Chereads / Tiga Kali Menikah / Chapter 22 - Bab 22

Chapter 22 - Bab 22

Bumerang yang sesungguhnya sedang di letupkan. Hanya tentara perang—ksatria sesungguhnya—berani berjalan di ladang ranjau. Tokoh lain—yang baru—sedang Maha ciptakan. Mata bengisnya tajam menelisik. Maha bukan lelaki kejam yang suka menindas orang lain. Namun masa kecilnya yang pernah menjadi korban perundungan, kekuasaan yang saat ini tengah dirinya genggam memunculkan sisi iblisnya.

Pikirnya, jika dengan menghancurkan Ardika Aksara adalah jalan terbaik mendapatkan Pulung, maka senjatanya ada di hadapannya kini. Yang membalas mata elang Maha tanpa gurat takut yang terpancar. Yang menyeringaikan seujung bibir kanannya—entah mengapa Maha suka. Seolah ingin mencicipi dosa yang sudah dirinya tinggalkan.

"Lupakan saja lah." Tangan Maha mengibas. Jarinya bertopang dagu. Alis tampannya berkerut. "Coba lo tanya ke diri sendiri. Hari ini—mungkin—lo baik-baik saja. Esok ketika lo terbangun, masih dengan tanya yang sama. Yakin lo nggak apa-apa? Munafik semisal 'ya'."

Dante benci bertatap muka dengan Maha. Tapi denyut sakit merajai dadanya. Rasa suka yang Dante bumbung berbelot ketidaksukaan. Merajai relung jiwanya.

"Apa sih yang bikin lo bahagia?" Telak sudah. Pertanyaan Dante mengenai sisi sensitif Maha. "Cinta? Keluarga?"

"Diam deh."

Decihan Dante tunjukkan. Matanya berputar malas. "Alih-alih ngerasa bahagia dengan apa yang lo ajukan sebagai tanya buat gue khususnya, lo benar-benar manusia kekurangan cinta. Lo nggak punya keluarga. Lo nggak punya cinta atau orang buat lo cintai. Lo nggak punya apa yang orang lain punya sehingga dendam terus menggerogoti hati lo. Coba lo—"

"Diam! Gue bilang diam! Lo harus tutup mulut."

"Itu gunanya mulut di ciptakan. Bukan cuma ngelumat sana sini. Atau ngerecokin hidup orang lain."

"Lo bakal nyesel lakuin ini ke gue."

"Coba saja." Dante menantang. Merasa tidak takut dengan ancaman Maha. Sebelum video panasnya menodai mata indahnya. Dante tatapi wajah Maha yang terlihat puas. "Dari mana lo dapat."

"Gue?" Maha menunjuk wajahnya. "Gampil. Soal kaya gini bukan sesuatu yang sulit. Pikir lo ada di wilayah mana saat ini?"

Kedua tangan Dante terlipat. Keterkejutan di wajahnya tersamar perlahan. Otaknya berputar mencari cara untuk mengalahkan Maha. Tapi Maharaja Askara bukan orang yang mudah di lawan.

"Jadi?" Alis Maha yang berjengit ke atas. "Langkah awal lo?"

Tersenyum miring. Maha simpan ponsel ke saku jasnya. Yang Dante awasi pergerakannya. "Apa tidak apa-apa?"

"Lo alay!"

"Karena cinta."

"Bucin lo nggak tahu tempat."

"Karena dendam."

"Lo nggak waras."

"Karena pulung."

Baik. Dante sudahi saja. Mulut dan otak Maha satu jalan. Sedang miliknya selangkangan dan uang.

"Gue perlu Pulung dan nama yang sama di belakang gue."

Susah. Keinginan Maha tidak bisa di tentang.

"Dan abang lo?"

"Dia bukan abang gue."

"Setelah dari sperma yang sama?" Dante kembali menyeringai. "Sangkalan lo atas dasar penolakan kelihatan banget. Lo berdua punya kemiripan meskipun beda warna kulit."

Sialan! Itu saja yang Maha ucapkan. Kesal setengah mati rahasia terbesarnya di ketahui. Ini yang selalu dirinya tutupi tapi orang lain mengetahui. Sudah tersegel dengan rapat agar jangan terbuka tetap saja bau busuknya menguar.

"Jadi nasihat yang tepat buat lo: wajah lo bermuram durja karena suatu alasan. Mengancam karena terhimpit keselamatan. Memendam karena terlanjur berjalan. Tapi lo juga lupa, tidak baik-baik saja bukan sebuah kewajaran. Kalimat lo, apa tidak apa-apa jelas bukan hal normal. Karena semua manusia punya fasenya."

