"Lo punya pandangan apa dalam memandang dunia?"
Adalah Rambe yang datang-datang berceramah. Mengganggu jam tidur Ayana yang lelah selama perjalanan.
"Ada cerita yang bisa lo kuak sesuka hati. Ada yang bisa lo pendam biar orang nggak tahu. Ada bagian dari daftar isi yang mesti lo rusak karena pengen adanya sebuah perubahan. Tapi …" Terdiam. Rambe lebarkan matanya menatapi gedung-gedung pencakar langit dengan nuansa lampu kerlap-kerlip. Sensasi lain yang tak pernah dirinya dapatkan selama ini. Ternyata, Jakarta di malam hari menyapa dini hari bisa seesensial ini. "Gimana lo ngelihat dunia selama tiga puluh enam tahun ini?"
Rasa-rasanya Ayana belum pernah menceritakan semelankolis apa seorang Rambe. Lelaki itu tahu betul dasar-dasar menyentuh sanubari manusia lain untuk menarik perhatian. Atau membawanya masuk ke dalam cerita yang hendak Rambe jabarkan. Ayana suka namun tetap saja di perpaduan kurangnya tidur dan kepala yang pening itu terdengar menyebalkan.
"Lo cuma perlu tahu sebuah cerita karena rasanya dan karena mau lo ketahui bukan buat lo rubah arusnya."
Lagi masih tentang cerita dunia. Ini mulai mengesalkan di rungu Ayana. Sungguh. Rasanya seperti kamu menjadi ironman.
"Sekarang gue balik tanya." Ayana ambil alih peran Rambe yang bertanya mengenai dunia. Ayana ingin andil bagian dalam menilai orang lain. "Dunia ini, bagi lo tuh apa? Tumpukan potret dari lo sejak lahir atau durasi film yang di sutradarai?"
Hebatnya di sini, Rambe tak mudah di kalahkan. Ia pandai membolak-balikkan kata dalam huruf untuk di susun menjadi kalimat. Maka tanggapan Rambe hanya sebatas tawa. Yang mengerutkan dahi-dahi Ayana dalam bentuk lipatan kecil. Heran. Tentu saja. Tak ada yang lebih aneh dari respon Rambe tentang itu.
"Lo pernah belajar sesuatu yang lo anggap paling berharga?"
Mampus saja sudah. Kalau bukan Ayana yang tahan banting, sudah menguburkan diri di rawa-rawa. Rambe oh Rambe. Dia tipe lelaki sederhana yang sangat teliti dalam memilih. Ah enggak deh. Ayana sangkal itu sekarang. Demi Tuhan! Ubun-ubunnya panas sekali mendengar pertanyaan-pertanyaan Rambe seputar dunia. Dunia loh ini yang luasnya bejibun. Yang ujung selatan, utara, barat dan timur saja tidak di temukan. Dan Ayana harus menjawab jebakan macam itu.
Mati saja lah. Itu pilihan tepat sebagai solusinya.
"Yang gue tahu, dunia itu semacam cerita—maybe. Bisa lo temukan segala arti di dalamnya yang bermakna. Tempat lo tumbuh selain menumpang memotret usai di lahirkan. Bukan juga cuma tempat yang lo anggap pembuatan film yang di layar belakangi sutradara. Bagi gue, dunia menjadi tempat di mana gue ukir cerita yang dinamai nasib dan cerita dari Tuhan yang disebut takdir."
Wah! Terlukis jelas wajah puas Rambe di sana. Seolah mengalahkan Ayana adalah ajang yang selama ini di tunggunya. Telak sudah dalam sekali lahap. Membawa tema dunia memiliki pengertian yang luas. Tidak melulu menyoal ras dan agama, atau suku yang berjuta-juta jumlahnya. Apalagi budaya yang menaungi. Luas. Seluas samudera yang meski memiliki titik akhir.
"Dan lo ke sini buat tanya kaya gini doang? Sinting lo!" Misuh Ayana seraya beranjak. Meninggalkan Rambe dalam bumbungan emosi. Tanpa peduli si empu yang menyamankan tatapannya ke hamparan luas.
Di bawah sana lalu lalang kendaraan masih terlihat. Klakson-klakson yang saling menekan kian memekakkan pendengaran. Rambe tahu. Bukan waktu yang tepat untuk berkunjung. Tapi untuk hatinya dan rindu yang menggunung … sepertinya sia-sia.
