Maha sadar, hidupnya tidak semudah anggapan orang-orang. Terutama momen seorang anak yang membutuhkan orangtuanya lebih dari yang dirinya kira. Misalnya, saat pertama kali anak berjalan. Siapa yang paling tersentuh melihat kita bangun dan bisa berjalan sendiri?
Kekehan Maha mengudara. Meski tidak terlalu keras, nyatanya bersedih bisa dirinya rasakan. Itu tidak buruk karena Maha menyimpannya sendiri. Bukan hal yang memalukan mengetahui dirinya tidak baik-baik saja sampai ingin mabuk sampai tertidur.
Tapi, hingga fajar menyingsing pun, kedua matanya tetap terjaga. Berbotol-botol alkohol telah kosong berpindah tempat ke lambungnya. Kedua pipinya sudah Maha rasakan sengatan panas. Pun dengan permukaan wajahnya yang memerah. Percuma sekali merenungkan hidupnya sepanjang malam dengan alkohol tapi tidak tumbang.
Ingin Maha tertawakan dirinya sendiri. Meyakini sisa-sisa sesal yang menaungi jiwanya pun dengan rasa percaya yang pernah tertanam. Bahwa Tuhan tidak pernah salah menempatkan cinta tulusnya untuk di peluk hati yang salah. Menemukan Pulung seperti sebuah hadiah baginya. Mencintai Pulung layaknya anugerah. Belum saja waktunya untuk memiliki karena lagi-lagi Maha kalah start.
Jika dulu bersama Ayana sudah dirinya rasakan nyaman yang sayangnya sekedar pelarian. Kini niatan menggapai Pulung menjadi sebuah ambisi tak berkehabisan. Sepanjang Maha berdoa—yang entah dijabah Tuhan atau tidak—bahwa doa-doanya sederhana saja. Menyoal menemukan pasangan jiwa—sudah ada di depan mata—tentang rasa cukup. Cukup untuk merasa dicintai, cukup merasa untuk disayangi, cukup untuk merasa kekhawatirannya dijaga dengan baik, dan cukup untuk merasa kehadirannya dihargai.
Helaan napas Ardika terdengar. Sedikit gusar perihal pasangan jiwanya dalam lantunan doa untuk bersama satu orang; yang paling pandai menjaga jujur dan setia, selebihnya bisa diusahakan bersama.
Dulu—Maha terkenang akan momen ini—saat piknik sekolah mulai menyapa di musim liburan dan semua teman-temannya membawa masakan ibunya sebagai bekal, Maha terus diam. Tidak bisa berkutik apapun apalagi mengalahkan mereka yang memiliki ibu.
Cara pamer mereka begini:
"Mamaku bikin kue."
"Aku di bekali sushi."
"Mamaku bawain jus alpokat."
Sedang Maha harus cukup puas dengan olahan bibi di rumahnya meski mewah, ayam goreng tepung, nasi kepal berkumis rumput laut serta camilan sale pisang yang Maha jadikan favorit hingga kini.
Karena hal itu juga, Maha pernah mendiagnosis hidupnya bahwa dirinya tidak bisa melanjutkan masa depannya lantaran dibayangi olokan teman-temannya. Tapi dengan tekad yang tinggi membumbung, menjebol kelemahannya membawa Maha pada puncaknya. Berada di titik di mana dirinya bisa menggenggam separuh dunia tanpa hadirnya seorang ibu yang melihatnya berdiri dan berjalan tanpa bantuannya.
Lantas, bagaimana rasanya dicintai?
Maha penasaran akan hal itu. Sepanjang malam menuju lelapnya, selalu Maha bayangkan. Sampai enggan terpejam dan papanya menyambangi kamarnya. Mengatakan: 'Lakukan ini. Bayangkan sesuatu yang membuatmu senang agar lekas tidur.'
Sedang yang masuk ke dalam angan Maha adalah pelukan ibunya yang hangat melingkupi tubuhnya. Dan untuk pertama kalinya dalam hidup, Maha merasa bahwa membayangkan bukan sesuatu yang buruk. Melakukan pekerjaan ringan sembari duduk dan memejamkan kelopak matanya, saraf-saraf tegang di tubuh Maha mengendur. Rasa pening yang menghantam kepalanya sedikit terobati. Otot bahunya yang kaku mulai melentur.
Seiring dengan pemandangan berantakan di bar dapurnya, lengkingan suara pemecah sunyi paginya menggelegar.
"Gila, sih kalau hari ini nggak ada siaran!" Kematian maksud Rambe.
Berisik! Maha benci bising. Tapi Rambe sahabatnya. Meski tidak pernah mulut Maha berucap, bukti valid lebih mendukung. Bahwa Rambe sudah bersamanya sejak zaman di bangku TK. Duduk bersama, berbagi makan bersama, bertukar pakaian ketika salah satu diantaranya tidak bisa membeli keluaran terbaru. Tentunya Maha paling update. Papanya kaya dan jaya. Setiap mengunjungi Maha, tidak pernah ada tangan kosong. Tentengan paper bag berisi baju, mainan, sepatu, tas dan koleksi baru limited edition.
