Chereads / Tiga Kali Menikah / Chapter 39 - Bab 39

Chapter 39 - Bab 39

Seseorang mengatakan: 'Setiap pertemuan akan membawa perpisahan. Setiap awalan akan ada akhiran.'

Jadi, Pulung terdiam saja. Mulutnya kesulitan untuk berbicara. Hatinya juga bimbang untuk memutuskan. Begitu sampai rumah, duduk termenung kerjaannya. Memutuskan kesepakatan final untuk rumah tangganya di kala hati sedang gundah, akan membawa dampak tak baik di kemudian hari.

Tapi, setelah semuanya terlihat begitu nyata, haruskah Pulung tetap bertahan?

Itu menunjukkan seberapa bodoh dirinya, kan?

Lantas jika bertahan, alasan apa yang hendak Pulung lontarkan?

Naomi?

Pasti kedengarannya konyol. Ya karena setelah Pulung terdepak dari sini akan ada ibu baru yang masuk. Jadi, ayo lanjutkan saja untuk berakhir. Tidak apa-apa usianya masih dini. Pun jika dilanjutkan akan percuma. Terlalu banyak perubahan yang Ardika lakukan dan hati Pulung kebas untuk sekadar bertahan.

Yang menyakitkan hanyalah, posisi di mana Pulung belum bisa membawa serta keturunan asli darinya dan Ardika lebih dulu berpaling. Berjalan berapa bulan pernikahan ini? Entahlah. Pulung enggan menghitung.

Lelaki yang awalnya sangat manis hingga membuat hati meringis. Yang dalam hati Pulung gaungkan rasa terima kasih telah memilihnya. Terima kasih untuk mengukir sejarah baru agar kehidupannya berjalan baik di kemudian hari. Pasti tidak akan baik-baik saja. Di samping kehilangan yang menyakitkan, semoga tidak ada sesal dari diri Pulung yang telah melepaskan Ardika pun begitu sebaliknya. Terima kasih—sekali lagi—sudah pernah membuat Pulung merasa bangga: untuk Ardika. Karenanya Pulung belajar bersetia—sekali lagi juga—dan demi menjaganya hatinya—sekali lagi dan lagi—Pulung rela mematahkan harapan yang lainnya.

Ini sudah berakhir. Perpisahan patut di ambil sebagai jalannya.

"Kamu nggak mau dengerin penjelasan aku dulu?"

Datang-datang Ardika bertindak ganas dengan mencekal tangan Pulung yang bergerak menaruh baju-bajunya di koper. Tidak peduli pada napasnya yang ngos-ngosan, Ardika lebih dari takut untuk kehilangan namun doyan membuat kesalahan. Dasar human!

"Aku dengerin." Senyum Pulung masih terpampang indah di ukiran bibirnya yang tipis. Namun kegiatannya juga tidak terhenti membuat hati Ardika ketar-ketir.

Rasa bersalah menyergap relung Ardika. Kelopak matanya terpejam. Merutuki kalimat-kalimat pembodohan untuk sikapnya yang tolol dalam bertindak. Mengembalikan seperti sedia kala juga bukan sebuah kemungkinan. Di dunia ini, tidak ada yang pasti. Waktu saja tidak bisa di putar apalagi sebuah kesalahan. Memperbaiki bukan dengan cara menyesal sedang Ardika tidak tahu lagi caranya.

"Ada kesalahpahaman di sini. Maaf."

"Dante isi kayanya."

Bukan kayanya lagi. Itu benar. Ardika menyangkal lewat gelengan. "Ya. Makanya ada kesalahpahaman di sini. Dante kerja sebagai wanita panggilan. Bayi itu belum tentu punya aku."

"Dan dia datang ke kamu minta pertanggungjawaban. Sudah jelas, kan? Terlepas dari profesinya … Kamu sering menghabiskan waktu bersama Dante."

Tak ada tangis atau mata yang berkaca-kaca. Pulung menahan sekuat yang dirinya bisa. Bahkan Ardika mengeraskan rahangnya. Omongan Pulung sangan tepat di rungunya.

"Sayang… Pulung… ini nggak seperti yang kamu kira. Bukan—aku nolak—bayi itu bukan punya aku. Aku yakin seratus persen."

Pandangan Ardika menatapnya intens. Pulung benci di tatapi seperti itu. Ada curahan kasihan yang terlukis di manik Ardika. Pulung tak suka dikasihani. Perasaan Pulung akan bergejolak jika di tatap macam itu. Seolah akan ada masalah besar yang hendak terjadi. Dan itu benar. Seluruh sinar di dunia menghilang dan kehidupannya hancur. Ardika lebih dari tahu cara membuatnya hilang rasa.

