Ada yang nenek sayangkan."
Bicara-bicara Maha kembali lagi mengunjungi sang nenek. Alasan rindu menjadi tema awal begitu memasuki pekarangan kedai yang merangkap rumah. Sang nenek tahu, bukan itu perkaranya. Meski demikian, ketimbang memprotes apa yang Maha lontarkan, lebih baik menghiburnya.
Dan benar saja. Terlukis jelas di kelamnya mata Maha, sekelebat bayangan lampau menyeruak masuk. Yang kepalanya tengah di tidurkan dalam paha sang nenek. Dan elusan di kepala yang melenturkan urat-urat tegang di dahi Maha.
Nenek ceritakan soal tindakannya yang dianggapnya lucu. Tawa dan umpatan saling mengisi. Keduanya terlihat klop dalam urusan berkata kasar.
"Andai kita bertemu lebih awal. Nenek yakin semuanya menjadi lebih mudah atau setidaknya lebih baik begitu."
Senyum Maha terpancar. Belum ada keinginan untun merespon setelah tawanya mereda.
Namun itu benar. Barusan terlintas di pikiran Maha jika seandainya dulu dirinya bertemu nenek lebih awal dari takdir yang telah menentukan. Atau buatlah nenek adalah nenek kandung dari salah satu kedua orangtuanya. Bukankah itu lebih hebat lagi?
"Jika begitu kita bisa bermain monopoli kesukaanmu seusai pulang sekolah. Membuatkanmu ayam goreng untuk di bawa ke piknik sekolahan. Dan jika ada yang meremehkanmu aku bisa menemui orangtua mereka untuk memarahinya. Lalu memberi tahu mereka bagaimana cara mendidik anak-anaknya dengan benar."
Bibir Maha seratus persen terkunci rapat. Kelopak mataya sudah tertutup sempurna. Lalu rasa sakit di hatinya menjalar menusuk ke jantungnya. Kedongkolan yang mendadak muncul, membuat salah satu tangannya mengepal kuat. Bukan itu saja. Kemarahan yang selama bertahun-tahun di pendamnya juga ikut bertubrukan dengan ketidakadilan dunia.
Lihatlah anak-anak yang lainnya.
Masa kecil mereka sangat bahagia. Sangat sempurna dengan hadirnya orangtua yang utuh. Diberi perhatian berlebih yang bahkan tidak bisa habis meski di kuras. Dicukupi kebutuhannya tidak dalam bentuk materi namun juga kasih sayang sepanjang hidupnya. Diajak tertawa. Berbagi cerita.
Sedang Maha?
Hanya perlu untuk cukup puas dengan apa yang sudah papanya berikan.
Tanpa cinta. Tanpa teman. Tanpa saudara. Tanpa pelukan. Dan urusan kecacatan keluarga. Secara keseluruhan Maha merasakan penderitaan.
"Aku hanya menyesali kenapa tidak bisa menjadi orangtuamu atau salah satu dari keluargamu. Meski demikian, alih-alih menyesalkan apa yang sudah Tuhan berikan, aku malah membayangkan sesuatu yang konyol."
"Apa?" Maha bangun dari rebahannya dan terduduk menyilakan kakinya.
"Ah itu … bagaimana rasanya aku bisa tinggal di samping rumahmu dan menjadi seorang nenek yang sangat cerewet untuk mengomentari semua tindakanmu."
Begitu saja Maha mendengus. Tidak menjadi nenek tetangga saja, sudah sangat rewel tingkahnya di mata Maha. Apalagi jika sempat menjadi tetangga? Bisa hancur hari-hari Maha karena di recoki.
"Kamu nggak suka?"
Ekspresi Maha akan menjadi minim ketika bersama nenek. Wanita tua itu sudah seperti ibunya yang mengenal segala tindak-tanduk dari sikap Maha. Yang gusar, gelisah, sedih lalu segalanya sangat nenek tua ini hapal.
"Nenek benar nggak nyesal?"
"Enggak!" Gelengnya kuat-kuat. "Cuma menyayangkan karena kita ketemunya telat. Kalau lebih cepat, kamu nggak bakal di bully sampai segitunya."
Tidak pernah sekalipun Maha dilindungi secara aman.
Dulu, Maha kecil mengenal rasa ketakutan yang tak berujung. Kala pagi menyapa, di situlah letak kesialan yang harus Maha kata-katai. Pagi hari berudara sejuk bukan di sambut penuh syukur, Maha malah ogah-ogahan. Sekadar beranjak dari ranjangnya saja enggan. Barulah pengasuh yang akan memberinya petuah: 'hidup, sesusah apapun harus terus berlanjut. Bukan kita yang mengikuti, tapi berbagai tuntutan mengejarnya.'