"Mau sampai kapan hidup kaya gini?"
Biar pun merepet, tangan Rambe bergerak gesit. Memunguti botol-botol kosong yang bergulingan dan memasukkannya dalam plastik sampah. Jas kerjanya sudah tersampir di sofa. Lengan kemejanya tergulung. Dalam hatinya mengumpat kalau Maha sengaja melakukan ini kepadanya.
"Gue capek jadi babu lo terus."
Tawa Maha pecah. Tahu nggak? Rambe mengeluhkan itu ratusan kali sejak memasuki SMA. Tapi bagai magnet yang saling tarik ulur, ucapan itu seperti angin topan. Yang berembus, memporandakan bangunan lalu kembali lenyap.
"Heh! Gue serius ya!"
Mata Rambe melotot kesal. Kadar ganteng pagi harinya luntur akibat ulah Maha. Namun jika harus jujur, Rambe punya sejuta keraguan di pikirannya. Sikap Maha tidak pernah berubah sejak dulu. Dingin dengan ekspresi wajahnya yang datar. Sepatah kata keluar dari mulutnya jika di rasa perlu. Sampai di penghujung tanya, Rambe menggaungkan kalimat: 'Gue teman bukan, sih bagi Maha?'
Lain orang lain pemikiran. Juga berbeda pandangannya. Kalau diamnya Maha belum tentu mempunyai arti setuju, maka Rambe lebih suka keterbukaan. Langsung saja katakan ya atau tidak agar Rambe tidak menebak-nebak. Oke, Rambe akui kekalahannya. Maha selalu punya kalimat jitu: 'Ketika seseorang bercerita tentang keluarganya ke lo, berarti lo penting buat dia.'
Masalahnya—Rambe mengerang kesal pagi-pagi sekali emosinya sudah terkuras—Maha tidak pernah mengungkapkan bagaimana kondisi keluarganya. Lebih banyaknya Rambe tahu karena mengenal Maha dan kelakuannya lalu mencari tahu kabar tentang sumber masalah.
Di situ saja karena begitu Rambe mengorek lebih dalam, bobrok adalah sematan yang tepat untuk keluarga Maha. Bagaimana tidak? Jika satu darah saja memiliki nama yang berbeda. Satu Aksara dan satunya Askara. Ini sebuah menipulasi nama atau menghilangkan jejak?
"Benar banget. Saat lo tahu atau mencoba mencari tahu informasi, nggak ada bangkai yang wangi."
***
Keluarga Ardika sudah sangat sempurna susunannya—dalam pandangannya. Mata manusia selalu tertipu pada kenyataan yang menyambangi. Bahagia sesaat untuk menderita berkepanjangan. Untuk itu sudah Ardika rasakan. Dan bahagia yang pagi ini di rasakan, sungguh berbeda dari hari-hari yang lalu.
Yang di lewati penuh kehampaan. Lorong yang terang oleh sinar lampu terlihat redup kini kian benderang. Jalan lurus namun berkerikil, kini nampak halus dan nyaman di telapak kaki Ardika ketika bersua. Cinta sedahsyat itu pemaknaannya.
"Kopinya sudah siap. Sarapan sudah siap. Baju kerjanya juga sudah siap."
Senyum Ardika terbit. Bangun-bangun di suguhi pemandangan sesyahdu ini. Kamar wangi, gorden yang tersibak, mentari pagi yang menyinari seisi ruangan juga istri cantik berbalut kemeja cerah. Rekah di bibir Pulung terbit. Padahal lipstiknya berwarna nude, dandanannya juga natural. Tapi entah kenapa efek memuja di mata Ardika berbinar.
"Kita nggak ada bulan madu, ya?" Pertanyaan Ardika di jawab gelengan oleh Pulung. Si empunya sedang menyiapkan sepatu yang akan Ardika pakai ke kantor. "Ke rumah orangtua kamu mungkin?"
Tubuh Pulung menegang. Bayangan buruk tentang dirinya yang durhaka berkelebat. Perceraiannya dengan sang mantan suami saja tidak diketahui orangtuanya, lalu berganti suami dengan orang yang berbeda. Apa tanggapan mereka nantinya.
"Kan PSBBnya ketat mas. Jadi mending kita tunda." Alih-alih menjawab terus terang, Pulung coba kendorkan semangat suami untuk menyambangi kampung halamannya. Pulung belum siap. Itu saja.
"Oke, mas setuju. Jadi nanti saja, ya."
Tidak ada jawaban. Pulung memberi senyum terbaiknya dan hengkang dari ruangan."