"Mas …" Berhenti sejenak untuk menutup koper. "Sudah. Kita berakhir. Mungkin memang benar ini jalannya. Kita bukan jodoh yang bisa di persatukan. Bahkan di akhir dunia nantinya. Tuhan telah mengirimkan yang lebih baik untuk bisa mengimbangimu. Aku tahu, kamu menginginkan keturunan untuk penerus selanjutnya."

"Aku punya Naomi. Itu sudah lebih dari cukup."

Sekali lagi senyum Pulung terbit. Gelengan kepalanya membuat saraf-saraf di tubuh Ardika melemas. Kakinya berubah menjadi jeli. "Sejatinya manusia sangat rakus. Tidak pernah puas dengan apa yang ada dalam genggamannya saat ini. Terakhir kali, makasih. Saya merasa berharga selama menjadi bagian dari hidup kamu."

***

Tidak ada kejahatan yang sempurna.

Maha paham betul kata-kata tersebut. Sebab kejahatan akan di balas dengan kejahatan lainnya. Kalimat yang selalu di tuliskan bahwa kejahatan bisa di balas dengan kebaikan itu salah. Nyatanya, Maha melakukan kejahatan lantaran dendamnya.

Kepada Aksara, Maha tunjukkan sikapnya yang arogan dari berbagai masalah yang di buatnya.

Teruntuk Ardika, Maha merebut apa yang seharusnya menjadi miliknya. Apa yang menjadi haknya entah dalam bentuk materi atau yang lainnya, Maha ambil secara paksa. Cara halus takkan pernah mempan. Maha tahu itu. Melawan Ardika, bukan dengan sikap tenang atau lemah lembut dalam meminta.

Semuanya berdasar pada sakit hatinya, dendamnya, keinginan hati untuk memiliki. Jadi, di mata Maha, tindakannya sudah paling benar dan patut di benarkan.

Sedang Maha berpikir untuk teori-teori yang lebih klasik. Kejahatan hanya akan berhenti jika poros dari sumbernya juga berhenti.

Artinya, harus ada yang mati untuk menghentikan semua kegilaan ini. Agar lingkaran setan yang di ciptakannya juga tidak berbuntut penuh korban.

Namun, dari semua perlakuan yang Maha ambil sebagai bentuk sebuah keputusan, menjadi jahat bukan keinginannya. Itu semata-mata memproteksi dirinya sendiri untuk tidak tertindas seperti masa kecilnya dulu.

Lalu pemandangan di depan sana adalah bukti ulahnya. Akibat susunan kejahatan yang telah dirinya lakukan. Membuat seseorang yang tak tahu apa-apa menjadi korban. Yang Maha anggap impas. Yang Maha nilai tidak dengan nominal uang berapapun jumlahnya.

"Teh?" Sebagai awalan. Maha berpura-pura terkejut. Melotot kala melihat koper yang Pulung bawa. "Teteh mau ke mana? Kok bawa-bawa koper segala."

"Pulang."

Oke. Maha akui jawaban yang Pulung berikan telampau santai bahkan diiringi senyum menawannya.

"Pulang kampung maksudnya?" Diangguki. Yang tanpa perlu di tanya apalagi diberikan penjelasan sudah sangat Maha pahami artinya. "Ayo tak antar. Kebetulan—"

"Nggak perlu. Ada taksi online yang sudah saya pesan."

Penolakan Pulung tidak terjadi satu kali ini saja. Lebih dari ini pernah terjadi. Dan Maha paling pandai menyimpan raut luka di wajahnya.

"Arah kita sama," pungkasnya merebut ponsel Pulung. Menekan tombol cancel yang ada di aplikasi dan mengembalikan kepada sang empu. "Kenapa dadakan?"

Ditanyai begitu serta merta membungkam bibir Pulung. Kebingungan terlukis di sendu wajahnya yang ayu. Maka, Maha bertindak sangat cepat. Menggiring Pulung untuk masuk ke dalam mobilnya dan menaruh koper di bagasi.

"Saya tahu. Ada yang terjadi. Mau berbagi cerita?"

Bukan tidak tahu maknanya. Pulung bisa menebak ke mana arahnya usai ini. Sejak dulu, Maha selalu hadir ketika kesusahan menyapa dirinya. Tapi mengapa tidak bisa hatinya terketuk untuk Maha yang sangat tulus.

"Kangen rumah."

"Kenapa sendiri?" Mesin mobil belum menderu. Masih di halaman depan rumah Ardika. Biar saja. Maha ingin melihat seberapa terbakarnya Ardika melihata adegan ini. Dia yang telah menyia-nyiakan. Dia juga yang akan menanggung lukanya.

Akan Maha pastikan setiap penderitaan yang harus Ardika bayar. Tidak hanya pada masa kecilnya saja. Namun juga kebahagiaan yang semestinya miliknya akan Maha bawa kembali.