{Yang diminta adalah bagaimana kita terus mengeja. Bukan hafal lalu di tinggalkan}
* * *
* *
*
Badrun ada di salah satu gazebo, saat Dharma datang. Saat itu dia sedang membelakangi Dharma. Sedang santri yang saat itu kebetulan juga ada di gazebo lain langsung bangkit dan menyambut Dharma. Seperti santri lain, mereka sungkem dan menunduk.
"Sudah-sudah, saya mau ketemu Badrun."
"Nggeh..."
Salah satu yang mengetahui itu langsung berlari kecil kearah Badrun. Dia menepuk pundak santri laki-laki itu, setengah terkejut dia langsung menoleh ke arah temannya itu.
"Ada apa?"
"Di cariin, Guse sampean (kamu)."
"Masya Alloh!"
Badrun bangkit dari duduknya. Menengok ke arah belakang. Terbirit langsung menghampiri Dharma yang sudah berjalan ke arahnya.
"Ngapunten, Gus (Minta maaf, Gus),"
"Tidak apa-apa. Santai saja."
Dharma menepuk punggung Badrun. Lalu beriringan berjalan menuju gazebo.
"Wonten perlu nopo, Gus? Sampek Dalu ngeten Niki teng mriki. Kok mboten nimbali Kulo mawon wau. (Ada perlu apa, Gus. Sampai malam-malam ke sini. Kok tidak minta saya yang menemui saja tadi),"
"Pengen ne ngene, Kang (Kepenginnya gini, Kang)."
"Lagi apa, kamu?"
Dharma melihat kitab kecil tergeletak di atas kardus kosong. Kitab hafalan nadzom, bisa di tebak jika Badrun sejak tadi sedang menghafal nadzom-nya.
nadzom (bait syair) tersebut harus dihafalkan oleh santri, terutama santri di pondok salaf. Selain menjadi faktor pendukung dalam belajar bahasa Arab, hafalan nadzom juga efektif untuk media dakwah dan syiar islam. Sebenarnya tidak ada yang sulit dalam menghafal nadzom di pondok pesantren.
"Sedang menikmati malam, Gus."
Dharma tersenyum. Dia duduk di gazebo, di ikuti Badrun. Santri lainya sudah undur diri. Tadinya mereka masih berbicara keras saat gus-nya tidak ada. Tapi setelah Dharma datang, semua berbicara seperlunya. Lirih. Beberapa lainya malah keluar dari area kolam. Takut menganggu.
Badrun sendiri tidak tahu, apa yang menyebabkan gus-nya itu datang. Itupun langsung menemuinya. Sejak dia mondok di pesantren tersebut, jarang sekali gus-nya itu mendatangi santri, kecuali jika memang di perlukan.
Setahu Badrun, gus-nya suka sekali melakukan hal apapun sendiri. Mandiri, dan tidak nge-gus i. Meskipun banyak Qodam, Gus Dharma_ panggilan para santri untuk orang yang sedang ada di depannya itu tidaklah pernah merepotkan para Qodam.
Hanya saja, jika kemana-mana tetap saja di temani sama sopir. Itupun anjuran dari Ibu Nyai.
Sering dengar dari para Qodam bagian sopir, jika Gus Dharma sebenarnya humble. Dia tidak menjadikan kedudukannya sebagai alat untuk kekuasaannya. Tidak semena-mena. Bahkan sering kalau sudah di luar, Gus Dharma lah yang mengendarai mobilnya. Qodamnya malah di suruh nyantai.
Sebagai abdi, mau tidak mau Qodam menuruti kemauannya.
"Ngapunten (maaf), Gus. Kalau boleh tahu ada keperluan apa, ya?" Badrun was-was.
"Kamu mau ikut aku besok?"
"Teng pundi (ke mana)?"
"Ibu kota. Mengelana. Selama bulan puasa ini."
Badrun tenganga. Antara terkejut dan tidak percaya.
"Kaleh jenengan mawon (sama kamu saja)?"
Dharma mengangguk.
Badrun belum menjawab. Dia masih seperti orang yang shock.
"Gak mau? Atau ada kegiatan lain yang pengen kamu lakukan?" tanya Dharma karena belum juga mendapatkan jawaban.
"Mau, Gus. Mau banget!"
"Alhamdulillah,"
Badrun sumringah, tidak percaya dengan baru saja di dengar. Gus-nya mempercayai dirinya untuk ikut perjalanan yang lama.
Sebagai abdi keluarga pesantren hal itu adalah anugrah. Kesempatan yang langka, dan tidak semua mendapatkannya. Qodam yang bertahun-tahun saja belum tentu mendapatkan kesempatan tersebut. Sedang Badrun baru sebentar, dan langsung mendapatkan hal tersebut.
