Sore itu, Pulung harus terkikik menahan tawa. Bagaimana tidak? Pulang-pulang suaminya minta di manja. Pulung sih tidak keberatan. Tapi di sore hari main raba sana raba sini, kok rasanya kaya agak ehm gitu ya.
Maka dari itu, Ardika yang mengabaikan titahan Pulung untuk mandi, ciumannya justru menggebu-gebu. Sedikit terburu tidak seperti biasanya. Seolah sedang ada yang di kejar—tentu kenikmatan. Pun Pulung ikuti arusnya. Toh, kapan lagi menyenangkan suami.
Kali ini ada pembeda yang tak bisa Pulung jabarkan. Buaian Ardika pada titik sensitif tubuhnya membuat mulutnya bungkam. Sudah tersumpal ciuman masih di buat menggelinjang. Lebur sudah pengakusisian Ardika pada tubuhnya.
"Kenapa buru-buru, sih?" Pulung baru bisa meraup oksigen untuk bisa bersuara. Semua fungsi tubuhnya mati total terseret alur permainan. Sekarang, jari-jari Ardika sungguh nakal melesak di antara pangkal pahanya yang membasah.
Dan tidak ada jawaban yang ingin Pulung dengar selain kekehan. Senyum Ardika sungguh menawan. Perpaduan antara kelam matanya yang mendamba gairah, hasratnya sudah membuncah. Ingin segera menuntaskan, tapi berbuat yang tidak demikian bukan kehendak Ardika.
Lantas berhenti sejenak. Ardika kecup kening Pulung lama. Kelopak matanya tertutup. Deru napasnya menusuk relung yang tertusuk. Lalu beralih ke kedua mata Pulung. Yang mana pernah Ardika janjikan untuk tidak membuat air mata meluruh di sana. Tapi sedikit lagi Ardika akan mengingkari janjinya. Beralih ke kedua pipi. Secara bergantian dan paling akhir melumat sekali lagi bibir istrinya.
Oh Ardika sumpahkan cinta sehidup semati untuk Pulung Rinjani. Tak ada bohong apalagi dusta yang bersarang. Seluruh kalimat-kalimat cintanya murni. Tapi … patutkah?
"Takut Omi bangun." Itu cuma alasan belaka. Sekali pun benar adanya. Naomi suka rese mengganggu momen keduanya yang sedang mencumbu untuk bercinta. Dan berhenti di tengah jalan menghambat kenikmatan.
Sedang tengah Pulung tatapi sorot mata sang suami. Ada perasaan bersalah yang bersarang. Entah apa. Hanya Ardika yang paham. Sebelum di ungkapkan, takkan bisa Pulung simpulkan. Jadi tersenyum menjadi penenang.
"Lanjut?" Itu Pulung yang tawarkan. Tentu Ardika tercengang. Tidak biasanya istrinya bersikap demikian. Tapi ya sudahlah ya. Sudah kepalang basah kalau tidak di lanjutkan bisa pening semalaman.
Jadi raba-rabanya berlanjut. Di mulai dengan bibir Ardika yang turun di antara perpotongan bahu dan leher, ia kecupkan tanda kepemilikan di sana. Desisan yang menguar memenuhi ruangan. Uhh, surga dunia sungguh tiada tara nikmatnya.
Tangan sudah berkeliaran ke mana-mana. Ardika meremas sana sini yang kian melenguhkan desahan. Sudah! Ruangan itu tidak lagi sunyi. Melainkan berisik tidak karuan.
***
Pulung sudah mengetahui posisinya. Sudah tahu caranya mempelajari apa yang menjadi bagian dari porsi kebahagiaannya.
Ibaratkan begini:
Sesaat sebelum hidupnya yang lama meresahkan lekas hadir Ardika, warna cerah dengan suasana yang baru menghampiri. Tentu yang belum pernah Pulung terima ataupun rasakan di masa lalu. Hanya perlu memilah manakah yang patut untuk Pulung singgahi sebagai keluarga dan teman yang ia percayai. Timbang memiliki banyak namun palsu belaka. Tidak. Pulung enggan masuk ke dalam kategori drama yang hendak di lepaskan meraung-raung. Bukan artinya tidak percaya pada ungkapan 'Aku cinta kamu' atau kata-kata lainnya. Sekarang ini, lebih baik melihat tindakan. Itu lebih bisa di katakan akurat.
Menoleh ke sampingnya, Pulung tahu, seseorang ini yang sedang bersama dengan dirinya masih di ragukan ketulusannya. Karena kehadirannya yang dadakan pun dengan ketidaksiapan Pulung dalam memulai. Tapi dari pada menunggu dalam ketidakpastian, Pulung memulai untuk membuka.