Sekarang, perkataan itu Maha betulkan. Andai dulu tidak ada nasihat begitu, entah akan menjadi apa dirinya usai rampung sekolah. Sudah menikmati bangku SMA saja bagus. Karena Maha tidak ada cita-cita selain menjadi pemberontak ulung.
Gilanya, menjadi pembangkang saja harus punya talenta. Harus ada dasar-dasar pendidikan agar setiap misi yang tersusun berjalan lancar. Jadilah nenek tua yang saat ini duduk di sampingnya, memandang langit gelap menerawang dengan isi kepala masing-masing.
"Beruntungnya kamu kuliah. Hingga sukses seperti sekarang ini."
"Kenapa?"
Lirikan tajam menghujam. Nyali Maha mengkerut di tempat. Bibirnya yang kering saling membasahi. Bau-baunya sudah tidak enak untuk dilanjutkan. Tapi nenek berkata, "Umur tiga puluh tahunmu mengerikan tanpa pasangan ngomong-ngomong."
Aigoo!
Kenapa setiap orang sangat mengkhawatirkan perihal pernikahan dengan umur yang terbilang matang. Lantas apakah itu salah Maha jikalau hati belum berkeinginan? Mengarungi biduk rumah tangga tidak berupa membina dan saling mengarahkan. Percaya serta terbuka belum tentu bisa dijadikan patokan. Apalagi cinta.
Mengatakan cinta, mengungkapkan cinta nyatanya angka perceraian tidak pernah turun setiap tahunnya. Membludak iya.
"Harus?" Nenek mengangguk dan menggumamkan persetujuannya. Maha mengelus dada. Kesal maksimal. Umur dijadikan acuan. "Maha belum siap."
Rasanya panas sekali. Tampolan nenek di kepala bagian belakang Maha tidak bisa dibilang halus.
"Sakit?" Pertanyaan yang jelas-jelas sudah tahu jawabannya. Dasar konyol! Nggak ngerti lagi Maha sama kerja otaknya si nenek. Yang berganti detik sudah menepuki pipi Maha—lumayan keras. Tapi Maha nikmati sensasinya. "Kamu selalu cerah nggak pernah sendu padahal lagi sedih."
"Payah." Ejek Maha. "Peribahasa nenek payah. Kalau aku cerah terus, seluruh tanah di dunia ini berarti gurun pasir. Bahkan Jakarta bisa gersang. Nggak bakal ada rumput hijau yang indah…" Tunjuknya tepat di depan sana segerombol rumput tengah bergoyang tertiup angin. "Atau buah-buahan enak yang tiap hari kita makan."
Benar. Maha sudah besar. Sudah bukan bocah sepuluh tahun yang di jahili sana-sini atau yang mendapat perundungan setiap menitnya. Sekarang, lelaki itu tumbuh sempurna dengan kematangan yang pas. Kesuksesannya tidak lagi diragukan. Bisa menentukan setiap keputusan yang di ambilnya dengan untung rugi di setiap pertimbangannya. Semestinya, nenek tidak menjadi khawatir apalagi mencemaskan hal-hal yang bisa diambil dengan matang.
"Oke."
"Kok tumben." Maha protes. Nenek melirik sekilas. "Biasanya suka ngajakin aku debat."
"Bakal kalah total nenek."
"Mana ada."
"Ada." Nenek usapi punggung tangan Maha yang di bawa keatas pahanya. "Cerita Raja-raja zaman sejarah dulu, mereka selalu kalah dari anak-anaknya."
"Kuno." Tetap saja Maha terhenti dadakan. Teringat akan prinsip papanya yang pernah mengatakan hal serupa. "Orangtua itu kunci utama di mana si anak harus menentukan jalannya."
"Salah besar." Di sangkal langsung. "Orang tua cuma mengarahkan. Anak yang mengambil tindakan. Kamu contohnya. Apa yang pernah papamu berikan selain uang dan kemewahan." Benar. Tidak ada. Maha tertegun. "Yang bisa mengambil tindakan ya kamu. Kamu yang paling tahu apa yang kamu inginkan. Apa yang ingin kamu gapai. Apa yang ingin kamu capai. Semuanya ada peran orangtua di dalamnya. Cara kerjanya harusnya begitu. Tapi …"
"Maha nggak punya keduanya."
"Ada nenek."
"Hm, ada nenek."
Itu sudah lebih dari cukup. Dari pada tidak sama sekali. Dan beruntung, tidak ada sesal yang nenek gayuhkan di hati.