Gairah untuk memanfaatkan momentum itu langsung bergejolak tinggi. Membayangkan akan banyak pelajaran yang akan ia dapatkan dari Gus-nya nanti. Terlebih dia akan lebih dekat dengan keluarga ndalem.
"Sinten mawon, Gus yang nderek (siapa saja yang ikut, Gus)?"
"Ya, aku Karo awakmu, tok (Ya, kamu sama aku saja),"
"Masya Alloh. Barokalloh, matur suwun Gus!"
Kegirangan Badrun bertambah ketika ternyata nanti hanya dia yang akan menemani gus-nya itu. Itu artinya kepercayaan sekali untuk dirinya.
"Tapi besok itu, aku tidak bawa apa-apa. Mbolang-lang. Gak bawa mobil, gak bawa bekal, bawa badan dengan niat cari ilmu dan pengalaman. Kamu siap?"
"Siap, Gus!"
Dharma tersenyum. Dia tidak salah memilih orang yang nantinya akan menemaninya. Untuk jangka waktu yang lumayan lama, Dharma memang menimang-nimang siapa yang patut dia ajak.
Selain nantinya mereka akan benar-benar hidup di jalanan, mereka juga harus bersabar dengan apapun resikonya nanti.
Dharma memilih Badrun tidak dengan alasan dia biasa melarat. Tapi Dharma melihat Badrun perlu di berikan kesempatan untuk di percayai. Meskipun dia Qodam baru, tapi Dharma yakin dia mampu menjadi teman yang bisa membuatnya nyaman.
"Kamu tadi Lalaran, drun?" tanya Dharma dengan melihat nadzom yang masih tergeletak.
"Hehehe...sekedik (sedikit), Gus. Saya malas orangnya jadi ya... begitu."
Dharma mengambil nadzom-nya. Melihat halaman yang lusuh, tanda sang pemilik begitu gigih mebolak-balikkan lembar demi lembar nadzom tersebut.
"Ya sudah, terusin Lalarannya nanti saya ganggu."
Kata Dharma seraya menyerahkan kitab kecil tersebut.
"Mboten, Gus Estu (Tidak, Gus. Beneran)!"
"Aku dulu susah Drun hafalan nadzom. Mumet, puyeng,"
"Masak, Gus?"
Badrun tidak percaya. Sekelas putra kyai mengalami hal yang sama seperti yang ia alami juga? Padahal jangankan nadzom, kitab besar-besaran saja, Gus Dharma bisa menghafalnya.
Semua kitab di lahap tanpa tersisa. Pembahasan apapun, bab apapun dia bisa menjelaskan dengan lantang dan benar. Belum lagi tentang dalil.
"Iyalah, aku juga manusia biasa, drun. Jangan di kira baca langsung hafal."
"Hehehe, tapi sak Niki pul hafal molak-malik nggeh."
"Tuntutan, Ndrun. Menungso kui kudu duwe tarjet, duwe tanggungjawab sing gede. OPO ae lek di tarjet tur ngeroso duwe tanggung jawab mesti akeh isone. (Manusia itu harus punya target, punya tanggung jawab yang besar. Apapun kalau punya target dan punya tanggung jawab pasti banyak biasanya)."
"Kados jenengan, tanggung jawab e pesantren Niki, nggeh (Seperti kamu yang punya tanggung jawab pesantren ini, ya)?"
"Gak harus punya pesantren. Siapapun bisa memiliki tanggung jawab. Tanggung jawab untuk memenuhi perintah dari Gusti Alloh untuk selalu menuntut ilmu, tanggung jawab ke badan, akal dan kehidupan untuk bisa memiliki ilmu. Tanggung jawab untuk orang-orang sekitar, dan lain sebagainya."
"Ngoten, Gus?"
"Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia, dan jika tidak bisa mencapai itu, setidaknya ilmu yang kita punya bisa kita amalkan untuk diri kita sendiri."
"Kalau pun manfaat teng tiang katah Gus?"
"Tetep cari llmu, sebab ilmu lebih panjang umurnya dari pada kita. Ilmu bisa jadi sebab amal jariyah, ilmu bisa jadi sebab anak Sholeh."
Badrun mengangguk-angguk. Di malam yang mulai merayap, di saat semuanya temannya terlelap, dia masih terjaga mendengarkan patah dua patah ilmu yang di sampaikan Gus-nya.
Sebab malam adalah waktu datanganya kerahmatan, pengampunan, dan juga doa-doa yang terkabulkan.