Detik berikutnya, Pulung beringsut turun. Melilitkan selimut di tubuhnya dan berjalan menuju balkon, hujan turun mengguyur. Sekelebat kenangan ingatan menyusup.
Ketika… merasa ingin, Pulung akan berjalan tanpa tujuan. Lalu sengaja membuang payung dalam genggaman padahal hujan mengguyur. Di hari seperti itu, biasanya Pulung sedang bersedih. Sekadar melepas sedihnya, dan tubuhnya yang panas terasa sejuk oleh air hujan. Berjalan tiga puluh menit setelahnya, hujan mereda. Bukan kutukan maupun umpatan yang meluncur, justru senyum yang merekah.
Karena ada pemandangan indah di hadapannya: pelangi yang sepertinya mau mengabulkan permintaannya. Tiba-tiba Pulung terpikir. Bahwa berjalan tanpa tujuan menyenangkan. Lalu berpetualang tanpa peta adalah hal yang paling mengagumkan.
Benar. Begitu baru benar.
Meski seperti bukan dirinya tapi pikirannya mendukungnya. Tak punya tujuan bukan masalah, berjalan tanpa arah pasti ke mana kakinya melangkah juga bukanlah hal yang buruk. Asal tetap Pulung jalani bersama Ardika… sekonyol apapun maknanya menjadi sebuah kebenaran.
"Enggak mandi?" Pelukan dari belakang mengeratkan. Embusan angin malam terlawan. "Bisa sakit kalau nanti-nanti."
Tapi Pulung enggan beranjak. Yang dilakukan justru mengeratkan tangan pada lengan Ardika dan merekah senyuman. "Kayanya nggak perlu mandi."
"Cuma sesekali ya." Ardika tertawa. Istrinya suka bersikap lugu untuk beberapa hal. Yang saat itu menjadi tempat di mana Ardika syukuri kehidupannya.
Setelah menduda selama lima tahun, akhirnya bisa Ardika terka ke mana arah perasaannya. Di umur yang ketiga puluh lima otewe tiga puluh enam, akhirnya Ardika putuskan untuk menemukan tambatan hatinya. Bukan tanpa sebab. Sering Ardika ocehkan perihal ketidakmampuannya menerka rasa. Namun perempuan dalam dekapannya sungguh membenarkan tiap keraguan.
Menikah bukan perkara mudah bagi Ardika pun dengan Pulung yang gagal. Banyak pertimbangan yang Ardika putuskan sebelum melangkah. Tapi jika Ardika tidak memiliki Pulung dalam hidupnya, rasanya akan lebih menyulitkan.
"Makasih," bisikan Ardika di sertai jilatan pada daun telinga Pulung. "Ini nggak bakal lebih indah tanpa kamu." Lagi. Dan di balas desahan sensual.
Melow dadakan. Nggak tahu siapa yang naruh bawang di sini. Sampai Pulung berkaca-kaca. Ardika terlampau romantis. Walaupun desakan lainnya menyapa seusai mendesah. Kan kampret!
"Kita tuh pas dan klop banget."
"Kenapa?"
"Duda ketemu janda. Atau janda ketemu duda."
Bahagia memang seendes itu untuk di kenang. Obrolan ringan menghasilkan tawa tak berkesudahan. Sedang bom waktu lainnya tengah meledak. Ardika dan Pulung memilih malam ini untuk di habiskan bersama.
Siapa tahu, esok tak lagi bisa bersua. Karena hati manusia siapa yang bisa menebak.
Hanya sesekali. Sebatas itu saja. Sesederhana itu kalimatnya. Tapi kesan mendalam menderu dalam jiwa.
"Makasih sudah mau jadi pasangan aku. Yang bersedia nerima aku apa adanya beserta jajaran kekurangan aku. Sudah melengkapi, menggenapkan dan tidak menuntut apapun yang nggak aku miliki. Pulung…" Tarik napas dalam-dalam. Ardika yakin akan menyesali ucapannya malam ini di lain hari. Menunda bukan gaya kerjanya. "Aku tahu cara mencintai pasangan, berkat kamu. Dan bisa sesederhana ini kala menerima. Makasih."
Di dunia ini, tidak ada orang yang ingin kehilangan apalagi melepaskan orang terkasihnya. Siapapun takkan bisa melakukan hal demikain yang sangat berharga. Porsinya, ada beberapa bagian cerita yang tak bisa di bagi maupun di ketahui oleh orang lain. Sama halnya dengan cinta yang tersimpan tanpa gugahan.