Dulu, Pulung punya mimpi. Sederhana dan terbilang konyol pada usianya.
Saat membantu ibunya yang sewaktu itu berjualan di depan rumahnya. Ada sepasang kekasih duduk bersua di ujung warungnya. Dua gelas kopi tersaji di hadapannya. Cerita-cerita yang mengalir dari bibir keduanya. Hujan sore hari menjadi latar pemandangan yang asri.
Rintiknya tergambar pelan. Tidak deras juga tidak kencang. Jadi, ketika bertemu dengan atap rumah, sangat merdu menyapa rungu.
Hingga Pulung terbuai oleh kisah pasangan romantis di umurnya yang masih kecil. Secuil doa tersemat di hatinya. Bahwa nanti, harapannya tidak muluk-muluk. Bisa memiliki seseorang yang membuatnya jatuh cinta sampai lupa caranya berpaling. Juga bisa Pulung ajak ke mana pun bahkan jika ke kedai kopi sekali pun. Untuk menikmati sensasi kopi yang pekat di temani obrolan-obrolan ringan seputar kehidupan.
Mungkin akan sangat menyenangkan memiliki pasangan yang bersedia diajak berlama-lama bercerita di sana.
Sampai di hari ini, Pulung duduk menunggu Naomi yang memakan ayam gorengnya dengan lahap. Sesekali mencomot kentang gorengnya tanpa merasa terganggu bisingnya kondisi sekitar. Yang Pulung tatapi dalam-dalam betapa bahagia dirinya mempunyai Naomi dalam hidupnya. Seperti ditemukan dalam oase di gurun.
"Mama mau?" Pulung menggeleng. Tangannya mengarah mengambil tisu, mengelap sisa saos yang keluar dari jalurnya. "Oke."
Pandangan Pulung mengedar. Sepasang suami istri yang sudah tua—sudah memiliki cucu mungkin—duduk bercengkerama di restoran sebelah. Keduanya nampak sangat bahagia, saling cinta, menggenggam tangan satu sama lain, menertawakan apa yang mereka bicarakan.
Kenangan Pulung terlempar jauh di masa remajanya dulu: Mungkinkah ini pasangan yang pernah mampir ke kedainya?
Kemudian, yang terpikir di otak Pulung ialah perihal resep awet berpasangan. Yang sejatinya sangat mudah dan sederhana. Yakni, cukup menemukan seseorang yang bersedia saling cinta, saling setia, saling menerima dan yang paling penting, pasangan yang bersedia diajak bercerita apa saja sampai tua. Sebab, jika usia sudah tidak muda lagi, tidak bisa melakukan banyak hal. Orang yang saling cinta masih bisa berbagi dunia dengan saling bercerita.
Ya. Memang seharusnya begitu cara kerja berpasangan dalam menjalin hubungan.
Sayangnya, Pulung tidak mendapatkan kriteria begitu. Ataukah memang tiap-tiap orang berbeda dalam mengekspresikan rasa cintanya?
Di pernikahan pertamanya, yang Pulung anggap awalnya sebagai jembatan 'oh ini cinta' dan baik-baik saja faktanya tidak demikian. Mereka bercerita. Membagi kisah di setiap harinya. Mulai dari pekerjaan bahkan keluhan-keluhan yang di ungkapkan. Terus seperti itu sampai lelah dan bosan lalu hilang kebiasaannya. Dan berujung pada perpisahan yang meninggalkan luka tak berkesudahan.
Kedua kalinya. Pulung arungi dengan jalan yang lebih baik lagi. Meski terlihat buru-buru. Bayangkan. Belum keluar surat cerainya, Pulung sudah di lamar. Di minta menjadi istri seorang duda tampan. Yang kaya dan memiliki segalanya. Yang memberi jaminan untuk kehidupan masa depannya.
Tapi … apakah itu cukup?
Uang saja apakah bisa membuat hati berbunga.
Apakah cinta bisa tercurah lewat nominal uang?
Tidak. Pulung merasakan kehampaan yang hadir entah sejak kapan. Pulung melihat hubungan ini dingin walau hangatnya sepasang mata menatapnya terpancar sejuta cinta di dalamnya. Beribu kekaguman di hujamkan. Namun … hati Pulung tetaplah kosong. Ini mirip sandiwara cinta. Persis yang bermain di dalam drama lalu dirinya sang tokoh utama.
Kalau boleh jujur. Belum pernah Pulung merasa seberuntung ini. Kedua kalinya menikah, peran menjadi seorang perempuan benar-benar dirinya jalani. Dicintai sebegitu dalamnya oleh Ardika, dimiliki dan memiliki tanpa berbatas. Kini, bahagia lahir dalam bentuk-bentuk yang amat sederhana. Ingin sekali Pulung berteriak, 'Tuhan, untuk satu kali ini saja, kumohon jangan diambil lagi, biarkan aku menjaganya.'
