, seakan sedang berkaca-kaca. Dharma melihatnya, namun entah Kayla tahu atau tidak jika seseorang yang saat itu pergi mengetahui gelagat kesedihannya.

Andai Alloh memang mentakdirkan maka jarak dan waktu akan menyatukan mereka berdua. Hanya saja untuk saat ini mereka harus saling terpisah. Tidak hanya tempat dan waktu tapi juga tentang ketidakpastian.

"Ning Kayla ya, Gus?" Kata Badrun.

Dia menyadari keberadaan Kayla. Dia pun tahu jika Dharma balik memandangnya.

"Kamu kenal?"

"Siapa yang gak kenal. Siapa juga yang tidak tahu. Dia primadona pesantren. Semua mengidam-idam dia. Wanita dengan segala kesempurnaannya," Puji Badrun.

Dharma tersenyum mendengarnya.

"Jadi kabar soal Gus Dharma dan Ning Kayla itu benar?''

"Kabar apa?"

"Ya soal perjodohan itu, sudah menyebar ke seluruh pesantren, Gus."

"Gak ah... Cuman gosip."

"Beneran? Gak percaya aku."

"Di bilangin, Kok."

"Lah, padahal kalau jenengan sama Ning Kayla menikah bakalan ada hari patah hati nasional."

"Bisa aja, kamu. Memang saya apa, sampai buat patah hati nasional.''

"Ya Alloh, Gus. Emang ya, kalau udah di atas jarang lihat apa yang ada di bawah."

"Apa maksudmu?"

"Hehehe... Maksud saya, kalau sudah jadi orang yang terkenal di kagumi hanya orang. Kita gak perlu lihat orang yang mengosip tentang kita."

"Ya gak gitu juga. Malah kalau sudah terkenal, kita harus berterima kasih karena berkat mereka kita bisa ada sampai saat ini."

"Iya, Gus.... Manut,"

Tujuan mereka saat itu adalah stasiun kota. Mereka akan menaiki kereta untuk sampai di kota tujuan mereka.

Berbeda dengan saat ini. Yang tidak diketahui tujuannya.

Baru juga sampai, ponsel Gus Dharma berbunyi. Dari Ibu Nyai Aminah.

"Assalamualaikum, Bu..." Salam Dharma.

"Waalaikumsalam, gimana kabarnya, le? Kamu sudah di mana?'' balas Bu Nyai Aminah.

"Astaghfirullah, Ibu... Saya baru saja sampai di stasiun. Ini sudah di kereta."

"Kok ini sudah kangen, ya... Pulang yuk, Le..."

Beliau Ibu Nyai Aminah sudah menangis tersedu-sedu. Hati ibu mana yang bisa melepas anak kesayangan begitu saja. Meskipun saat itu, beliau tahu tujuan putra kemana.

"Buk, mau bicara dengan Badrun?" Tiba-tiba Dharma berinsiatif menawarkan hal tersebut.

"Loh, kok Kulo Gus?''Badrun terkejut.

"Gak apa-apa. Santai saja. Ini," Dharma menyerahkan ponselnya pada Badrun.

"Assalamualaikum, Bu Nyai?" Salam santun Badrun. Mau tidak mau dia menyapa, karena terlanjur ponsel sudah di genggamannya.

"Waalaikumsalam, Badrun. Gimana kabar kamu, le? Sehat-sehat ya...jangan telat makan, kalau di ajak Dharma aneh-aneh jangan mau. Sholat di jaga, banyakin sholawat."

Waktu itu juga Badrun langsung meneteskan air mata. Dia mengira bahwa Ibu Nyai akan meminta dia menjaga Dharma. Dia kiri Ibu Nyai Aminah akan memberikan banyak wejangan untuk terus mendampingi putranya. Namun nyatanya tidak, beliau malah khawatir dengan dirinya. Menanyakan kesehatan, kabar yang barang kali sudah lama tidak ia dengarkan dari sosok seorang ibu.

Saat itupun Dharma tahu jika Badrun sedang menangis. Tapi dia pura-pura sedang melihat keluar jendela. Air mata adalah wujud ketulusan. Dan jika saat ini Badrun menangis itu artinya dia sedang mendapatkan ketulusan yang selama ini ia damba.

Ibu Nyai Aminah adalah sosok ibu yang mengayomi anak-anaknya. Tidak hanya pada putra dan putri kandungnya. Dia pun sama sayangnya dengan para santri-santriwati.

Saat Badrun dan bu Nyai Aminah sedang berbincang banyak. Dharma sama sekali tidak keberatan. Dia senang bisa memberikan sedikit kebahagiaan pada Badrun.

Jika Dharma di lepas dengan banyak air mata dari orang-orang yang mencintai. Maka berbeda dengan Badrun. Dia sama sekali tidak mendapatkannya. Malah sebaliknya, banyak santri maupun Qodam yang merasa tidak terima jika dia yang mendampingi Gus-nya tersebut.