Sejujurnya tiap-tiap orag memiliki tingkat kegundahan tersendiri. Ada luka yang bertahta. Ada yang terluka dan ada yang melupa. Ketika terluka, merasakan luka, tak melupakan luka dan menolak lupa akan luka, sejatinya tidak kita yang terluka sendiri. Sedang satu-satunya jalan ialah siap menerima bukan untuk sekadar bahagia tanpa beban luka.

Itu yang Dante pelajari selama kurun waktu mencintai Maha. Maha yang gila pada obsesinya, Dante terima. Maha yang mengagumi perempuan lain, Dante tetap bertahan. Maha yang terus mengabaikan dirinya, Dante terima lapang. Semuanya tidak serta merta tidak apa-apa sedang hati penuh luka.

"Lo harus berpikir sebelum mengambil keputusan. Jangan sampai sisa luka yang lo pendam bikin ketidak apa-apaan lo hari ini mengembang. Maha… cinta nggak seanarkis itu buat lo kejar."

***

Naomi bersiap dengan tetek bengek perintilan ke sanggar tarinya. Tinggal menunggu mamanya yang katanya sedang mengurus papanya. Batin Naomi, papanya itu manja sekali padahal sudah dewasa. Yang seharusnya Naomi lebih patut di urus namun kalah total. Naomi memakai baju sendiri walaupun terkadang. Kalau sedang kambuh manjanya, akan merengek ke mamanya minta di pakaikan.

Seperti semalam yang ketakutan dalam tidurnya. Naomi belum bercerita perkara apa yang membuatnya takut. Masih samar-samar dalam ingatan. Perempuan seumuran Bi Sinah memasuki kamarnya lewat jendela kamarnya. Sudah terkunci tapi mengetuk sangat keras. Memanggilnya sayang lantas menyuarakan tangis Naomi.

Siapa pula yang memanggilnya begitu selain mamanya?

"Mikirin apa?" Pulung berjongkok di depan kursi tamu. Tubuhnya sejajar berhadapan dengan wajah Naomi yang muram. "Yah, tali sepatunya lepas." Jari lentik Pulung bekerja cepat. "Mama ikat begini, dua kali biar nggak lepas."

Senyum Naomi terlukis. "Kata guru sekolah Omi, kalau tali sepatunya lepas, ada orang yang kangen sama Omi. Mama kangen sama Omi, ya?"

Kepala Pulung mengangguk meski tidak sepenuhnya percaya dengan ucapan sang putri. Itu mitos tapi banyak yang menanti kehadirannya.

"Omi sudah makan?" Pulung sisiri rambut sang putri yang terlihat acak-acakan. "Rambutnya mau di rapikan nggak?"

"Sama mama?"

"Oke. Anak mama wangi banget deh."

"Sayang Omi kan ma?"

"Iya dong. Anak kesayangan ini."

"Omi nggak sayang papa juga?"

"Enggak!" Ardika merasa sakit hati. Putrinya terlalu jujur. Salah siapa yang mengajari terlalu bebas. "Sebelum ada barbie dan kitchen setnya."

Begitu saja terus temanya. Sudah berganti judul, berpuluh-puluh episode tercantum, kembalinya ke awal. Ardika pusing dadakan.

"Sayang papa dulu lah."

"Mainan Omi dulu lah."

Copy paste yang sempurna. Ardika mau meninggoy rasanya. Di lawan sang putri.

"Oh ya, Omi lihat apa semalam. Kok takut?"

CCTV di kamar Naomi menampilkan siluet tubuh asing. Yang tidak bisa Ardika lacak. Karena begitu putrinya berteriak, perempuan—Ardika jamin—berambut panjang lantas melompat turun. Ardika anggap itu tindakan keren berani memanjat tanpa pengaman khusus.

"Enggak tahu papa. Omi kira itu bibi. Tapi kaya hantu." Tubuh Naomi merapat dalam pelukan Pulung. "Kan mama cuma sayang Omi sih?"

Tanya Omi mengerutkan dahi Ardika. Seolah-olah tidak percaya pada apa yang sudah sering Pulung sampaikan.

"Mama sayang terus sama Omi."

"Jangan tinggalin Omi, janji."

Mata Pulung bersirobok dengan milik suaminya dan mengangguk mantap. "Janji Sayang."

Pulung mana bisa nggak sayang sama Naomi yang lucu dan menggemaskan ini.