'Jangan mengutuk apa pun dari masa lalumu.'
Dante berdecih membaca sepenggal kalimat yang berbaris. Kalau bisa, Dante sangat ingin mengutuk siapa pemilik pena dalam selembar kertas ini. Masa lalu di ambil menjadi bagian cerita. Ya kali!
Masa lalu hadir memang untuk di sesali—itu Dante dan pikiran pendeknya. Meski seorang mahasiswa pun, Dante selalu menilai segala sesuatu dari segala arah. Dan bukan simpulan yang baik untuk ia terapkan. Paling banter menghujatnya. Dante paling suka hal itu.
'Barangkali Tuhan mengirimkan seseorang hanya untuk menguji seberapa hebat kamu menjadi penyabar.'
Menyebalkan sekali rasanya. Kebodohan macam apa ini? Seharusnya di tuntut saja agar tidak menabur dusta.
Pertanyaannya: Masih perlukah cinta di harapkan?
Selanjutnya, 'hati baik sepertimu, tidak akan pernah dibiarkan Tuhan dipeluk dan dicintai oleh orang yang salah.'
Halah basi! Kalau memang tidak jodoh, ya Dante paksakan agar berjodoh. Dengan Ardika misalnya. Karena apa? Karena Dante nggak mau hidup susah di masa tua. Apa iya harus kerja ngangkang sepanjang usia? Gewlaa!
'Terkadang, untuk merayakan bahagia-bahagia yang sempurna, Tuhan lebih dulu mengujimu dengan air mata. Tetapi jangan mudah menjadikanmu berputus asa. Tetaplah percaya bahwa hal-hal baik tidak akan pernah mengingkari dirinya sendiri.'
Masih. Sampai kapan pun takkan Dante percayai perihal kalimat-kalimat di atas. Cinta itu terdiri dari lima huruf yang membuat gila si perasa. Pemiliknya bisa brutal. Melakukan apa saja untuk mencapai tujuannya.
Bahkan Dante bersiap merebut apapun yang sudah mutlak dirinya lingkari. Jika sudah berkehendak, Dante tak akan melepaskan. Apalagi sampai berbagi. Tidak! Itu miliknya termasuk Ardika yang harus dirinya kuasai.
Aih, membicarakan tentang cinta sulitnya ampun-ampunan. Peningnya tidak ketulungan. Membuat Dante mendengus berkali-kali. Harus bagaimana lagi Dante jabarkan.
Namun jika boleh jujur, Dante tak paham arti cinta yang sesungguhnya. Jangankan memahami, untuk mengerti artinya saja Dante enggan. Yang Dante tahu hanya sekilas napak tilas cinta. Bahwa dua hati menjadi satu dalam sebuah ikatan. Memang konyol. Karena angannya sungguh menggebu.
Terlepas dari rasa kecewa dan sakit hati, luka serta air mata Dante masih berbekas hingga hari ini. Pun tak banyak dengan yang dirinya pinta. Cukup dicintai dengan gebuan rasa diinginkan. Karena selama menjadi perempuan—belum—sekali saja seumur hidupnya perasaan itu menyambangi relungnya.
Jadi patut jika Dante sedih. Tidak. Ini lebih dari sedih. Rasanya seperti hancur tapi entah apa. Rasanya seperti mati. Tapi jauh di dalam hatinya ada sisi lain yang terus bangkit. Bukan untuk cinta melainkan dendam dan dusta yang tak berkesudahan.
Sejauh itu Dante merasakan kehidupannya yang sia-sia. 20 tahun yang tak memiliki arti apalagi makna. Semuanya kosong. Semuanya terasa hampa. Semuanya terasa… ya ini sudah berakhir.
Sekali pun Dante tahu, setiap keputusan yang diambilnya selalu mengandung guna. Tetap saja rasa percaya diri untuk hidupnya telah habis. Bahkan jika harus meminjam milik orang lain, tak punya dampak apa-apa bagi hidupnya. Karena semuanya memang sudah berakhir.
Begitu juga hari ini. Di mana Dante kembali datang meminta jawab. Yang masih sama dengan penolakan. Raut wajahnya lusuh. Hilang sudah muka yang ia taburi bedak. Sudah dikata semuanya tak berguna. Tapi Dante bebal. Memaksa untuk percaya pada setiap keputusan yang telah di ambilnya.
"Kenapa nggak bisa, sih bang?"
Ardika geram. Pagi-pagi sekali di ganggu jam kerjanya. Bukan itu saja. Dante sengaja melakukannya untuk memberinya ancaman.