Tapi, jika belum jodoh. Apa bisa di kata?
Tangis Pulung hampir pecah jika tidak ingat ada Naomi di depannya. Menahan juga bukan keahliannya walau diam menjadi kebiasaannya. Ingin menyangkal bahwa ini semua mimpi pun mustahil. Di sana benar berdiri dengan jelas seseorang yang amat ingin di jaganya. Yang doanya telah dipanjatkan kepada Tuhan. Mengingkari apakah sebuah dosa?
Ternyata benar. Tidak ada yang baik-baik saja dari sebuah kehilangan. Pulung pernah kacau di masa lalunya karena di hempaskan. Dan sekarang… lebih dari itu. Hancur lebur menjadi gambaran yang pas. Terlebih yang berada di sampingnya… itu bukan ilusi semata, kan?
Pantas Pulung rasakan perbedaan.
Yang diawal terlihat baik-baik saja sekarang tidak ada lagi hal serupa yang terjadi. Adanya hanyalah ciuman tanpa hasrat untuk saling menyentuh satu sama lain. Lantas, apakah harus kedua kalinya kini terjadi lagi?
Sampai kapan harus Pulung rasakan kondisi demikian?
Bahwa ingatannya akan selalu mencari-cari cara untuk kembali mengingatkan pada sesuatu yang harus dilupakan. Tetapi, dari banyaknya kehilangan yang paling sulit ialah Pulung harus berpura-pura menjadi orang asing padahal kenangan tentang Ardika, Pulung mengetahui segalanya.
Satu saja yang pulung lewatkan dalam skenario ini. Jika orang terdekatnya, yang pernah melemparkan harapan akibat keterpurukan, kini mengambil alih alurnya. Dia yang Pulung anggap keluarganya, justru yang paling berkhianat.
Bukankah Pulung terlalu mudah untuk di bohongi?
"Mama … kenapa?"
Cepat-cepat Pulung dongakkan kepalanya. Menarik napas dalam-dalam dan mengulas senyum di bibirnya.
"Mama nangis?"
"Enggak. Cuma kelilipan."
"Bohong! Mama lihat apa?"
Sungguh. Yang terluka bukan hanya Pulung namun juga Naomi. Anak sekecil itu, hatinya sudah di bajak untuk mengerti kejamnya dunia pernikahan. Harus di paksa mengenal luka yang di torehkan oleh orang sekitarnya.
"Beneran. Ini kelilipan." Pulung yakinkan Naomi untuk jangan melihat ke arah belakangnya. Bahwa kedua matanya tengah beradu pandang dengan milik Ardika yang menatapnya penuh luka dan sesal. Padahal Pulung tidak membutuhkan tatapan semacam itu. "Oh, sebentar."
Pulung jawab telepon yang menampilkan nama sang ibu. Dengan suara yang serak, Pulung normalkan sebaik mungkin guna menyapa. Ini pasti mencurigakan tapi Pulung enggan berpikir terlalu lama.
"Hm, Pulung baik. Ibu dan bapak gimana?"
Hening seperkian detik lekas terjawab, "baik. Semuanya baik. Rumah tangga teteh aman?"
Punggung Pulung kaku seketika. Belum ada pembicaraan serius usai pernikahan pertamanya berakhir. Sekarang, ditanyai semacam itu, seolah Pulung sadar diingatkan untuk berkata yang sejujur-jujurnya. Tapi …
"Semuanya baik bu." Bukan bermaksud untuk berbohong. Pulung mempertimbangkan jalur ke depannya.
"Sekiranya kesulitan di kota, teteh bisa pulang kampung. Tahu nggak? Sanggar tarinya nganggur. Semenjak teteh merantau dan jarang pulang, nggak ada yang ngajar lagi."
Ini sebuah pertanda. Jika Pulung harus mengambil tindakan. Pilihan bertahan bukan suatu jalan terbaik. Kedua kalinya menikah. Kedua kalinya juga gagal. Pasti ada maksud lain di balik semua ini.
"Lagian masih pandemi. Kerjaan juga bakal makin susah. Kalau pun teteh kerja, sistemnya nggak kayak kondisi yang normal. Teteh bisa pulang. Bapak sama ibu selalu terbuka seperti apa pun keadaan teteh."
Tangis Pulung pecah namun tertahan. Enggan menunjukkan dan takut dianggap kalah. Kalau ternyata, Tuhan belum bisa menggenggam doa-doanya.