Chereads / Tiga Kali Menikah / Chapter 36 - Bab 36

Chapter 36 - Bab 36

Yang Ayana abaikan bagian Rambe ingin memulai bersama dengan dirinya. Kalaupun ingin mengulang kisah pernikahan, hanya bersama Ardika puncak cintanya. Tidak dengan lelaki lain. Sudah cukup kearoganan di masa lalunya yang membawa petaka. Kini, Ayana inginkan hidup yang sebenar-benarnya hidup. Memiliki keluarga utuh. Membina rumah tangga yang tentram. Menua bersama pasangan dan Omi yang menjadi pegangan masa depannya.

Karena Ayana mulai sadar. Kebohongan yang dulunya dilakukan nyatanya tak membawa dampak apapun selain menorehkan luka. Entah untuk dirinya, untuk Ardika dan terlebih untuk putrinya. Layaknya semua yang telah dirinya jalankan di masa lampau tak menghasilkan apa-apa selain sesal mendalam.

Hidup… Ayana embuskan napasnya. Semilir angin siang hari memeluk wajahnya. Menjadi kebanggaan seseorang adalah hal tersulit. Harus bersembunyi dan menyembunyikan banyak hal karena takut mengecewakan. Harus pandai berpura-pura hebat untuk tetap baik-baik saja.

Itu Ayana dan kehidupannya yang dulu. Hidup dengan cara begitu sungguh tidak mengenakkan.

Sekarang, saat ada kesempatan dalam pertemuan, harus dan wajib Ayana wujudkan. Walau mungkin jajaran penghalang hendak menghadang, ada sejuta jurus untuk Ayana singkirkan. Termasuk nyawa manusia sekalipun.

"Mau masak apa?"

Melebarkan senyum Ayana dalam menarik sudut kedua bibirnya. Matanya sampai menyipit lantaran senang mengayomi.

"Omi mau apa?"

Dan vokal lain yang tak Ayana harapkan justru beradu dalam rungunya. Seolah mengejek sikapnya yang sedang menunggu di bawah terik matahari.

"Omi."

Lancang! Siapa peduli?

Dua insan di depan sana menghentikan langkah. Yang satu tampak takut dan tidak mengenal. Yang satu hanya mengerutkan kening kebingungan.

"Mbak siapa?" Pulung yang bertanya. Ingatnya, belum pernah Pulung temui perempuan di hadapannya entah dari kalangan orangtua anak didiknya atau salah satu kenalan suaminya. Atau Pulung yang tidak tahu apa-apa?

Acuh, begitu Ayana berlagak. Tidak peduli sopan santunnya yang hilang, Ayana menjatuhkan lututnya. Menyamakan tinggi badannya sejajar dengan Naomi dan mengecup kedua pipi tembam si pemilik.

"Mama." Tentu Naomi lekas merengek. Di usapnya bekas ciuman orang asing yang tanpa permisi.

"Maaf mbak." Tegur Pulung kelam. "Anak saya—

"Anak lo ya?!" Sejatinya Ayana tidak suka miliknya diakui orang lain. Jadi bertindak demikian menjadi pilihannya. "Jangan ngaku-ngaku. Lo bisa hamil memangnya? Belum ada hilalnya, kan?"

Bibir mana yang tidak bungkam?

Hati siapa yang tidak luka?

Demikian Pulung yang merasakan sakit tak berkesudahan hanya karena satu kalimat: hamil.

Belum hamil bukan berarti tidak normal. Tapi persepsi kalangan memandangnya demikian. Tentu ada darah mengucur tak kasat mata. Yang detik itu meluruhkan sebagian asa di relung hati.

"Mama." Kembali Naomi bersuara. "Ayo pulang."

Baik. Ayo kembali. Sebelum semuanya runyam. Sayang ada cegatan yang menyengkal tangannya untuk kakinya melangkah.

"Jangan coba-coba melampaui batas." Peringat Ayana tegas. "Cukup segini saja lo berjalan jangan bertindak keterlaluan."

"Keterlaluan?" beo Pulung. Kedua matanya menajam membalas hujaman Ayana. "Dalam bagian mana?"

Decihan yang Ayana keluarkan. "Semuanya. Ini peringatan di pertemuan pertama kita."

Ngomong-ngomong Pulung tidak paham. Kenapa perempuan cantik yang dirinya kisar berumur di bawah emput puluhan melontarkan kalimat sarkas. Tanpa memandang ada telinga anak kecil yang merekam sepanjang masa. Tahukah bahwa ingatan anak kecil sangat tajam? Mereka bisa merekam hal-hal sepele sekalipun yang dianggap paling membekas di hati dan menjadikan trauma di masa mendatang.