"Nggak bisa saja!"
Jawaban Ardika tidak masuk di akal. Tentu yang menagihnya uring-uringan. Tapi coba kembali pada kondisi di awal, di mana Ardika sudah menikah, memiliki ikatan dengan perempuan yang tak lain dan tak bukan sepupu Dante sendiri. Apa itu masih dikatakan waras?
"Kalau sama teh Pulung saja bisa, kenapa sama aku enggak?!"
Jujur saja. Dari dulu hingga sekarang tak banyak yang Ardika pahami bagaimana seluk beluk hati perempuan kecuali mereka yang tak bisa di salahkan. Valid no debat! Nggak sudi berurusan sama makhluk berjenis kelamin perempuan.
Namun Dante sungguh sinting. Kakaknya loh ini. Saudara sendiri. Bisa-bisanya mulutnya berkata demikian. Meluncur tanpa dosa.
"Kamu pikir itu gampang!"
"Artinya abang mau tapi keberatan."
Baiklah. Ngomong-ngomong, perkaranya tak semudah lesakkan lidah ke dalam mulut dan saling membelit. Masalahnya… yang sesungguhnya juga ada dari diri Ardika. Yang mana mendambakan hadirnya anak tapi tak bisa dirinya ungkapkan. Merasa perlu menjaga perasaan Pulung untuk sesaat entah sampai kapan.
Dan bodohnya. Keteledorannya menanamkan benihnya di rahim lain yang bukan milik istrinya. Parahnya lagi… berkali-kali Ardika ucapkan, sepupu istrinya. Jalan mana lagi yang harus Ardika tempuh. Astaga.
"Bang ayolah." Terus Dante bujuk. "Jadi yang kedua pun aku oke saja. Nggak masalah. Kita bisa bikin ini jadi rahasia."
Terpekur oleh pikirannya sendiri. Sisi diri Ardika menyanggupi meski lain hatinya mengecam tindakannya. Lagi pula, benar-benar tak ada jalan lagi selain menanggung jawabi perbuatannya.
Pada akhirnya, pepatah 'buah jatuh tak jauh dari pohonnya' sangatlah di benarkan. Apa yang Aksara lakukan di masa lalu, kini Ardika lakoni sebagai pemeran utama dalam sebuah novel. Yang sayangnya, bukan Ardika tokoh kesayangan para pembaca. Bukan Ardika yang menjadi lakon paling di sakiti akan masa lalu. Justru karena itu, tindakan Ardika sedang membalas masa lalunya.
"Siri?"
Siapa yang tidak tergiur?
Bagi Dante yang lelah akan rutinitas dunianya, menjadi yang kedua sekali pun hanya pernikahan siri yang di berikan, anggukan kepala sebagai bentuk persetujuan pun di terima. Memang miris kehidupan ini. Cinta bisa membutakan setiap insan yang katanya sangatlan suci untuk di jaga dan di junjung. Namun cinta juga yang menyesatkan setiap perjalanan.
"Asal abang bisa bagi waktunya. Janji?"
Katakan saja 'ya' dulu. Untuk ke belakang akan Ardika pikirkan bagaimana. Terpenting sekarang selesai masalah dengan Dante.
Yang menjelang sore sebelum matahari tergelincir ke barat. Ardika sudah duduk di belakang kemudi. Tubuhnya lelah. Padahal pekerjaan hari ini tidak sepadat biasanya. Beban pikiran yang menggelayuti menimang segala tindakannya.
Apakah masih pantas muncul di hadapan Pulung?
Apakah tidak sekotor itu dirinya?
Apakah jika ketahuan semuanya tetap baik-baik saja?
Apakah …
Apakah …
Apakah …
Hanya kalimat-kalimat itu yang Ardika gaungkan. Resah yang hinggap di hatinya enggan menyingkir. Tiba di waktu dirinya temukan eksistensi sang istri di atas ranjang, gejolak menyentuh memuncak. Sore dalam balutan matahari yang belum tenggelam, Ardika lepaskan penat. Bermanja di pelukan Pulung. Membuat tawanya melebar.
Sebagai penutup akhiran adalah sesal yang tiada tara.
Ketika Ardika pikir masa lalunya sudah cukup sulit. Masa depannya harus secerah jalan yang dilalui untuk kembali. Faktanya, dirinya dan Ayana memang satu paket yang tak bisa terpisah.
Jika dulu di khianati. Kini, dirinya yang mengkhianati.
Lantas, mengapa air matanya meluruh?