Taman bunga milik keluarga Latuconsina sangatlah indah. Beragam bunga sudah bermekaran di sana. Letaknya berada di belakang rumah besar rumah. Namun di taman bunga itu, ada rumah kaca khusus untuk pembibitan. Awalnya bangunan rumah kaca yang berada di taman bunga ini merupakan ide Vanda Latuconsina dan Roy Latuconsina. Kakak tiri Sisi dan paman Sisi, yang harus dipanggilnya Ayah.
Mengoleksi bunga memang menjadi tren yang digilai para sosialita di kota ini. Intinya orang yang mulai menyukai bunga, berarti dia telah memiliki hobi mahal, atau memulai diri sebagai hobi seorang Sultan. Harus diakui, setelah dibangunnya rumah kaca di dekat taman bunga, menjadikan taman bunga lebih indah.
Kalau biasanya bunga-bunga bermekaran dengan jangka pendek, maka bunga-bunga yang berada di rumah kaca akan memiliki masa hidup lebih panjang daripada biasanya. Sebenarnya rumah kaca itu adalah tempat dimana Sisi selalu menyendiri.
Tempat Sisi menepi, ketika dirinya merasa lelah, karena harus mengikuti segala peraturan yang menurutnya sangat membosankan. Sebab Sisi jelas-jelas tidak menyukai beragam situasi yang kerap menjebaknya. Apa kau bisa merasakan hal itu? Terkadang Sisi merenungi nasibnya, kenapa dia harus menjadi gadis yatim piatu, dan harus mengikuti segala peraturan di keluarga besar Latuconsina.
Beruntung karena saat ini Sisi bebas. Karena Vanda sedang mengamankan Thomas. Mereka sedang berada di taman bunga, tidak menuju ke rumah kaca.
"Ah, senangnya Thomas bisa diamankan oleh Vanda! Ah, ini adalah tempat yang sangat tepat untukku. Aku harus belajar di sini. Menyelesaikan segala yang 10 tahun lalu, tidak dapat aku lakukan. Aku harus bisa masuk di universitas bergengsi itu!" kata Sisi sambil berkacak pinggang memandangi bunga yang mekar di luar rumah kaca.
"Masuk universitas terbaik adalah impianku. Impian dari Sisi Latuconsina, yang tidak boleh dibunuh oleh siapa pun! Aku harus berhasil dalam kehidupan ini. Menjadi Sisi yang cerdas, bukan Sisi yang penurut dan bodoh di masa lalu!" tekad Sisi.
Namun sesuatu terjadi, di luar dugaannya, ada orang lain di rumah kaca tersebut. Sesosok laki-laki yang saat ini sudah lebih dulu berada di sana. Lelaki itu menempati kursi yang biasa digunakan oleh Sisi. Sejenak Sisi mengerjapkan mata besarnya, kemudian dia menahan hasrat untuk berlonjak-lonjak dan berteriak saat itu juga.
Sebuah siluet yang sangat dikenal oleh Sisi. Lelaki itu mengenakan setelan hitam resmi. Kakinya yang panjang disilangkan. Dia duduk di atas kursi, yang biasa digunakan oleh Sisi. Rambutnya yang setengah panjang dan sedikit keriting, diikat menjadi satu, menyerupai ekor kuda. Sisi masih bisa menangkap aura mengesankan dari seorang Raka Harta Yudana.
Sisi melihat Raka yang sedang membolak-balik kertas bahasa Inggris miliknya. "Raka kenapa kamu ada di sini?" gumam Sisi yang melotot, hingga matanya hampir keluar. Sebab menatap sosok lelaki yang sangat dirindukannya itu.
"Ingin peluk kamu!" keluh Sisi lemah sambil mendekap dadanya sendiri. "Duh, melihat Raka di sini, membuatku ingin menyeretnya ke pencatatan sipil untuk mendapatkan akad nikah! Bukannya seharusnya kita sekarang ini adalah suami istri, Raka?" gumam Sisi seperti anak kecil yang melihat permen di depannya.
Tiba-tiba tubuh Sisi terasa kaku, bahkan kakinya terasa lemas dan kesulitan untuk melangkah. "Raka bukannya baru semalam kita melakukan itu? Tapi kita terlempar pada masa 10 tahun yang lalu, huh!" keluh Sisi yang tiba-tiba hampir saja menangis.
"Raka apakah jika aku memintamu untuk menikahiku seperti kemarin, pada saat ini. Apa kamu akan menganggapku gila sekarang?" kata Sisi menimang.
"Tidak. Aku harus realistis. Aku tidak boleh menyiakan kesempatan ini. Raka telah ada di depanku sekarang. Aku harus mendapatkannya kali ini. Raka tidak boleh lolos!" gumam Sisi bersemangat.
Dan saat Sisi hampir ngiler akibat merasakan pusat tubuhnya berdenyut mendamba, sebab melihat sosok laki-laki perkasa itu,
Lalu Raka menoleh padanya. Raka melihat keberadaan Sisi dan melambaikan sebuah kertas.
"Hai, apakah ini milikmu?" tanya Raka dengan kesan seorang pemuda cool dan sangar. Hingga orang tak segan untuk mengambil jarak dengannya, saat berada di sekitar Raka.
Dengan perlahan, Sisi berjalan ke arah Raka. Sisi bahkan bernyanyi riang di dalam hatinya. Perasaannya sedang diletupkan kegembiraan, seakan suara sorak-sorainya membuat banyak bunga bermekaran di hati Sisi.