Juga, di pertemuan pertama yang tak pernah Pulung ketahui siapa namanya, kenapa dirinya menjadi sasaran kemarahan?

Ini pasti lucu, kan? Karena tiap-tiap orang selalu memiliki alasan di balik amarahnya.

"Ah." Kaki Pulung batal melangkah. "Dulu manusia berjalan dengan empat tungkai." Kedua tangannya melambai memberi tahu model jalan manusia zaman dulu adalah merangkak atau malah mirip layaknya anjing. "Sebelum otak berkembang dan mulai berdiri." Apa ini dongeng semacam sejarah asal-muasal cara berjalan manusia? "Coba tanyakan kenapa?"

Merapatkan bibirnya satu-satunya cara Pulung membalas. Dan benar saja. Nampak ekspresi geram tergambar di wajah sang perempuan.

"Karena dua tungkai lainnya tak berguna lantas dijadikan tangan." Oh. Begitu Pulung membulatkan bibirnya. Memangnya apa yang bisa dirinya jawabkan? "Dengan tangan itu otak manusia berkembang dan bisa membuat alat-alat serta merakitnya. Memunculkan kebudayaan serta sejarah."

Paham. Pulung embuskan napasnya. Sudah ada garis bawah dari sejarah yang di ceritakan.

"Kita belum berkenalan." Ajakan Pulung disertai uluran tangan.

"Mama!" Naomi yang membalas tindakannya. "Dia orang asing."

Senyum Pulung terbit. "Tapi baik. Naomi nggak boleh menilai semua orang sama rata."

Di sana, di depan kedua bola matanya, dengan kepalanya sendiri, Ayana saksikan senyum paling manis dari putrinya. Yang sangat tidak Ayana relakan. Kembangan senyum itu bukan dari dirinya. Bukan juga karena dirinya. Di pertemuan mereka yang kedua kalinya. Lagi-lagi harus Ayana telan pil pahit kenyataan jika putrinya sama sekali tidak mengenal siapa dirinya. Ardika betul-betul mengabulkan ancamannya.

"Siapa nama mbak?" Ulang Pulung. Bedanya tak lagi tangannya terulur. Yang terlihat adalah tangannya yang menggenggam telapak Naomi.

Andaikan itu miliknya.

Andaikan dirinya yang melakukan.

Andaikan dirinya yang berada di posisinya.

Apakah Naomi akan bahagia?

"Saya cuma mau tahu akhir dari kelanjutan kisahnya."

Eh?!

Mata Ayana mengerjap. Ling-lung menyambangi tubuhnya. Rasanya tak adil melihat semua ini sedang dirinya masih merasakan sepi yang tak berkesudahan.

"Manusia …" Terdiam. Suara Ayana mulai serak ketika hendak menjawab. "Menjadi hewan paling cerdas karena punya tangan."

Hening. Tak ada kalimat terucap setelahnya. Namun demikian, pikiran masing-masing berkecamuk.

Pulung dengan teori Ayana yang rumit meski bisa di benarkan. Sedang Ayana dengan bayang-bayang bahagia menyentuh Naomi. Sama-sama tidak sinkron.

"Artinya mbak memberi gambaran tentang manusia yang sama liarnya dengan hewan?"

"Enggak—benar maksudnya. Mereka punya kesamaan dalam bertahan dan memburu. Jadi jelas, kan kalau keduanya itu nggak punya pembeda."

"Ada mbak." Kecepatan Pulung dalam menjawab memberikan efek tolehan kepala Ayana yang sama cepatnya. "Hewan dan manusia nggak bisa di samakan. Meskipun sejarah manusia purba di awali dari seekor monyet. Keduanya tetap memiliki ciri khas yang dominan."

"Apa?"

Sejujurnya, pulung tidak benar-benar tahu apa pembeda antara hewan dan manusia selain akal. Untuk caranya berpikir yang jauh dari kondisi saat ini.

"Cara bertahan manusia dengan hewan berbeda. Hewan punya kemampuan bertahan untuk bisa menyerang mangsanya. Sedang manusia bertahan untuk melihat seberapa kemampuannya menghadapi dunia. Sekali pun teori manusia adalah hewan yang berawal dari kera, tetap mereka mempunyai ciri khasnya."

"Caramu memandang dunia sederhana, ya?" Ayana meremehkan.

Sejatinya, manusia sangat serakah. Dalam beberapa perkara, manusia ingin meraup untung untuk dirinya sendiri. Enggan berada di bawah lawan bahkan jika itu kawannya sendiri. Dan cara bertahan manusia ialah dengan memakan apa yang bisa dirinya makan. Mengambil apa yang bisa dirinya ambil.

Sayang, Pulung Rinjani terlalu polos.