Perjuangan yang Rambe korbankan tidak menghasilkan apapun. Lalu Rambe teringat pada janji dalam hatinya. Bahwa tidak apa-apa tidak memiliki Ayana dalam hidupnya. Cukup dengan melihat perempuan pujaannya bahagia dan Rambe selipkan doa di dalamnya.
"Oh ya." Kembali ke tempat semula. Kedua tangan Ayana membawa mug berisi kopi racikan bersama kepulan uap panasnya. "Gue pernah belajar hal berharga yang nggak semua orang tahu. Lo yakin mau dengar?"
Bibir cangkir bersalaman dengan bibir Ayana. Meski lidahnya terbakar sesaat, sensasi nikmat yang mengalir di kerongkongannya tiada duanya.
"Jika awalnya mudah, maka akan mudah hilang."
Otak Rambe mencerna. Pembahasan ini tidak jauh-jauh dari Ardika dan masa lalu. Ujungnya kembali ke situ karena begitulah lingkaran setan bekerja. Menjerat dan mengikat si pencipta.
"Gue pernah di atas angin karena mudah mendapatkan Ardika. Dia yang polos dan gue yang cinta petualangan bertemu. Bakal jadi aneh kalau orang rumahan macam Ardika ketemu cewek kaya gue yang nggak ada kalem-kalemnya. Itu pemikiran gue pas awal ketemu. Tapi begitu gue rubah cara lihat gue dalam hidup ini, gue baru ngerti kalau manusia sekuat apapun punya kelebihan dan kelemahan."
"Dan lo manfaatin kelemahan Ardika?"
"Benar banget. Gue giring Ardika buat masuk ke permainan dan jadiin gue sebagai tumpuan dia. Yang mesti dan harus bergantung sama gue. Yang lama-lama jadiin gue kelemahannya. Terus berhasil. Gue patut berbangga diri buat itu. Dan selalu kurang sampai akhirnya hilang."
"Karena ulah lo sendiri."
"Gue sudah bilang: petualang. Nggak gampang buat bertahan sama cewek kaya gue."
"Gue bisa." Cepat Rambe sergah. "Gue bisa bahkan kalau harus nunggu lebih lama lagi."
Nampaknya sulit. Yang Ayana kira Rambe sudah memahami sejauh ini nyatanya belum. Memang benar. Manusia sebijak Rambe saja bisa serakah dan rakus apalagi dirinya. Yang tidak pernah merasa cukup.
"Bukan lo tujuan gue."
"Kalau Ardika bisa lo rubah hatinya, lo jadikan milik lo dan yang harus menggantungkan hidupnya sama lo. Ada apa dengan gue?"
"Kita teman."
Ya. Begitu saja. Denyutan sakit merambati hati Rambe. Tidak seadil ini Tuhan dalam membagi porsinya. Katanya nasib dan takdir bagian dari cerita dunia. Kenapa cintanya tidak masuk ke dalam daftar?
Jika sudah begini, siapa yang patut Rambe salahkan?
Tuhannya?
Hatinya?
Cintanya?
Harapannya?
Atau hidupnya yang hadir tanpa membawa arti apa-apa?
Percuma sekali, kan? Di lahirkan tapi tidak pernah diinginkan.
"Bukan gue nggak mau atau sekadar mencoba. Gue pernah berdoa dalam seminggu sekali untuk di tautkan hatinya sama lo. Tapi… gue ragu. Serusak ini gue untuk lo yang setulus ini. Ke depannya akan jadi apa kita?"
"Pasangan dan keluarga."
"Nggak segampang itu. Lo harus tahu. Lo harus mau move on dari gue. Jangan sepeduli ini ke gue. Lo nyiksa—
"Sudah gue lakuin. Dan sekali jatuh, basah gue nggak bisa bangkit lagi. Jadi … ayo kita mulai." Kepala Ayana menggeleng. Ada sirat permohonan di sorot mata kelamnya. "Kita coba sama-sama. Sekali pun sulit asal gue bareng sama lo. Asal lo yang ada di samping gue. Jadi pendukung gue dan menemani gue. Lupain Ardika. Lo harus terima kenyataan itu."
Menerima kenyataan, ya?
Mungkinkah?