Sisi memutuskan untuk duduk di hadapan Raka. Raka menyerahkan kertas yang dilambaikannya tadi pada Sisi, sambil berkata dingin, "Saya tidak punya banyak hal yang harus dilakukan. Jadi tadi saya mencoreti kertasmu. Ah ya, isian di sana sangat mengerikan. Sebenarnya kamu ini akan menjadi mahasisiwi seni atau sains?"
Sisi mengambil kertasnya dari Raka, kemudian berkata tegas, "Akan menjadi mahasisiwi sains!"
"Pilihan yang bagus. Di antara fisika, matematika, biologi, dan kimia, apa yang menurutmu paling sulit?" tanya Raka dengan nada yang mulai bersahabat.
"Maafkan aku, Tuan. Sebenarnya saya tidak pandai dalam ilmu sains. Saya lemah dalam matematika, fisika, biologi, mauapun kimia!" jawab Sisi dengan suara yang lemah. Sebuah lampu besar menyala terang di dalam kepala Sisi sekarang.
"Kalau begitu kamu akan mendaftarkan diri ke Urniversitas mana?" tanya Raka hati-hati.
"Universitas N!" seru Sisi dengan percaya diri.
Setelah mendengar pengakuan Sisi, Raka melihat pada gadis itu, dengan senyum tipis yang samar di bibirnya. Sisi tahu bahwa Raka, mungkin geli melihat seorang gadis yang buruk dalam sains, tapi ingin mendaftar di universitas bergengsi.
Namun, Sisi percaya bahwa ini adalah kesempatan terbaik untuk bisa dekat dengan Raka. Kemudian sambil memegang kertasnya, Sisi berdiri dan membungkuk dalam-dalam kepada Raka, "Tuan tolong jadikan saya murid Anda! Guru tolong bantu saya, untuk belajar dan bisa masuk universitas terbaik!"
Raka sangat terkejut dengan pernyataan yang baru saja di katakan oleh Sisi. Bahkan Raka sampai melompat dari kursinya. Lalu menatap Sisi tanpa bisa berkata sedikit pun.
Sementara Sisi masih membungkuk di tempatnya. Tapi tidak menutupi kecantikan gadis itu. Rambutnya menutup sempurna di wajahnya, yang sedang berseri-seri, akibat melihat reaksi bingung yang ditampilkan oleh Raka.
"Tapi saya mendengar bahwa direktur Roy Latuconsina, telah menyewa guru privat untuk mengajarkan putrinya?" kata Raka terdengar ragu-ragu.
Di dalam hati, Sisi ingin mengatakan, bahwa sebenarnya dia diperlakukan tidak adil oleh Roy Latuconsina atau pamannya yang harus dipanggilnya dengan sebutan Ayah. Terlebih Vanda lebih tua satu tahun dari Sisi. Namun, mereka harus berada di dalam kelas yang sama. Bahkan mereka berdua akan mengikuti ujian masuk perguruan tinggi tahun depan bersamaan! Pada kenyataannya, Roy Latuconsina memang menyewa guru privat. Tetapi hanya untuk putri kandungnya saja.
Sisi menarik nafas dalam-dalam, kemudian berkata dengan tenang, "Guru privat itu hanya untuk kakak perempuan saya. Kata Ibu saya sangat buruk dalam mata pelajaran. Sehingga tidak perlu membuang waktu dan uang untuk menyewakan guru privat untuk saya, Tuan!" jelas Sisi.
Sisi masih belum mengangkat kepalanya, dari postur tubuhnya yang membungkuk di hadapan Raka. Sehingga Sisi belum bisa melihat ekspresi Raka– ketika dia mengatakan, bahwa dirinya tidak diberikan fasilitas guru privat oleh ayahnya.
"Apakah ... apakah mereka memperlakukanmu dengan baik?" tanya Raka dengan suara yang sedikit bergetar. Sisi dapat menangkap aura simpati yang begitu besar, dalam jiwa Raka.
Sisi lalu mengangkat wajahnya dan melihat pada ekspresi Raka, yang terlihat begitu khawatir padanya. Kekhawatiran yang sama saat Raka sangat terkejut, melihat Sisi yang diminta bunuh diri oleh Thomas. Yaitu ketika Raka menyelamatkan Sisi dari laut.
Sisi tersenyum sangat manis dan berkata, "Guru saya ingin menjadi seperti kakak perempuan saya. Saya ingin memiliki cita-cita yang tinggi. Saya berjanji akan berusaha sangat keras dan tidak akan mengecewakan Anda, Tuan Raka!"
Raka lalu menatap Sisi, dengan tatapan yang tidak terduga.
"Yeah, karena aku tidak bisa menjadi istri Raka dalam kehidupan ini, aku akan memulai dengan menjadi muridnya terlebih dahulu!" kata Sisi dalam hati.
Sisi memohon kepada Raka dengan tatapan yang sangat memelas. "Saya tahu, Tuan. Bahwa orang-orang telah mengatakan banyak hal buruk di belakang saya. Tentang saya ini adalah seorang sampah keluarga. Ah, mereka selalu mengatakan itu, tentang saya yang berasal dari gen yang buruk dan tidak akan pernah bisa masuk universitas bergengsi di kota ini. Karena saya ini bodoh, tidak secerdas saudara perempuan saya. Saya hanya ingin membuktikan pada mereka, Tuan. Bahwa Sisi Latuconsina juga bisa berguna."
"Astaga, Sisi! Tentu saja kamu tidak ... Oke saya bersedia! Saya bersedia membantu mu!" kata Raka dengan sangat lembut. Sehingga membuat Sisi sangat terkejut dan debaran itu mulai muncul.
Sebuah rasa yang tak bisa ditahannya. Perasaan yang sangat kuat, untuk seorang lelaki yang sangat dicintai Sisi Latuconsina. "Raka apa kamu masih ingat?"